Agustus 20, 2012

Deja Vu

Suara desis asap dari cerobong membangunkanku. 

Entah sejak kapan, sepertinya aku terlelap oleh goncangan lembut kereta ini. Pemandangan hijau berkelebat seiring mataku berkedip membiasakan penglihatan. Seorang penjaja makanan membawa kereta dorong berhenti di samping kursiku. Kugelengkan kepala sambil tersenyum sebelum ia sempat berkata apa-apa, sehingga--setelah melemparkan pandangan sengit--ia pun langsung menawarkan jajaannya ke kursi di depanku. Rupanya sudah tengah hari, saatnya makan siang.

Kuambil tas tanganku, lalu berdiri--terlalu cepat, hingga selama beberapa detik pemandangan ruangan itu terlihat berputar. Ugh, aku benci anemia. Kelainan ini menyebabkanku lebih sering jatuh pingsan daripada bermain di pantai atau taman di bawah sinar matahari yang hangat. Tapi apa boleh buat, sudah terlahir seperti ini. Sambil mendesah, aku pun beranjak menuju gerbong restoran.

Ya, sebenarnya aku lapar, tapi aku tidak suka membeli makanan di kereta dorong. Aku ingin menikmati makan siangku di tempat yang memang seharusnya untuk makan.

Gerbong restoran nyaris kosong saat aku datang, hanya ada seorang nenek sangat tua yang tangannya gemetaran menyendokkan bubur ke mulutnya. Aku mengabaikannya lalu memilih meja di sudut belakang restoran. Aku selalu suka duduk di sudut, manapun, karena itu memungkinkanku untuk melihat semua orang yang datang dan semua kejadian yang terjadi. Kadang aku menyengaja masuk ke suatu tempat sendirian dan duduk di sudut, hanya untuk melihat orang lalu lalang. Aku suka sekali, sampai-sampai kupikir kalau aku mati nanti, aku ingin dikubur di sudut kompleks makam, kalau boleh memilih.

Seorang petugas memberiku menu sambil lalu tanpa berkata apa-apa. Yah, aku tahu pelayanan di kereta ini memang payah. Tak apa lah, toh aku tidak berharap mendapat sekedar senyum dari mereka.

"Kopi dan cheese cake." kataku setelah membaca menu. Petugas tadi mengangguk bosan dan langsung pergi.

Kulayangkan pandanganku ke luar jendela. Mataku terasa kering. Oh ya, aku kan pakai softlens. Aku lupa sejak kapan dan kenapa aku pakai softlens. Seingatku, aku membencinya. Tapi ya sudahlah. Kuambil tetes mata dari tas tanganku dan kuteteskan beberapa di kedua mataku. Ah, segar kembali. Kukeluarkan sebungkus rokok, menyalakan salah satu batang, kemudian menghisapnya dalam-dalam. Ah, semakin segar.

"Maaf, apakah aku boleh duduk di sini?"

Seorang laki-laki baru saja menghampiriku. Ia tidak tampan, tapi matanya sangat menarik perhatian. Tiba-tiba saja serangan kerinduan yang luar biasa menghantamku seperti tsunami. Pandangan mata laki-laki itu bagai pusaran, menyedotku ke dimensi lain dengan sensasi hangat nan menyenangkan yang rasanya telah kukenal.

Ya, rasanya aku pernah bertemu dengan laki-laki ini.
--------------------------------------------------------------------------------


"Maaf, apakah aku boleh duduk di sini?"

Aku menoleh, dan menemukan seorang laki-laki tak dikenal--dan tak begitu tampan--berbicara padaku. Yah, toh aku sedang sendirian. "Silakan." kataku tak begitu tertarik, tapi tetap melempar senyum manis seadanya.

"Terima kasih," sahutnya sambil duduk di hadapanku. Seorang petugas memberinya menu sambil lalu tanpa berkata apa-apa. Aku melihatnya tersenyum simpul menahan tawa.

"Ada apa?" tanyaku setelah ia memesan dan si petugas berlalu pergi.

"Bukan apa-apa," jawabnya geli. "Pelayanan di kereta ini memang selalu payah."

Aku tidak menanggapinya, tidak juga bertanya bagian mana dari hal itu yang menurutnya lucu sampai menahan tawa seperti itu. Bibirnya masih membentuk senyum simpul, ujung matanya menyipit, dan pipinya memerah menahan tawa. Tanpa sadar aku jadi memandanginya. Orang ini tidak tampan, tapi kusadari matanya menarik sekali. Mata yang ramah, seakan-akan kalau aku hanya bisa melihat bagian mata dari keseluruhan wajahnya, aku akan mengira ia selalu sedang tersenyum.

