Aku bermimpi mendirikan sekolah.
Untuk mengingat kembali apa yang sebenarnya
mendasari mimpi besarku ini, aku perlu mundur beberapa tahun ke kisah-kisah masa
silam. Mungkin akan panjang jadinya kisah ini, maka akan kubagi ke dalam
beberapa potongan.
Sebelumnya:
---------------------------------------------------------------------------------------
Dua
Masa SD-ku pun tak jauh berbeda dengan masa TK.
Hanya saja, ketika SD, aku mulai mengenal yang namanya ‘teman’. Sebelumnya aku
hanya memandang orang lain yang sekelas denganku sebagai ‘kenalan’, orang lain
yang kebetulan punya urusan yang sama denganku di tempat itu. Tapi semua itu
berubah ketika aku menemukan sebuah kenyamanan dalam hubungan antar manusia
yang memiliki sedikit-banyak kesamaan dalam memandang segala sesuatu. Aku
menemukan orang-orang yang bisa kupanggil teman.
Pada akhir kelas 1 SD, aku menyadari adanya
pembedaan kelas di sekolahku, yaitu kelas A dan kelas B. Murid-murid kelas A
adalah anak-anak rajin belajar dengan nilai akademik tinggi dan memiliki
prestasi yang menjanjikan di bidang-bidang lain, sedangkan kelas B adalah—yah,
sisanya. Entah karena kebetulan atau keberuntungan, aku masuk dalam kelas A. Aku
sama sekali tak ambil pusing terhadap pembedaan kelas ini, sebenarnya. Aku
tidak peduli masuk yang mana, yang penting sekolah. Sampai suatu hari ketika
pertemuan orang tua, aku datang bersama ibuku, dan—sebagai makhluk sosial—ibuku
terlibat dalam percakapan dengan orang tua murid lain, dan kira-kira beginilah
percakapan yang kudengar di sana-sini saat itu:
Ortu A: “Ibu anaknya yang mana?”
Ibuku: (menggandeng tanganku) “Ini, namanya Sarah.
Kelas 2.”
Ortu A: “Oh, sama, ini anak saya juga kelas 2. Namanya
(silakan isi nama apapun, soalnya aku lupa =P). Alhamdulillah, kelas 2A. Kalau
Sarah ini kelas 2 apa, Bu?”
Ibuku: (bingung, lalu menoleh padaku) “Kelas apa,
nak?”
Aku: “2A.”
Ortu A: “Waaah, sama dong. Pinter dong berarti,
Bu. Yang masuk kelas A kan cuma yang pinter-pinter, yang nilainya bagus.”
Lalu barulah aku menyadari hal itu, bahwa
pembedaan kelas ini adalah big deal.
Aku mendengar percakapan-percakapan serupa di sana-sini antara orang tua lain.
Saling memamerkan keberhasilan anaknya masuk kelas A, beberapa
menyanjung-nyanjung anaknya yang mengikuti beberapa macam les dalam sehari,
beberapa membanggakan rangking kelas anaknya cawu—singkatan caturwulan, kalau
kau masih ingat—lalu. Kenyataan ini menghampiriku dengan telanjang hingga aku
tersentak. Tak pernah terpikir di otak-kelas-2-SD-ku bahwa “nilai mata
pelajaran yang tinggi” adalah sesuatu yang penting. Lihat betapa ibuku
kebingungan ketika ditanya aku masuk kelas apa? Ibuku pun tak pernah menanyakan
hal-hal teknis macam itu soal sekolah. Ibuku hanya menyiapkanku sebelum
berangkat, menyambutku pulang, dan menanyakan soal hal baru apa yang kudapatkan
pada hari itu dan bagaimana teman-temanku, tapi sungguh TIDAK PERNAH SEKALIPUN
ibuku meributkan soal nilai ulangan—sebutan untuk ujian kala itu. Kalaupun
menanyakannya, dan aku menjawabnya, tidak pernah terjadi penghakiman apakah
nilai itu “bagus” atau “buruk”. Ibuku menerima semua nilai-nilaiku—yang kalau
kuingat-ingat lagi sekarang, nggak
bagus-bagus amat—begitu saja tanpa banyak berkomentar. Terbiasa seperti
itu, aku menjadi acuh terhadap nilai, yang setelah mengetahui esensi sebenarnya
dari pembedaan kelas 2 itu, mengubah pandanganku terhadap banyak hal.
