November 08, 2012

Finally, Japan! -Part 1-

Halo!
Long time no see! =D

Menyusul kumpulan foto sekenanya yang sudah aku share lebih dulu di facebook, kali ini aku ingin sedikit (atau banyak? entahlah, kita lihat saja nanti) bercerita tentang pengalaman pertamaku pergi ke (salah satu) negara impian yang ingin kukunjungi, Jepang. Sebisa mungkin, aku akan menyantumkan foto dan video yang aku (kami) potret dan rekam sendiri. Tapi mohon maaf sebelumnya, karena aku kurang suka foto2, jadi aku sering kali lupa menangkap momen/pemandangan memorable dengan kameraku. Aku sih nggak keberatan, selama semua itu masih bisa terekam dalam ingatanku. Semoga saja kekuatan deskripsiku cukup kuat untuk membantu kalian membayangkan apa yang sebenarnya ingin kusampaikan. Selain menceritakan hal2 yang kulihat, tentu saja akan banyak bumbu2 pendapat pribadi dan subjektivitas. Harap maklum, namanya juga anak muda (apasih).

Perlu diketahui sebelumnya, bahwa alasanku ke Negeri Matahari Terbit itu bukan sesuatu yang terdengar menjanjikan dan bersahaja(?) seperti dapat beasiswa atau ikut seminar atau kegiatan bersifat akademik lain, seperti yang biasanya dilakukan teman2 sastra jepang yang berprestasi. Aku pergi dengan biaya (orang tua) sendiri (alhamdulillah) setelah sebelumnya diajak oleh Azam--teman seperjuangan seperguruan--yang sebelumnya diajak oleh band indie-pop kece asal Jogja, Brilliant at Breakfast (selanjutnya akan disebut Brilliant, karena kalau disingkat menggunakan huruf awal masing2 kata, akan menjadi singkatan yang kurang menyenangkan), yang direncanakan akan tampil live di dua tempat di Tokyo. Diharapakan kami--aku dan Azam--yang notabene mahasiswa pembelajar bahasa Jepang (yang sebenarnya masih sangat payah) ini dapat membantu mereka selama di sana dalam hal komunikasi dan menjadi guide terutama untuk urusan membaca peta jalur transportasi--yang ternyata sebagian besar memang tertulis dalam huruf kanji.

Kami berangkat dari Jakarta tanggal 17 mruput--jam 6 pagi--lalu transit di Kuala Lumpur. Setelah kurang lebih 6 jam yang membosankan akibat suasana "bilik menunggu keberangkatan antarabangsa" yang sumpek sempit rame dengan toko dan pemandangan yang itu2 saja, akhirnya kami dipersilakan untuk melanjutkan perjalanan menuju Haneda yang memakan waktu sekitar 7 jam (kalo nggak salah ingat). Berikut ini beberapa foto menarik di bandara Kuala Lumpur.

air mineral yang kubeli di bandara KL. "Setiap tetesan Alla Fonte menjana saya ke cabaran F1..." hahaha ngemeng epeh

ini luar biasa bombastis: Special waiting room = Bilik menunggu khas. lololol.

tempatku beli sarapan. aku beli "mie mamak". rasanya sangat Malay.

suasana terminal tempat kami menunggu saat itu. ruame bianget kayak terminal giwangan -_-

Kala itu adalah pertama kalinya aku naik pesawat Air Asia (bukan berarti biasanya selalu naik Garuda ya, bukan). Ternyata memang sempit dan sekenanya. Apa boleh buat, ada rupa ada harga. Udah alhamdulillah bisa dapet tiket murah, yang penting sampai dengan selamat. Toh sebagian besar waktuku dalam pesawat habis buat tidur. 