Tiba-tiba ia menangkap pandanganku, tak lagi menahan tawa. Kami berpandangan dalam diam selama beberapa saat.

"Kau tidak mengalihkan pandanganmu." ujarnya. "Normalnya, kau akan mengalihkan pandangan segera setelah orang yang kau pandangi menangkap basah pandanganmu."

"Aku tidak merasa perlu melakukannya," sahutku datar, "toh kita tidak saling kenal."

Ia tersenyum geli. Kedua ujung bibirnya naik dengan indah. "Yah, memang, sih."

Aku melepas pandangan darinya dan menyeruput kopiku yang masih panas. Segera saja uapnya menyerbu lensa kacamataku, membuatku tak bisa melihat apa-apa kecuali buih-buih putih menyebalkan yang selalu muncul tiap kali aku minum minuman panas. Kulepas kacamataku dan meraih tisu untuk membersihkannya.

"Kau tahu," katanya, rupanya masih belum melepas pandangan dariku, "kau terlihat jauh lebih cantik tanpa kacamata."
-------------------------------------------------------------------------------


"Kau terlihat jauh lebih cantik tanpa kacamata."

Aku mengedip beberapa kali. Wajahnya berada beberapa senti di atas wajahku, terlihat kabur. Kudorong tubuhnya menjauh, lalu kupaksakan diriku untuk bangun. Kuambil kacamataku di meja samping tempat tidurku. "Tapi aku jadi tak bisa melihat."

Ia duduk di tepi tempat tidurku, tersenyum geli. Seperti biasa, kedua ujung matanya menyipit menyenangkan. "Kau ini hidup di jaman apa, sih?"

"Sudah kubilang aku tak suka pakai softlens!" gerutuku sembari beranjak dari tempat tidur pelan-pelan untuk mengantisipasi pusing-pasca-bangun karena anemiaku. "Harus mencuci tangan, harus membersihkan lensanya lebih dulu, tidak boleh memakainya lama-lama, dan aku tidak bisa lepas-pakai seenaknya seperti kalau pakai kacamata! Repot sekali."

"Tapi kau terlihat jauh lebih cantik tanpa kacamata." ulangnya lagi, masih tersenyum.

Aku mendengus sebal. Benci sekali dengan tingkahnya yang seperti itu, seakan-akan ia lebih tahu, seakan-akan semua yang ia katakan tidak bisa kusanggah. Lebih benci lagi karena hal itu memang benar.

Ia tertawa melihat mukaku yang kusut menggerutu, lalu beranjak membuka jendela. Angin sepoi yang sejuk menerobos masuk, membuatku ingin masuk ke dalam selimut lagi. Namun matahari yang malu-malu menampakkan dirinya itu membuatku ingin berjalan-jalan di luar.

Kudengar suara gesekan korek api ketika ia menyalakan rokoknya. 

"Hei, itu rokokku!" protesku.

"Ah, tidak apa-apa, kan." desahnya santai. Asap keluar dari sela-sela mulutnya seiring ia bicara. "Punyaku habis, malas beli."

Semakin menggerutu, aku mengambil kotak rokokku dari tangannya. Tinggal sebatang. Ya sudahlah. Kusulut ujungnya dengan nyala api dari rokok yang ia hisap. Lalu kami berdiri berdampingan menghadap jendela sambil menghisap rokok yang sama, setengah melamun memandangi pemandangan kota dari kamarku.

"Kau boleh tetap pakai kacamata," ujarnya tiba-tiba sambil menatapku, serius, tak seperti biasanya. "Tapi tolong berhentilah merokok."
-------------------------------------------------------------------------------


"Berhentilah merokok."

Dengan lembut ditariknya sebatang rokok yang masih panjang dari tanganku, tapi aku mempertahankannya.

"Kau sendiri merokok. Kenapa aku tidak boleh?" protesku gusar.

Ia mendesah, "Tidak baik untuk kesehatanmu."

"Oh ya? katakan itu pada dirimu sendiri!"

Ia mendesah lagi, "Sulit sekali memberitahumu."

Aku selalu menyesal seketika setelah aku mengatakan sesuatu yang membuatnya sedih. Aku benci diriku yang membuatnya menampakkan ekspresi seperti itu. Mata yang menyenangkan itu jadi meredup, dan aku sangat tidak suka melihatnya. 

Aku bergeser ke sampingnya dan menyandarkan kepala di bahunya. Selang beberapa saat, ia balas menyandarkan kepalanya di atas kepalaku. Lalu kami terdiam cukup lama.

Angin berbau garam menyapu wajahku tanpa henti. Suara desir ombak terdengar ganas tapi menggiurkan di saat bersamaan. Langit biru luas tanpa awan, membiarkan matahari memperawani seluruh permukaan bumi. Sangat terik, tapi aku tertolong oleh payung besar yang kami sewa agar aku bisa menikmati pantai tanpa harus jatuh pingsan.

"Aku punya ide bagus," katanya ketika aku sibuk mengawasi anak-anak yang tengah membangun kerajaan pasir dengan riangnya. 

"Apa?"

"Aku akan berhenti merokok. Kau juga. Kita sama-sama berhenti."

"Hmm.." sahutku malas. Lalu kami terdiam lagi selama beberapa saat. Ia mulai memain-mainkan rambutku yang lengket satu sama lain akibat air dan pasir pantai.

"Aku punya ide yang lebih bagus." kataku setelah beberapa saat.

"Apa?"

"Aku akan memakai softlens, dan kita sama-sama tetap merokok."

Aku dapat merasakan gerakan tangannya yang memain-mainkan rambutku sedikit melambat ketika ia memikirkan ucapanku. Kemudian ia tertawa, mengembalikan mata yang menyenangkan itu.

"Dasar nakal," katanya, "tapi, yah, sepertinya lebih baik begitu."

Aku tersenyum lalu memejamkan mata. Suara tawa anak-anak yang sedang bermain di kejauhan, desir ombak yang ganas nan menggiurkan, gemerisik angin berpasir yang menenangkan, dan suara napasnya yang agak berat, semua bercampur di telingaku, memainkan sebuah melodi yang mengalun nyaman mengantarkanku semakin jauh ke alam mimpi.
----------------------------------------------------------------------------


"Nona? Hei, Nona?"

Aku terkesiap. Seorang laki-laki berdiri di hadapanku. Tidak tampan, namun matanya luar biasa.

"Maaf, aku hanya bertanya apakah aku boleh duduk di sini, dan tiba-tiba Anda seperti hilang kesadaran."

Aku mengatur napas sebentar. Petugas gerbong restoran yang terlihat bosan meletakkan sepiring cheese cake dan secangkir kopi di depanku, lalu langsung pergi tanpa tersenyum atau mengatakan apa-apa. 

"Maaf, maaf," kataku setelah menguasai diri, "sepertinya saya deja vu. Saya merasa pernah mengenal Anda sebelumnya."

Ia tertawa, renyah. Kedua ujung matanya menyipit menyenangkan. "Mungkin saja, di kehidupan sebelumnya."

Aku ikut tertawa.

"Jadi," ujarnya lagi, masih tersenyum. "bolehkah aku duduk di sini?"

Serangan kehangatan menyerbu seluruh partikel tubuhku, seakan mengisi semua tempat kosong dan memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Udara di sekitarku mendadak terasa ringan dan ruangan gerbong kereta makan yang membosankan itu pun tiba-tiba terlihat terang dan berwarna. Kumatikan rokokkku di asbak terdekat.

"Silakan duduk."

"Terima kasih."

Dan kereta pun terus bergoncang lembut, sesekali mendesis ribut sambil mengeluarkan asap dari cerobong.


-selesai-

Agustus 15, 2012

Yang Mana?

Di suatu Kerajaan di belahan bumi bagian selatan, hidup seorang pemuda bernama Karim. Ia tampan dan rupawan. Baik dan budiman. Gadis-gadis mengidolakannya dan ibu-ibu menginginkannya menjadi menantu mereka. Puja-puji dari semua orang diterimanya setiap hari, namun ia tak lantas menjadi tinggi hati. Ia tetap seorang Karim, yang tampan, budiman, dan rendah hati.


Karim sangat senang mengunjungi sebuah museum lukisan di tengah kota. Ia datang ketika sedang senggang, sedih, senang, dalam keadaan dan perasaan apapun. Ia datang setiap hari, setiap waktu. Tujuannya tak lain dan tak bukan hanya untuk melihat sebuah lukisan. Lukisan seorang pemuda yang memancarkan aura begitu terang hingga Karim merasa silau tiap kali melihatnya. Tak bosan-bosan ia pandangi lukisan itu setiap hari, mengaguminya seakan-akan itu adalah sebuah mahakarya bernilai jutaan keping emas.



