Aku bermimpi mendirikan sekolah.
Untuk mengingat kembali apa yang sebenarnya
mendasari mimpi besarku ini, aku perlu mundur beberapa tahun ke kisah-kisah masa
silam. Mungkin akan panjang jadinya kisah ini, maka akan kubagi ke dalam
beberapa potongan.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Satu
Sepanjang yang kuingat, aku tak pernah menyukai
yang namanya ‘sekolah’. Aku pernah masuk Taman Kanak-kanak (disingkat TK, kalau
kau masih ingat) ketika berusia lima tahun, dan masa-masa itu sama sekali bukan
masa yang menyenangkan bagiku. Waktu itu, aku sudah mempelajari semua yang
diajarkan di TK dari ibuku. Beliau mengajariku membaca, menulis, menggambar,
mewarnai, dan menyusun balok jauh hari sebelum aku masuk TK. Mungkin ini
terkesan sangat nggaya, tapi aku jadi merasa luar biasa bosan di TK setiap hari,
mempelajari hal yang sama berulang-ulang. Ditambah lagi karena badanku yang
gendut (dan unyu sangat sebenarnya =33) aku jadi sering diejek oleh
teman-temanku yang badannya bengkring-bengkring kayak bambu. Waktu TK, aku
sering di-bully, atau dalam bahasa Sastra Jepang yang sering kupakai
sekarang—di’ijime’. Semakin malas lah aku ke TK. Padahal kalau kupikir-pikir
lagi sekarang, sebenarnya tak ada alasan dulu aku harus diijime. Kenapa aku
tidak pernah terinspirasi oleh film-film Amerika dimana anak berbadan besar lah
yang mengijime teman-temannya? Kenapa di Indonesia lebih sering terjadi anak
berbadan gendut diijime oleh teman-teman kecilnya yang sebenarnya sekali sentil
bisa terbang jungkir balik? Aneh memang, mengingat betapa pengecutnya diriku
dulu. Dan semua itu membuatku sama sekali tidak menikmati masa TK, hingga
akhirnya aku membolos nyaris setiap hari. Ibuku tahu aku memang sudah menguasai
semua yang diajarkan, maka dibiarkannya saja aku.
Selain tidak menikmati pelajaran dan
teman-temannya, aku juga tidak pernah menyukai suasana dan kebiasaan-kebiasaan
kecil yang terjadi di sana. Aku tak suka keramaian, maka aku selalu menjadi
yang paling akhir ketika mereka semua berebutan mengambil snack siang hari. Aku
selalu menjadi yang paling akhir ketika mereka semua berebutan mengambil krayon
dalam kotak yang diberikan Ibu Guru setiap pelajaran menggambar. Aku selalu
menjadi yang paling akhir ketika mereka semua berebutan mengambil balok-balok
kayu saat kami bermain. Aku tidak suka berebut. Lebih baik tidak usah
mendapatkan apa-apa daripada harus berebut. Saat itu pun aku selalu mendapat
sisa, namun aku tahu bahwa aku selalu bisa membuat sesuatu yang lebih daripada
teman-temanku yang lain, dan itu membuatku menjadi sedikit sombong. Tak
kurasakan lagi perlunya aku datang ke tempat itu.
Aku masih ingat benar bahwa total kehadiranku di
kelas saat TK hanya selama tiga bulan. Sisanya, aku membaca, menulis,
menggambar, mewarnai, dan menyusun balok sendiri di rumah. Hanya seperti itulah
aku melewatkan masa TK-ku. Dan tanpa melewati kelas Nol Besar—kalau kau masih
ingat, aku langsung lompat masuk ke SD di usia 6,5 tahun.
Tiga bulan. Tak berkesan, bahkan tak kusesali sama
sekali ketidakhadiranku di tempat itu.
Tapi ini baru awalnya.
-to be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar