Juni 25, 2012

Awal dari Sebuah Mimpi Besar: Bagian Dua


Aku bermimpi mendirikan sekolah.

Untuk mengingat kembali apa yang sebenarnya mendasari mimpi besarku ini, aku perlu mundur beberapa tahun ke kisah-kisah masa silam. Mungkin akan panjang jadinya kisah ini, maka akan kubagi ke dalam beberapa potongan. 

Sebelumnya:

---------------------------------------------------------------------------------------


Dua

Masa SD-ku pun tak jauh berbeda dengan masa TK. Hanya saja, ketika SD, aku mulai mengenal yang namanya ‘teman’. Sebelumnya aku hanya memandang orang lain yang sekelas denganku sebagai ‘kenalan’, orang lain yang kebetulan punya urusan yang sama denganku di tempat itu. Tapi semua itu berubah ketika aku menemukan sebuah kenyamanan dalam hubungan antar manusia yang memiliki sedikit-banyak kesamaan dalam memandang segala sesuatu. Aku menemukan orang-orang yang bisa kupanggil teman.

Pada akhir kelas 1 SD, aku menyadari adanya pembedaan kelas di sekolahku, yaitu kelas A dan kelas B. Murid-murid kelas A adalah anak-anak rajin belajar dengan nilai akademik tinggi dan memiliki prestasi yang menjanjikan di bidang-bidang lain, sedangkan kelas B adalah—yah, sisanya. Entah karena kebetulan atau keberuntungan, aku masuk dalam kelas A. Aku sama sekali tak ambil pusing terhadap pembedaan kelas ini, sebenarnya. Aku tidak peduli masuk yang mana, yang penting sekolah. Sampai suatu hari ketika pertemuan orang tua, aku datang bersama ibuku, dan—sebagai makhluk sosial—ibuku terlibat dalam percakapan dengan orang tua murid lain, dan kira-kira beginilah percakapan yang kudengar di sana-sini saat itu:

Ortu A: “Ibu anaknya yang mana?”
Ibuku: (menggandeng tanganku) “Ini, namanya Sarah. Kelas 2.”
Ortu A: “Oh, sama, ini anak saya juga kelas 2. Namanya (silakan isi nama apapun, soalnya aku lupa =P). Alhamdulillah, kelas 2A. Kalau Sarah ini kelas 2 apa, Bu?”
Ibuku: (bingung, lalu menoleh padaku) “Kelas apa, nak?”
Aku: “2A.”
Ortu A: “Waaah, sama dong. Pinter dong berarti, Bu. Yang masuk kelas A kan cuma yang pinter-pinter, yang nilainya bagus.”

Lalu barulah aku menyadari hal itu, bahwa pembedaan kelas ini adalah big deal. Aku mendengar percakapan-percakapan serupa di sana-sini antara orang tua lain. Saling memamerkan keberhasilan anaknya masuk kelas A, beberapa menyanjung-nyanjung anaknya yang mengikuti beberapa macam les dalam sehari, beberapa membanggakan rangking kelas anaknya cawu—singkatan caturwulan, kalau kau masih ingat—lalu. Kenyataan ini menghampiriku dengan telanjang hingga aku tersentak. Tak pernah terpikir di otak-kelas-2-SD-ku bahwa “nilai mata pelajaran yang tinggi” adalah sesuatu yang penting. Lihat betapa ibuku kebingungan ketika ditanya aku masuk kelas apa? Ibuku pun tak pernah menanyakan hal-hal teknis macam itu soal sekolah. Ibuku hanya menyiapkanku sebelum berangkat, menyambutku pulang, dan menanyakan soal hal baru apa yang kudapatkan pada hari itu dan bagaimana teman-temanku, tapi sungguh TIDAK PERNAH SEKALIPUN ibuku meributkan soal nilai ulangan—sebutan untuk ujian kala itu. Kalaupun menanyakannya, dan aku menjawabnya, tidak pernah terjadi penghakiman apakah nilai itu “bagus” atau “buruk”. Ibuku menerima semua nilai-nilaiku—yang kalau kuingat-ingat lagi sekarang, nggak bagus-bagus amat—begitu saja tanpa banyak berkomentar. Terbiasa seperti itu, aku menjadi acuh terhadap nilai, yang setelah mengetahui esensi sebenarnya dari pembedaan kelas 2 itu, mengubah pandanganku terhadap banyak hal.

Aku mulai melakukan sedikit usaha untuk meraih nilai tinggi, karena aku menyadari bahwa—lepas dari tidak adanya tuntutan dari orang tuaku—dapat meraih nilai tinggi memberiku sebuah kepuasan. Kepuasan karena aku berusaha, dan aku mendapatkan hasil dari usaha tersebut. Aku belajar untuk tiap mata pelajaran, dan aku menyadari bahwa aku bagus di pelajaran bahasa dan IPS, tapi sangat payah di pelajaran matematika dan IPA. Aku masih ingat bahwa aku pernah mendapat nilai 2 untuk ulangan matematika. Nilai 2 dari 10. Teman-temanku yang lain bisa nangis jerit-jerit nggak mau pulang karena takut dimarahi orang tuanya kalau dapat nilai segitu. Tapi aku, sekali lagi, tidak peduli.

Namun ketidakpedulian itu tidak bisa berlanjut lama. Seiring aku naik kelas, semakin kurasakan adanya beban yang kuemban sebagai murid kelas A. Setelah mengetahui adanya sebuah prestise yang dibawa nama “A” ini, aku merasa harus mempertahankannya. Padahal kuberi tahu kau, teman-teman sekelasku ketika SD adalah, seperti biasa kubilang, adalah para monster. Monster-monster berotak luar biasa yang diiringi dengan mental juara. Mental rangking sepuluh besar. Aku ingat ada beberapa temanku yang langganan ikut lomba ini-itu, bahkan sampai jadi juara olimpiade-di-jakarta-entah-apa-aku-lupa yang menuntut mereka belajar terus-terusan sampai ada yang sakit. Aku sekelas dengan orang-orang luar biasa. Bukan anak SD biasa.

Ada banyak sekali waktu dimana aku merasa sangat minder. Rendah diri. Merasa tidak yakin apakah aku memang pantas berada di situ, duduk dalam ruangan yang sama dengan mereka. Kepercayaan diriku runtuh di luar kuasaku. Aku jadi sangat membenci sekolah. Aku benci karena seberapapun aku berusaha, nilai matematika-ku tak pernah bagus. Aku benci karena payah dan selalu menjadi bahan tertawaan saat pelajaran olahraga. Aku benci karena banyak sekali pelajaran yang tidak kusukai tapi harus kupelajari. Aku benci karena hanya libur di hari minggu. Aku menemukan banyak sekali hal yang membuatku jadi enggan ke sekolah. Ketika ayahku ke luar kota dan hanya ada ibu di rumah, biasanya aku membolos saja. Ibuku selalu membolehkan aku membolos, asal perilaku-ku di sekolah baik-baik saja dan aku tetap naik kelas. Tapi kalau ada ayah, aku tak pernah berani coba-coba. Pernah sekali aku membolos sepengetahuan ayahku, dan ia bahkan tak segan-segan mengambil ikat pinggang dari kulit untuk memukuliku. Mengerikan. Aku hanya bolos kalau ayahku sedang tidak di rumah.

Apa yang terjadi? Apa yang salah?

Meskipun mulai memiliki teman, aku belum menemukan hal menyenangkan dari sistem “wajib belajar” ini. Aku tidak menemukan masa depanku darinya ketika itu. Belajar selama enam tahun di SD hanya memberiku banyak sekali pertanyaan tak terjawab akan ketidakpuasan dan kekecewaan yang kurasakan. Patutkah aku merasa seperti itu? Atau sebenarnya aku hanya seorang anak SD kelewat melankolis yang terlalu mengada-ada?

Entahlah, toh aku berhasil lulus dengan nilai lumayan—lumayan bagiku, setidaknya. 8,33 untuk matematika dan 9,33 untuk Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Lihat? Belajar selama enam tahun pun hanya ketiga pelajaran itu yang pada akhirnya menjadi penting. Bingung aku.

Dengan membawa kebingungan, aku melanjutkan masuk SMP. Beberapa pemikiran telah muncul dalam benakku, namun belum bisa kususun.


Ini pun masih awalnya, meskpun aku mulai bisa melihat sesuatu. 




-to be continued-

Juni 21, 2012

Hal-hal Menyenangkan

Halo.


Hari ini aku senang. 


Layout blog-ku baru, lebih simpel dan menyenangkan daripada yang dulu. Dibikinin si Azam brewok yang makin kece aja (brewoknya) tiap hari. 


Tadi pagi bikin paspor di Kantor Imigrasi, ngurusnya cepet, antre-nya nggak lama, dan bapak-bapak penjaga loketnya nggak judes. Memang nggak melayani dengan senyum sih, tapi kalau mengingat urusan-urusan dengan birokrasi macam itu biasanya kurang menyenangkan, kalau dilayani tanpa di'sengak'i aja aku sudah cukup senang. 


Siangnya dapat kabar bahwa gaji tutor Inculs udah turun. 


Sorenya karaoke. Tiga jam. Banyak ketawa dan banyak teriak-teriak (loh bukan nyanyi?). Yang ikut karaoke gila semua soalnya. Tiga jam. Oh, aku udah bilang ya tadi? Tiga jam. Pokoknya mantap. Dilanjutin sampai empat atau lima jam juga aku masih bisa (dan mau), sebenarnya, tapi jangan deh. Toh dapat voucher bisa dipakai buat kapan-kapan.


Malamnya dapat kabar kalau Pijar dapet beasiswa ke Hiroshima University. Ikut senang, soalnya insya Allah kalau segalanya lancar, aku bakal maen kesana juga pada bulan Oktober. Bukan, bukan beasiswa atau apapun. Syukur alhamdulillah puji Tuhan (bisa) pakai uang (bapak) sendiri. Nggak lama, sih, mungkin seminggu. Nggak cuma buat plesir juga. Yah, ada macam-macam lah pokoknya. Bismillah, semoga semuanya lancar.   


Dini hari nanti ada pertandingan perempat final EURO antara Ceko dan Portugal. Dua-duanya tipe tim penyerang bertempo cepat, jadi mestinya bakal seru. Sudah kutunggu-tunggu dari kemarin. Nggak sabar.




Hari ini banyak tertawa. Banyak menemukan hal baru. Banyak bersyukur.
Terima kasih. =)


Juni 17, 2012

Berkicau Sebanyak Apapun, Sepertinya Kau Tidak Bisa Mendengarku

Sesuatu menggelayuti dadaku.


Berat dan sakit.


Aku mengenang kepada waktu ketika semua tak jadi seperti ini. Ketika hubungan dua manusia masih begitu suci dan penuh ketulusan, tak bersyarat dan tak menuntut. Ketika apa yang ia perdengarkan adalah sebuah wahyu indah hanya untukmu. Ketika apa yang ia perlihatkan adalah sebuah karya seni terelok yang hanya kau yang bisa nikmati. Ketika semua yang terjalin berdasarkan keikhlasan, bukan keharusan, seperti yang kulihat sekarang ini.


Waktu tidaklah kejam, ia hanya selalu berjalan. Ia bak anak kecil, polos dan tidak peduli. Namun ia tahu apa yang harus ia lakukan; berjalan tanpa bernah berhenti. Tak usah lah kau salahkan ia.


Takdir pun tidaklah kejam. Ia hanya sebuah skenario yang tak menyenangkan dan tak terhindarkan, namun memang itulah tugas yang diembannya. Aku mempercayai Sang Sutradara, bahwa sesungguhnya Ia jauh lebih mengetahui segala sesuatu daripada kita para aktornya. Tak usah lah kau salahkan ia.


Aku tahu bahwa kau maupun dia selalu mencari pertanggungjawaban kepada siapa yang bersalah. Manusiawi. Aku sendiri sungguh tak tahu. Pusing kepalaku hanya memikirkan di mana letak kesalahannya sehingga waktu dan takdir terlihat begitu jahat. Terbuang semua air mataku menyesali kepergian sebuah keikhlasan, yang semakin hari semakin tipis saja bak seutas benang terbagi tujuh. Mengeras sudah perasaanku seiring kuejawantahkan kewajiban-kewajiban yang kau syaratkan, kelelahan mengartikan setiap kode-kode bisu yang ia layangkan, muak dengan segala kepura-puraan yang menari-nari telanjang di atas permukaan ini.


Hei kau!


Tahukah kau betapa dangkalnya dirimu, melenggak-lenggok sombong di atas panggung mewah itu, menyandiwarakan sebuah drama yang hanya kau sendiri yang bisa nikmati? Kau seenaknya menarik dia untuk memainkan drama ini bersamamu, berharap bisa mendapatkan pengakuanku. 


Bukan. Aku sama sekali tidak sedang mencari pertunjukan. Aku menantangmu untuk datang pada kenyataan ini, padaku dan padanya yang menunggumu sebanyak entah berapa juta tetes air hujan telah turun. Rasakan jalan yang harus kau lalui untuk mencapainya yang telah jatuh dan terinjak-injak, berulang kali dan berulang kali. Aku ingin melihatmu datang, terseok dan tertatih, pucat dan berlumur lumpur, sambil menggendong sekarung besar berisi keping-keping keikhlasan yang telah kau lempar ke dalam sumur kebahagiaan semu milikmu. Aku ingin kau bawa pecahan itu, lalu susun kembali di sini di depan mataku. 


Sudah begitu pun, aku tak yakin kau akan mendapatkan pengakuannya.   


Aku bahkan tak yakin bahwa kau menginginkannya.


Mungkin kau sudah jatuh terlalu jauh dalam sumur itu, terlena akan kecantikan palsunya, dimabukkan oleh semerbak semunya. Tak pelak kau terlalu lemah untuk mendaki ke atas, ketakutan membayangkan rasa sakit pada jemari tangan dan kakimu seiring tiap langkah yang kau ambil. Kau terlalu naif untuk menyadari betapa pengecutnya dirimu.


Kau lihat? Kepercayaanku yang telah tergerus ombak-ombak besar kebohonganmu ini hanya tinggal berupa lembaran yang terbuat dari pasir. Pun dia yang selalu menantimu dalam diam, menghaturkan doa-doa setiap hari agar kau mau kembali ke sini, ke tempat ini.


Sudah terlalu jauh, berlarut-larut. Tidakkah kau lelah? Tidakkah kau ingin pulang?


............


Aku ragu kau bisa menjawab. 
Aku bahkan ragu apakah kau mengerti maksudku.


----------------------------------------------------------------------------------------------------------


Entah ada di mana sekarang keihklasan. Entah ia utuh ataukah tercerai-berai. Entah apakah manusia sadar akan kehadirannya.


Kalau kalian masih memilikinya barang secuil saja, simpan ia bak sekotak perhiasan. Sungguh kita tidak tahu akan jadi seperti apa dunia ketika kita tak lagi memilikinya.





Juni 16, 2012

Awal dari Sebuah Mimpi Besar: Bagian Satu


Aku bermimpi mendirikan sekolah.

Untuk mengingat kembali apa yang sebenarnya mendasari mimpi besarku ini, aku perlu mundur beberapa tahun ke kisah-kisah masa silam. Mungkin akan panjang jadinya kisah ini, maka akan kubagi ke dalam beberapa potongan.

----------------------------------------------------------------------------------------------


Satu

Sepanjang yang kuingat, aku tak pernah menyukai yang namanya ‘sekolah’. Aku pernah masuk Taman Kanak-kanak (disingkat TK, kalau kau masih ingat) ketika berusia lima tahun, dan masa-masa itu sama sekali bukan masa yang menyenangkan bagiku. Waktu itu, aku sudah mempelajari semua yang diajarkan di TK dari ibuku. Beliau mengajariku membaca, menulis, menggambar, mewarnai, dan menyusun balok jauh hari sebelum aku masuk TK. Mungkin ini terkesan sangat nggaya, tapi aku jadi merasa luar biasa bosan di TK setiap hari, mempelajari hal yang sama berulang-ulang. Ditambah lagi karena badanku yang gendut (dan unyu sangat sebenarnya =33) aku jadi sering diejek oleh teman-temanku yang badannya bengkring-bengkring kayak bambu. Waktu TK, aku sering di-bully, atau dalam bahasa Sastra Jepang yang sering kupakai sekarang—di’ijime’. Semakin malas lah aku ke TK. Padahal kalau kupikir-pikir lagi sekarang, sebenarnya tak ada alasan dulu aku harus diijime. Kenapa aku tidak pernah terinspirasi oleh film-film Amerika dimana anak berbadan besar lah yang mengijime teman-temannya? Kenapa di Indonesia lebih sering terjadi anak berbadan gendut diijime oleh teman-teman kecilnya yang sebenarnya sekali sentil bisa terbang jungkir balik? Aneh memang, mengingat betapa pengecutnya diriku dulu. Dan semua itu membuatku sama sekali tidak menikmati masa TK, hingga akhirnya aku membolos nyaris setiap hari. Ibuku tahu aku memang sudah menguasai semua yang diajarkan, maka dibiarkannya saja aku.

Selain tidak menikmati pelajaran dan teman-temannya, aku juga tidak pernah menyukai suasana dan kebiasaan-kebiasaan kecil yang terjadi di sana. Aku tak suka keramaian, maka aku selalu menjadi yang paling akhir ketika mereka semua berebutan mengambil snack siang hari. Aku selalu menjadi yang paling akhir ketika mereka semua berebutan mengambil krayon dalam kotak yang diberikan Ibu Guru setiap pelajaran menggambar. Aku selalu menjadi yang paling akhir ketika mereka semua berebutan mengambil balok-balok kayu saat kami bermain. Aku tidak suka berebut. Lebih baik tidak usah mendapatkan apa-apa daripada harus berebut. Saat itu pun aku selalu mendapat sisa, namun aku tahu bahwa aku selalu bisa membuat sesuatu yang lebih daripada teman-temanku yang lain, dan itu membuatku menjadi sedikit sombong. Tak kurasakan lagi perlunya aku datang ke tempat itu.

Aku masih ingat benar bahwa total kehadiranku di kelas saat TK hanya selama tiga bulan. Sisanya, aku membaca, menulis, menggambar, mewarnai, dan menyusun balok sendiri di rumah. Hanya seperti itulah aku melewatkan masa TK-ku. Dan tanpa melewati kelas Nol Besar—kalau kau masih ingat, aku langsung lompat masuk ke SD di usia 6,5 tahun.

Tiga bulan. Tak berkesan, bahkan tak kusesali sama sekali ketidakhadiranku di tempat itu.


Tapi ini baru awalnya. 


-to be continued-

Juni 15, 2012

Pelangi

Ada pelangi meluncur dari telingaku, berputar-putar lalu terbang ke atas
berdenting dan berlari
meluncur dan menari


warna-warna saling bercumbu bahagia
terbang semakin tinggi, semakin tinggi,
semakin tinggi






sampai mereka menemukan senyummu.




dan aku dapat mendengar gegapnya.




di sini, dari telingaku.
yang pelangi tiada berhenti meluncur sejak mengenal gempita itu.
ramai, ramai sekali.
bising dan riuh, nyaris membingungkan.
tapi juga menyejukkan.




maka tak usah lah kau berhenti.
karena aku menunggu
nada yang susul menyusul
bersahutan
menggema 
memantul-mantul




biarkan gegapmu sampai pada pelangiku.
dan biarkan aku menangkapnya.




senyum itu.











Juni 12, 2012

Apa yang Akan Terjadi Kepada Dunia Ketika Aku Mencoba Merengkuhmu ?

Apa yang akan terjadi kepada dunia ketika aku mencoba merengkuhmu ?


toh langit akan tetap bertengger di sana, menatapku sombong, seolah memuntahkan ejekan bahwa aku tak akan pernah bisa meraihnya.


toh gunung akan tetap bergeming di sana, diam dan angkuh, bahkan tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.


toh samudra akan tetap berada di sana, setiap partikelnya saling bertabrakan mengadu kekuatan, menantang, melibas, memuncratkan tawa mengejek kelemahanku.




pun aku tak hanya sedang mencari pembuktianku. 
pun aku tak hanya sedang menjilatimu untuk pengakuan diriku.
pun aku tak hanya sedang memohon manja kepada semesta untuk pengertianku.




Memangnya apa yang akan terjadi kepada dunia ketika aku mencoba merengkuhmu ?

Juni 10, 2012

Diary Cinta Empat Musim Chapter 5 (End): Musim Dingin

Previously:

Diary Cinta Empat Musim Chapter 1
Diary Cinta Empat Musim Chapter 2
Diary Cinta Empat Musim Chapter 3
Diary Cinta Empat Musim Chapter 4

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rumah-rumah mulai mengaktifkan kembali perapian dan penghangat ruangan mereka. Mantel tebal dan syal mulai dikeluarkan dari lemari pakaian dan menjadi seragam wajib setiap hari. Para penjaja kipas alih profesi menjadi pedagang sarung tangan wol dan topi hangat. Semua suasana ini menunjukkan bahwa sekarang telah memasuki musim dingin.


Aku memanfaatkan waktuku dengannya sebaik mungkin sepanjang sisa musim gugur. Hari berganti hari, aku makin sedih dan takut. Berbagai perasaan melandaku, bergulung bertubi-tubi, semakin hari terasa semakin berat. Aku tak cukup kuat untuk membiarkannya menghabisiku dari dalam, tapi perasaan itu sungguh tak terhindarkan.


Akhirnya, tibalah saatnya.


Aku berusaha tegar dan tenang ketika ia mengajakku keluar menyambut salju pertama yang turun. Ia terlihat biasa saja, tanpa beban. Mungkin segala keresahan itu telah mencapai batasnya hingga tak ada lagi yang dapat dikatakan maupun dilakukan.


Kami berdiri berdua di tempat kami bertemu pertama kali. Beberapa pasangan berjalan mesra, dengan riangnya membicarakan rencana-rencana indah mereka di malam tahun baru sementara anak-anak berlarian kesana-kemari, sesekali merayu orang tua mereka agar membelikan berbagai macam hadiah. Aku memandangi orang-orang itu dengan iri, membayangkan seandainya kami pun bisa bersama lebih lama lagi, menjalin ikatan yang lebih dalam, membentuk kehidupan yang hanya milik kami. Sungguh, aku menginginkannya lebih dari apapun.   


Kami terus berdiri dalam diam, mengawasi orang-orang yang perlahan semakin berkurang, suara-suara yang perlahan menghilang, suasana menjelang larut malam yang sunyi dan dingin.


Tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur dari mulutku, "Kenapa aku?"


Ia tersenyum, manis sekali. "Karena kau yang menungguku."


Hening, lalu ia melanjutkan, "Malam itu sangat dingin, tapi semua orang terlihat begitu hangat, sementara kau, begitu dingin. Hatimu bagaikan gurun es, dingin dan gersang. Kau sama sekali tak memiliki cinta."


Jawaban itu menyulut kegelisahanku ke permukaan. Bermacam pertanyaan dan jerit ketidakpuasan berkecamuk dalam kepalaku, namun lagi-lagi aku hanya dapat bertanya, "Kenapa aku?" 


Ia sejenak meniup tangannya yang dingin. "Untuk memperkenalkan perasaan itu kepadamu. Bahwa ia pasti datang, namun ia juga bisa pergi. Bahwa ada yang bisa kau pertahankan, tapi ada juga yang tidak."


Aku menggigiti bibirku. "Kau datang. Dan aku ingin mempertahankanmu."


Ia menggandeng tanganku--tapi tak kubalas menggandengnya. Ia menatap mataku lekat-lekat. Aku melihat sekelebat penyesalan dalam matanya, namun tidak ada keraguan. 


"Kau tidak boleh mempertahankanku."


Aku balas menggandeng tangannya, nyaris menangis tapi kutahan-tahan. 


"Kau tidak boleh mempertahankanku." ulangnya, "Salju akan mencair."


Aku tahu. Aku tahu itu, tapi aku tak merasa cukup kuat untuk menerimanya. Mataku terasa panas, kakiku sekonyong-konyong terasa lemas, tak kuat menahan beban tubuhku. Perutku bergolak, seakan seekor ular menggeliat di dalam situ. 

"Tenang saja," lanjutnya tiba-tiba, tersenyum simpul. "Kau telah mengenalinya, maka kau akan kembali merasakannya, cepat atau lambat."

Ia mempererat genggaman tangannya. "Dan saat itu, pertahankanlah."

Aku balas mempererat genggaman tanganku. Seluruh tubuhku bergetar. Dapat kurasakan tangannya yang semakin lama semakin dingin. Aku menyadari kebenaran dalam setiap perkataannya, maka setengah mati kuanggukkan kepalaku.


"Terima kasih."


Seiring aku mengucapkan dua kata itu, aku dapat merasakan samar-samar bahwa saatnya telah tiba. Salju pertama yang telah dijanjikan, muncul di sudut mataku. Aku tahu ia telah hadir, turun berayun lembut, menembus udara di sekelilingnya dengan elegan. Ia akan segera menyentuh tanah.


Kami berpandangan, serasa berada dalam area gerak lambat. Kutelusuri wajahnya dengan mataku yang berbingkai air mata, melukiskan setiap inci guratan kecantikannya dalam benakku. Memori akan semua mimik wajahnya muncul berkelebatan, kupatri dalam-dalam di ingatanku. Suaranya, gerak-geriknya, kelembutannya, dan segalanya tentang dia, kurekam cepat dan kukemas dalam sebuah kotak emas.


Senyumannya adalah hal terakhir yang kulihat sebelum akhirnya tanganku tiba-tiba menggenggam udara kosong. Salju pertama telah menyentuh tanah.


Air mataku yang jatuh seakan merayakan diriku yang terbangun dari mimpi indah selama satu tahun ini. Ya, mimpi indah.


Karena aku telah bertemu bukan dengan bidadari.
Bukan pula malaikat.
Melainkan seorang wanita salju.


Yang juga telah mengajariku sesuatu.






-Selesai-






Juni 07, 2012

Seperti Kepadamu

Aku ingin jatuh cinta.

Seperti memandang kosong pada secarik kertas, kebingungan mencari jalinan kata. Setengah mati memutar otak untuk menuliskan ekspresi yang tepat. Menulis sebaris, lalu menghapusnya. Menulis lagi, tapi kembali menghapusnya. Begitu terus berulang-ulang hingga kertas itu sobek. Tapi aku akan tertawa sambil mengambil secarik kertas yang baru.


Aku ingin jatuh cinta.

Seperti tersesat di suatu tempat, kebingungan tak tahu jalan. Bergerak tak tentu arah. Sesekali bertanya, namun tak berhasil menemukan jalan keluar. Berjalan sekenanya mengikuti insting, lalu berhenti di jalan buntu. Lelah dan beristirahat. Berjalan dan bertanya, namun tetap berputar-putar di tempat yang sama. Tapi aku akan tertawa dan kembali berjalan.


Aku ingin jatuh cinta.

Seperti tidur di tengah padang ilalang, lembut menggelitik pipi dan sekujur tubuh. Kupu-kupu kecil menyeruak di antara hamparan, hinggap di atas pelupuk mata dan tak mau pergi. Matahari bertengger gagah di atas awan, menggelontorkan panas ke seluruh penjuru. Membakar kulit. Tapi aku akan tertawa dan bertahan di situ.


Aku ingin jatuh cinta.

Seperti terjun ke kedalaman laut. Sakit oleh kerasnya tamparan ombak. Sesak, tak dapat bernapas. Seluruh serabut saraf meronta-meronta meminta kebebasan. Organ-organ bergolak, berdenyut, seiring bisikan riak air di sekeliling yang tak ada hentinya. Tapi tak lama kemudian, aku tertawa dan terjun semakin dalam.  


Aku ingin jatuh cinta.

Seperti serpihan kebahagiaan kecil saat menemukan anak kucing tersesat di selokan. Saat menerima ucapan ulang tahun yang terlalu cepat. Saat melantunkan lagu di teras rumah. Saat menikmati segelas kopi pahit hangat dan terjaga sepanjang malam. Bercerita dengan bulan purnama seperti orang bodoh. Tapi aku akan tertawa dan kembali bercerita.


Aku ingin jatuh cinta.


Seperti kepadamu.