Suatu hari, Karim menyadari bahwa ia sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa yang sederhana dan lemah lembut. Ia sering melihat gadis itu berjualan kentang di pasar. Tak jarang mata mereka saling berselisih pandang, namun Karim tidak berani mendekat bahkan sekedar menyapa gadis itu. Maka ia berusaha untuk cukup puas hanya dengan mencuri-curi pandangannya setiap pagi.



"Sudahlah, sapa saja dia." saran seorang penjual rempah-rempah yang menangkap basah Karim ketika diam-diam memandangi si gadis. "Kau ini kan Karim. Tak ada yang perlu kau takutkan."



Mendengar itu, Karim pun tersadar, bahwa ia adalah lelaki yang dipuja-puja. Tak ada alasan baginya untuk takut menghadapi seorang perempuan. Mendapatkan sebuah kepercayaan diri baru, ia pun berjalan mendekati si gadis.



"Selamat pagi," sapanya, sedikit gugup.



Si gadis membalas tatapan matanya, dengan seulas senyum simpul dan anggukan samar. Itu saja sudah membuat hati Karim berdebar girang tak terkira, ia takut debarannya dapat membangunkan seorang kakek penjaja peralatan dapur bekas yang tertidur lelap di sebelah tumpukan kentang jualan gadis itu. 



"Maaf, apakah Tuan hendak membeli kentang?" tanya gadis itu setelah beberapa saat.



Karim terkejut, lalu membeli beberapa buah. Ia pun berlalu sambil tersipu malu. Sudah ditanya begitu, tak mungkin ia tidak membelinya. Tak apalah, toh ia jadi mendapatkan beberapa buah kentang dan sebuah senyum manis dari si gadis. Terlebih lagi, ia mendapatkan keberanian untuk menyapa gadis itu setiap pagi, sejak kala itu dan seterusnya hingga menjadi sebuah kebiasaan.



Perkembangan ini sangat menggembirakan hingga ia tak sabar untuk menceritakannya pada lukisan kesayangannya. Ya, ia sering bercerita kepada lukisan kesukaannya itu tentang hari-hari yang ia alami bak menulis di sebuah buku harian. Entah bagaimana, Karim merasa lukisan itu sangat mengerti dirinya. Ketika ia menceritakan keberaniannya menyapa si gadis pujaan pun, makin terang saja cahaya yang dipancarkan pemuda dalam lukisan itu. 



Karim jadi sangat sering makan kentang. Karena setiap pagi ia ke pasar untuk bertegur sapa dengan si gadis, ia merasa harus membeli kentang. Sebenarnya ia mulai merasa bosan, tapi apa boleh buat. Tak apa lah ia mabuk kentang, asalkan bisa terus melihat senyum gadis yang dicintainya.



"Kenapa tidak kau katakan saja perasaanmu yang sebenarnya?" tanya seorang penjual sayuran yang entah bagaimana sepertinya bisa membaca pikiran Karim. "Kau ini kan Karim. Tak ada yang perlu kau takutkan."



Betapa benarnya perkataan orang ini, pikir Karim, kenapa pula aku masih harus takut.



Maka dengan segenap kepercayaan diri, ia pun menyatakan perasaan cintanya kepada sang gadis di depan khalayak ramai yang sedang melakukan transaksi jual beli di sana-sini.



"Maaf, Nona. Sesungguhnya aku sangat mencintaimu." katanya lantang, matanya memandang lurus mata si gadis. "Dan aku sudah bosan makan kentang, jadi tolong terimalah pernyataan cintaku ini."



Si gadis terkejut bukan kepalang. Kakek penjaja peralatan dapur bekas yang tidak laku terbangun dan menyimak. Orang-orang berhenti berbelanja dan memperhatikan. Suasana senyap ketika semua orang, terutama Karim, menunggu.



"Maaf." kata si gadis, menyesal.



Seketika muka Karim merah padam karena malu. Ia dapat mendengar suara beberapa lelaki tertawa terbahak-bahak di belakang punggungnya, diiringi kikik pelan tertahan ibu-ibu dan desis gunjing para pedagang di sekitarnya. Ia pergi tanpa mengucap sepatah kata pun, meninggalkan orkestra tawa di belakangnya dengan hati pilu penuh dendam dan amarah. Tanpa pikir panjang ia berlalu ke museum untuk mencurahkan kekesalannya pada sang lukisan.