Aku mulai melakukan sedikit usaha untuk meraih
nilai tinggi, karena aku menyadari bahwa—lepas dari tidak adanya tuntutan dari
orang tuaku—dapat meraih nilai tinggi memberiku sebuah kepuasan. Kepuasan
karena aku berusaha, dan aku mendapatkan hasil dari usaha tersebut. Aku belajar
untuk tiap mata pelajaran, dan aku menyadari bahwa aku bagus di pelajaran
bahasa dan IPS, tapi sangat payah di pelajaran matematika dan IPA. Aku masih
ingat bahwa aku pernah mendapat nilai 2 untuk ulangan matematika. Nilai 2 dari
10. Teman-temanku yang lain bisa nangis jerit-jerit nggak mau pulang karena
takut dimarahi orang tuanya kalau dapat nilai segitu. Tapi aku, sekali lagi,
tidak peduli.
Namun ketidakpedulian itu tidak bisa berlanjut
lama. Seiring aku naik kelas, semakin kurasakan adanya beban yang kuemban sebagai
murid kelas A. Setelah mengetahui adanya sebuah prestise yang dibawa nama “A”
ini, aku merasa harus mempertahankannya. Padahal kuberi tahu kau, teman-teman
sekelasku ketika SD adalah, seperti biasa kubilang, adalah para monster.
Monster-monster berotak luar biasa yang diiringi dengan mental juara. Mental
rangking sepuluh besar. Aku ingat ada beberapa temanku yang langganan ikut
lomba ini-itu, bahkan sampai jadi juara olimpiade-di-jakarta-entah-apa-aku-lupa
yang menuntut mereka belajar terus-terusan sampai ada yang sakit. Aku sekelas
dengan orang-orang luar biasa. Bukan anak SD biasa.
Ada banyak sekali waktu dimana aku merasa sangat
minder. Rendah diri. Merasa tidak yakin apakah aku memang pantas berada di
situ, duduk dalam ruangan yang sama dengan mereka. Kepercayaan diriku runtuh di
luar kuasaku. Aku jadi sangat membenci sekolah. Aku benci karena seberapapun
aku berusaha, nilai matematika-ku tak pernah bagus. Aku benci karena payah dan
selalu menjadi bahan tertawaan saat pelajaran olahraga. Aku benci karena banyak
sekali pelajaran yang tidak kusukai tapi harus kupelajari. Aku benci karena
hanya libur di hari minggu. Aku menemukan banyak sekali hal yang membuatku jadi
enggan ke sekolah. Ketika ayahku ke luar kota dan hanya ada ibu di rumah,
biasanya aku membolos saja. Ibuku selalu membolehkan aku membolos, asal perilaku-ku
di sekolah baik-baik saja dan aku tetap naik kelas. Tapi kalau ada ayah, aku
tak pernah berani coba-coba. Pernah sekali aku membolos sepengetahuan ayahku,
dan ia bahkan tak segan-segan mengambil ikat pinggang dari kulit untuk
memukuliku. Mengerikan. Aku hanya bolos kalau ayahku sedang tidak di rumah.
Apa yang terjadi? Apa yang salah?
Meskipun mulai memiliki teman, aku belum menemukan
hal menyenangkan dari sistem “wajib belajar” ini. Aku tidak menemukan masa
depanku darinya ketika itu. Belajar selama enam tahun di SD hanya memberiku
banyak sekali pertanyaan tak terjawab akan ketidakpuasan dan kekecewaan yang
kurasakan. Patutkah aku merasa seperti itu? Atau sebenarnya aku hanya seorang
anak SD kelewat melankolis yang terlalu mengada-ada?
Entahlah, toh aku berhasil lulus dengan nilai
lumayan—lumayan bagiku, setidaknya. 8,33 untuk matematika dan 9,33 untuk Bahasa
Inggris dan Bahasa Indonesia. Lihat? Belajar selama enam tahun pun hanya ketiga
pelajaran itu yang pada akhirnya menjadi penting. Bingung aku.
Dengan membawa kebingungan, aku melanjutkan masuk
SMP. Beberapa pemikiran telah muncul dalam benakku, namun belum bisa kususun.
-to be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar