September 09, 2012

Tiramisu Stroberi Rasa Kopi

Sudah sekitar sepuluh menit kita duduk di ruang tamu ini, tanpa sepatah kata pun terucap. Udara terasa sangat panas, melalui jendela aku dapat melihat bayang-bayang fatamorgana yang disebabkan oleh teriknya matahari. Kipas angin tua yang kotor itu pun nyaris tak membantu, hanya menghembuskan angin berdebu yang tak dapat mencapai bahkan puncak kepalaku. Selembar kain yang menutupi tubuhku rasanya terlalu banyak. Panas. Gerah. 

Tapi kamu duduk di situ, terlihat santai saja. Sesekali menggoyangkan kaki sambil bersenandung kecil. Lagu yang tidak aku ketahui. Kalau aku tahu, aku kan pasti ikut menyanyikannya bersamamu.

Kalau kamu tidak sedang bersenandung, suasana menjadi sangat sunyi. Aku dapat memisah-misahkan suara yang tertangkap oleh telingaku dan menulis sebuah daftar. Selain suara kipas angin tua yang terbatuk-batuk, aku dapat mendengar dengan jelas detik jam dinding yang menggantung tinggi di atas kepalamu. Air menetes-netes dari keran di tempat cuci piring di dapur, dengan ketukan yang berirama, silih berganti dengan suara detik dari jam dinding. Kulkas berdengung. Aku bahkan dapat mendengar suara televisi dari rumah sebelah kanan dan suara air mengalir deras dari rumah sebelah kiri, mungkin mereka menyalakan keran kamar mandi dan lupa mematikannya. Tapi entah kenapa aku tak dapat mendengar suara napasku sendiri, hanya samar-samar seperti dari kejauhan.

Hei, apa yang sekarang ada di pikiranmu? Apakah kamu memikirkan sekolah? Kuliah? Pekerjaan? Masa depan? Masa lalu? Cuaca? Makanan? Film bioskop? Buku? 

Apakah kamu memikirkanku?

Sungguh rumit sekali perasaan ini. Tidak sederhana seperti yang mereka katakan dalam lirik-lirik lagu, dalam dialog-dialog sinetron kacangan yang dapat kau temukan setiap hari di televisi. Tidak indah menawan seperti taman bunga mawar. Tapi tidak juga semrawut seperti jalanan kota besar. Tidak manis dan menyenangkan seperti yang mereka katakan dalam novel teenlit dan komik remaja. Tapi tidak juga terlampau pahit dan menyakitkan seperti yang mereka keluhkan dalam jejaring sosial dan buku harian. Tidak gamblang, tapi tidak juga terlalu samar. Berlapis-lapis, tapi tak semuanya menyatu. Seperti puzzle yang berkaitan, tapi tak semua kepingnya saling mengisi. 

Seperti rainbow cake?
Bukan, tidak sesederhana warna-warni itu.

Banyak hal yang bercampur, tapi ada juga yang terpisah sendiri-sendiri. Antara satu sama lain sebenarnya tidak berhubungan, tapi ternyata saling memengaruhi. Kadang berhias, kadang tidak. Tak dapat dipastikan. Tidak memiliki standar. 

Entah bagaimana Tuhan menciptakan perasaan yang sedemikian rumitnya kepada satu orang manusia. 

Jarum panjang di jam dinding telah lama melewati angka tiga, sudah lebih dari lima belas menit. Aku tidak ingin mengatakan apa-apa, tak juga menunggumu untuk bicara. Dan aku tahu kamu pun begitu. Aku tahu kita dapat duduk di sini seharian tanpa membuka mulut sama sekali. Dan aku tak keberatan.

Tapi aku menangkap secercah keindahan di wajahmu, meskipun kau tidak sedang tersenyum saat itu. Keindahan yang tercipta ketika mata kita bertemu pandang, dan aku dapat merasakan seluruh partikel udara di sekitar kita bersorak, merayakannya bersama alam semesta.


Tak perlu penjelasan atas kerumitan yang kurasakan ini. Toh asal kamu merasakan kerumitan yang sama, itu sudah cukup.