Seperti biasanya, pemuda dalam lukisan seakan mengerti apa yang ia rasakan. Cahayanya meredup, nyaris hilang. Karim bahkan berani bersumpah ia dapat melihat air mata mengalir di pipi penghuni lukisan itu. Memang hanya sang lukisan tempat ia bisa percaya, yang tak akan mengkhianatinya sampai kapanpun. Ia pun semakin tenggelam dan tenggelam dalam kesedihan.



Sementara itu, di kota, telah datang seorang pengembara Bijak. Bukan, bukan seorang pengembara yang bijak, melainkan seorang pengembara yang bernama Bijak. Entah apakah sifatnya sebijak namanya, tak ada yang tahu.



Sang pengembara Bijak hanya seorang paruh baya yang sedang mengembara tanpa tujuan. Ia berpindah dari satu kota ke kota lain, dari satu kerajaan ke kerajaan lain, untuk sekedar singgah dan mencari makan. Syukur-syukur kalau ada wanita yang bisa dilamar, tapi ia terbiasa untuk tak terlalu berharap.



Ketika pengembara Bijak sedang berjalan-jalan di pasar, ia tak sengaja mendengar bisik-bisik para pengunjung. Rupanya, tak lama sebelum ia datang, terjadi sebuah peristiwa menarik. Konon katanya ada seorang pemuda yang menyatakan cinta pada gadis penjual kentang di depan banyak orang, tapi sayangnya si gadis menolak cintanya. Bijak tak kuasa menahan tawa. Pria bodoh macam apa yang melakukan itu? pikirnya.



Setelah puas berjalan-jalan di pasar, Bijak beristirahat di sebuah bangunan megah di tengah kota. Tempat yang sangat besar dan mewah, dengan pilar-pilar menyangga atapnya yang kedung dan sekitar puluhan undakan tangga yang berhenti di depan sebuah pintu yang untuk meraih kenopnya saja, sang pengembara harus berjinjit.



Di tengah kesibukannya mengagumi bangunan itu, ia mendengar suara isak tangis. Merasa berhalusinasi, ia memastikan pendengarannya. Benar saja, ada seseorang menangis di dalam bangunan tersebut. Penasaran, ia pun masuk, dan setelah berjalan beberapa langkah, menemukan seorang pemuda yang terduduk sambil menunduk, air mata bercucuran jatuh di atas karpet.



"Kenapa kau, nak?" tanya Bijak. "Seorang pria tidak boleh menangis. Sini, angkat wajahmu."



Pemuda itu mengangkat wajahnya, dan Bijak pun terkesiap.



Pemuda itu, istilah kasarnya, buruk rupa. Matanya juling, hidungnya besar dengan kedua lubang hidung menganga ke depan seperti hidung babi, dan kedua ujung mulutnya seakan menyangga beban berat hingga tertarik turun ke bawah. Semuanya terlihat semakin parah karena ia menangis.



Sang pengembara Bijak membisu sambil menahan napas selama beberapa saat, sebelum akhirnya dapat berkata-kata lagi. "Ehm, apabila tak keberatan, sudikah engkau menceritakan alasanmu berurai air mata seperti ini?"



Tanpa-ragu-ragu, pemuda itu langsung menceritakan apa yang terjadi. Rupanya ia adalah lelaki yang digosipkan, yang ditolak cintanya oleh gadis penjual kentang.

Pantas saja, pikir Bijak, mengawasi dengan khawatir kedua ujung mulut pemuda itu yang semakin lama semakin turun saja.


"Siapa namamu, Nak?" tanya Bijak setelah pemuda itu selesai bercerita.



"Karim." jawab Karim. Ia sedikit tersentuh dengan lelaki misterius yang tiba-tiba mau tahu urusan orang lain ini. Entah kenapa, ia merasa aman untuk menceritakan masalahnya pada lelaki itu. "Dan siapakah Anda?"



"Aku seorang pengembara. Namaku Bijak" jawab lelaki itu tersenyum.



"Pengembara Bijak." sahut Karim geli, lalu mereka berjabat tangan.



"Jangan menangis, Nak. Apa yang kau lakukan itu membutuhkan keberanian."



"Aku pun tadinya tak berani, tapi seorang penjual rempah-rempah dan seorang penjual sayuran mengatakan padaku bahwa tak ada hal yang perlu kutakutkan."



"Dan kenapa pula bisa begitu?"



"Karena aku adalah Karim. Mereka semua selalu memuji-muji ketampananku."



Karim dapat melihat Bijak terang-terangan terkejut mendengar perkataannya. "Mereka memuji ketampananmu?" ulang sang pengembara.



"Ya." angguk Karim, hidungnya yang seperti hidung babi kembang-kempis.



Ada kilatan mencurigakan dalam mata sang pengembara yang tidak dimengerti Karim. "Kau tahu," ujar Bijak, "empat dari lima perkataan manusia adalah kebohongan."



Karim memiringkan kepalanya, tak mengerti.



"Empat dari lima perkataan manusia adalah kebohongan." ulang Bijak. "Kau telah lama dibohongi."



Karim tersentak, keras dan menyakitkan, seperti terkena cambuk. Mungkinkah itu? Mungkinkah semua orang di sekitarnya telah menipunya? Selama bertahun-tahun seumur hidupnya sampai saat ini? Kalaupun iya, untuk apa? Mempermainkannya?



Merasa semakin sengsara, Karim membelai pigura lukisan kesayangannya, yang terlihat sama menderitanya. "Untung ada lukisan ini, yang selalu menemaniku tanpa pernah berkhianat."



Pengembara Bijak mendesah iba sambil menggeleng, "Karim, Karim...lihat dirimu, bahkan menipu dirimu sendiri."



Kali ini Karim benar-benar tidak mengerti, "Maksud Anda?"



"Nak, itu bukan lukisan." sahut Bijak, "itu cermin."



Merasakan sentakan yang lebih keras dari sebelumnya, seketika Karim memandang lukisan itu, yang balas memandangnya kaget. "Bukan!" seru Karim, seluruh sarafnya menegang penuh penolakan.



"Lihat baik-baik, anak muda, lihat baik-baik."



Karim memandangi lukisan itu dengan seksama, meneliti setiap guratan warnanya, gelap dan terangnya, ekspresi pemuda di dalamnya.



Dan ia menemukan bentuk wajah seorang yang buruk rupa, dengan mata juling, hidung besar yang kedua lubangnya menganga ke depan seperti hidung babi, dan kedua ujung mulut yang seakan menyangga beban berat hingga tertarik turun ke bawah. 



Pemandangan itu mengamuk dalam pikirannya. Kekecewaan berkecamuk dalam dadanya. Rasanya ia ingin menghancurkan seisi museum, meluluhlantakkan segenap kerajaan beserta penduduknya. Tapi ia sungguh tak berdaya saat ini. Ia patah hati, marah, dan kecewa. Terlalu banyak emosi dalam satu waktu.



"Hei, pengembara," ujar Karim letih, sampai pada sebuah keputusan, "bawa aku pergi bersamamu. Kemanapun, terserah. Asal bukan di sini."



Sang pengembara menimbang-nimbang sebentar, "Yah, tak ada salahnya mengembara dengan anak muda. Baiklah. Kau pulanglah dulu, kemasi barang-barangmu, lalu kembali ke sini nanti ketika matahari mulai terbenam. Saat itu adalah saat paling tepat untuk melakukan perjalanan."



Karim mengangguk lesu, memaksakan diri untuk mengangkat tubuhnya, yang terasa berat luar biasa sampai bisa berdiri, lalu menggumam, "Terima kasih. Sampai nanti."



"Sampai nanti." jawab sang pengembara sementara Karim melangkah gontai dan berlalu.



Sesuai janji, tepat ketika matahari berada di batas cakrawala, Karim menapakkan kakinya di depan pintu museum, tempat mereka berjanji untuk bertemu. Tapi ia tak melihat Bijak. Ah, mungkin sedang pergi makan, pikirnya. Lalu ia pun duduk dan menunggu.



Beberapa waktu berlalu, tapi masih tak terlihat batang hidung sang pengembara. Ah, mungkin setelah makan, ia ke kamar kecil dulu, pikir Karim lagi sembari mengawasi beberapa pria kekar yang bermain kartu sambil menenggak arak di sebuah kedai tak jauh darinya.



Ia masih mengawasi ketika kedai itu tutup, diikuti kedai-kedai lain yang berderet di sampingnya. Angin dingin berhembus kencang tanpa halangan, ketika nyaris semua pengguna jalan kembali ke rumah masing-masing, menyisakan sepi yang mencekam. Yang dinanti tak juga datang. Kemanakah ia gerangan?



Sekarang Karim benar-benar sendirian di situ, bersandar lesu di depan pintu museum. Lapar dan kedinginan. 



Tiba-tiba saja sebuah kenyataan menamparnya keras, menoreh luka baru pada luka-luka tadi yang masih basah. Ia teringat perkataan sang pengembara tadi.




"Empat dari lima perkataan manusia adalah kebohongan."     






-selesai-