Duduk di sebelahku waktu itu adalah seorang ojii-san (kakek2 jepang) yang selama sepertiga perjalanan tak berkata sepatah pun. Lalu ketika tiba waktu pramugari membawa kereta dorong berisi makanan, ojii-san itu memesan sebotol minuman yang terlihat mencurigakan. Benar saja, ketika aku sedang menikmati nasi lemak (dari namanya terbayang kelemakannya--halah) si ojii-san itu tiba2 ngajakin aku ngobrol geje pake bahasa Jepang. Aku pun menanggapinya sekenanya karena aku tahu ojii-san itu pasti sedang berada dalam pengaruh minuman beralkohol. Biar kukasih tahu sesuatu, ada anggapan umum bahwa orang Jepang (yang asli, benar2 njepang, belum pernah ke luar negeri, dan jarang bersentuhan dengan orang asing) biasanya tidak mudah berbicara ramah sok akrab dengan orang asing dan baru bisa membuka diri/berbicara banyak setelah mereka minum. Nggak kayak orang Indonesia, yang tanpa perlu minum aja udah pada "mabok", sapa sana-sini ngajak ngobrol sok kenal--namanya aja belum tahu, udah tahu pernah pacaran berapa kali. Generally, orang Indonesia memang lebih "ramah" daripada orang Jepang. Ada bagus-nggak nya sih. Aku pribadi nggak begitu suka kalau harus beramah-tamah dengan orang yang nggak aku kenal. Sudah kenal pun, kalau nggak sedang ada urusan penting, malas juga berurusan. Mungkin bagi orang Jawa aku ini orang yang sombong sekali, tapi ya, sudahlah, semoga saja bagaimanapun sifatku, aku masih bisa menempatkan diri dengan baik.

Setelah sisa perjalanan yang kurang nyaman karena terus2an diajak ngobrol sama ojii-san mabok, alhamdulillah akhirnya pesawat mendarat di Bandara Internasional Haneda, Tokyo. Langit gulita di luar tak menunjukkan tanda2 kehidupan, namun gemerlap warna-warni lampu yang menghiasi pemandangan sejauh mata memandang di bawahnya menunjukkan bahwa Tokyo adalah kota yang tak pernah tidur.

Surprisingly, malam itu Mikiko dan Kazu, bassis dan gitaris band super kece Texas Pandaa--yang juga akan tampil live bareng Brilliant--ternyata waza2 menjemput kami dan bahkan menemani kami menginap di bandara karena kereta terakhir udah nggak ada. Mengharukan sekali ='). Pada akhirnya kami nggak tidur karena ngobrol semalaman. Kazu ngajak kami ke convenient store ala Jepang (untuk selanjutnya akan disebut konbini, karena memang itu bahasa jepangnya) yang kalo di Indonesia mungkin semacam CircleK ato Indomaret tapi lebih macem2 isinya. Kami tidak bisa menahan ke-ndeso-an khas indonesia kami di konbini-super-kece-penuh-benda2-yang-baru-pertama-kali-kami-lihat itu, sampai Kazu terheran2 "This is only convenient store!" katanya sambil ketawa2. No, it's not the same, dude. We don't see that many variations of onigiri and other bento whatsoever, so pardon us but we couldn't help it.  Di sana, untuk pertama kalinya aku membeli onigiri dan "Royal" milk tea manstab.

onigiri salmon-mayones dan royal milk tea. enyaaak.

tempat sampah di bandara, dibagi jadi sampah botol dan kaleng, koran/majalah (serius di situ tulisannya koran/majalah), dan sampah lain2

Setelah semalaman ngobrol ngalor-ngidul pake bahasa campur2 nggak karuan, akhirnya kami berangkat naik subway pertama keesokan harinya, sekitar jam 5 mruput--kalo nggak salah ingat. Semenjak menginjakkan kaki di negeri yang sudah lama aku mimpikan itu, entah kenapa aku tidak merasa se-excited yang kubayangkan sebelumnya. Kecuali macam2 onigiri yang menarik perhatianku di konbini tadi (pasti kalian pada mikir, yappari sarah tertariknya sama makanan muluk), aku tidak merasakan kegirangan yang sama terhadap suhu musim gugur yang kira2 kayak di Kaliurang, toilet bandara--WC-nya dilengkapi dengan banyak tombol yang sangat memanjakan, mesin tiket kereta--tinggal pencet sana-sini masukin duit tiketnya keluar, subway kece yang berjalan mulus di atas rel, maupun pemandangan kota penuh reklame bertuliskan huruf Jepang di sepanjang jalan. Setelah kupikir2, mungkin itu karena aku sudah mempelajari tentang Jepang selama kurang lebih 4 tahun dan melihat pemandangan2 itu melalui manga,anime, dan dorama. Selain itu aku juga merasa sangat capek. Mungkin perjalanan kami memakan waktu terlalu lama sampai excitement-ku habis tergerus rasa lelah. Begitu sampai di penginapan pun, aku langsung mandi terus tidur. Kami menginap di Hotel Empire di Shinjuku, by the way. Jangan salah, namanya memang meyakinkan, tapi itu bukan hotel bintang lima, meskipun tetap agak kelewat kece untuk pelancong muda kere macam kami--dilengkapi penghangat ruangan, TV, kulkas, kamar mandi dalam+peralatan mandi, dan cleaning service setiap hari. Alhamdulillah. Berikut ini pemandangan dari jendela kamar kami. Di luar sering ada gagak hitam besar seliweran, sayangnya nggak tertangkap kamera.




Setelah sesiangan tidur, sorenya kami menuju venue gig pertama di Koenji High, Shinjuku. Acaranya sih mulai jam 7 malam, tapi Brilliant--beserta band2 lain yang akan tampil--harus datang untuk check sound dulu. Kami berangkat bersama Nadehiko, om2 super kece (beneran kece deh) drummer Texas Pandaa, dan Hiro, salah satu teman dari Togaidai (Tokyo University of Foreign Studies) yang pernah berguru di Indonesia. Hiro udah jago banget bahasa Indonesianya, jadi aku nggak perlu (dan nggak mau =P) repot2 pake bahasa Jepang kalo ngomong sama dia.

Koenji High adalah live house yang sangat menyenangkan. Tempatnya nggak terlalu besar dan suasananya sangat cozy. Cuma ada panggung, space kosong di bawahnya buat penonton lonjak2 (nggak, nggak ada kursi), bar di belakangnya, toilet di sebelah kiri bar, dan sound operating system di sebelah kanannya. Ada tangga ke atas, tapi di atas cuma ada sebuah ruangan kecil untuk tempat performer siap2. Kami membeli makanan di konbini terdekat (aku lagi2 beli onigiri) lalu makan malam di situ. Sayang sekali aku nggak foto2 di sini, karena sibuk ngeliatin check sound para band. Check sound nya pun sangat menjanjikan, karena bener2 di-cek satu2 kualitas suara yang keluar dari masing2 alat musik dan mic. Walhasil suara yang dikeluarkan pun memuaskan. 

Menjelang malam, mood-ku benar2 sudah kembali. Seperti mendapat suntikan semangat baru entah dari mana, mungkin dari suasana sekeliling saat itu dan check sound band2 yang akan tampil yang semuanya keren2 (serius keren, bukan basa-basi--karena aku nggak suka basa-basi), excitement yang tadinya menghilang telah merasukiku lagi. Girang sekali rasanya kembali menjadi diri sendiri.

Jam 7--beneran jam 7, nggak molor dan penonton memang sudah berdatangan--acara dimulai. Acara dibuka oleh 4 Bonjour's Parties, band dengan banyak personel yang memainkan macam2 alat musik seperti--selain instrumen band biasanya--xylophone, glockenspiel, brass instrument yang seingatku nggak cuma satu macam, dan biola--yang dimainkan pake efek. (bagi yang have no idea aku ngemeng epeh di kalimat barusan, monggo buka google di tab sebelah) Seakan belum cukup keren, selama tampil beberapa personel saling bergantian memainkan alat musik mereka. Mas2 pemain keyboard gantian sama gitarisnya, yang lalu gantian sama pemain xylophone. Aku bahkan nggak ingat siapa aja dari mereka yang gantian main xylophone. Jangan2 semuanya bisa. Vokalisnya ada dua mbak2 kawaii dengan suara manis menggemaskan. Di depan mereka ada meja tempat meletakkan macam2 alat musik kecil2--misalnya beberapa jenis kecrekan, glockenspiel, dan instrumen kotak lucu warna-warni mirip pianika yang aku nggak tahu namanya. Musik yang mereka mainkan sangat manis dan menyenangkan, kayak loncat2 naik-turun di tangga yang disiram pelangi. Keren banget. Sangar. Sumpah. Berikut ini video salah satu lagu yang mereka mainkan. Aku yang merekam pakai iPad (ibunya) Azam, dan terima kasih banyak buat Azam yang sudah upload di youtube =D.





Selanjutnya adalah Bertoia, band shoegaze yang kata Azam sangat terasa japanese shoegaze-nya. Bagus, tentu saja, but to be honest tidak terlalu menarik perhatianku, jadi nggak kuceritakan lebih lanjut (->>seenaknya =P). Berikut ini salah satu video live mereka malam itu.




Setelah itu adalah band alternative rock beranggotakan 3 orang (gitar/vokal, bass/vokal perempuan, dan drum) yang menurutku musiknya mirip2 musik band2 Amerika, Honeydew. Mas2 gitaris/vokalisnya terlihat sangat muda dan imut. Tadinya kukira dia anak SMA, tapi ternyata dia dan bassis/vokalisnya adalah pasangan suami-istri! Uapah?? Kaget banget..memang don't judge book by its cover ya. Hahaha. Di luar dugaan juga, mereka memainkan musik yang cukup cadas. Gitarnya terutama, keren banget, rasanya kayak tersedot. Aku sangat menikmati penampilan mereka. Hal yang kusadari waktu itu adalah pada penampilan kedua band sebelumnya, penontonnya lumayan anteng, tapi waktu Honeydew tampil, orang2 yang random mulai bermunculan. Ada beberapa orang asing (dalam konteks ini, tentu saja orang asing berarti non-japanese dan non-indonesian), dan pasangan bapak2 dan ibu2 yang terlihat sangat khidmat menikmati entakan musik. Aku mulai mendengar teriakan2 penyemangat yang sebelumnya tidak kudengar. Suasana pun sudah lebih memanas ketika akhirnya Brilliant tampil setelah Honeydew. Berikut video salah satu penampilan Honeydew malam itu.




Jujur saja ini juga pertama kalinya aku nonton Brilliant secara live. Ternyata Eka (bass/vokal) gemar sekali menyelipkan narasi di awal dan di antara lagu2nya. Nggak apa2 sih, cuma aku agak ragu para penontonnya ngerti, soalnya dia ngomong pake bahasa Inggris..haha. Musik mereka juga manis dan menyenangkan, rasanya kayak lari2 kecil di padang lavender sambil meniup gelembung sabun, atau sepedaan di jalan2 sempit sambil menyapa semua makhluk hidup yang ditemui. Oke entah apakah perasaan2 itu bisa dimengerti, pokoknya aku ngerasa kayak gitu. Hahaha. Berikut ini adalah, bukan salah satu, tapi video penampilan Brilliant full dari depan sampai selesai total 39 menit. Aku sengaja merekamnya tanpa cut, biar narasinya Eka juga terekam semua. Kalau malas liat karena kepanjangan ya nggak usah di-klik.



Ketika mereka selesai tampil dan menerima respon penonton yang tidak kalah meriah dengan band2 lain, aku pun merasa ikut senang dan bangga. You rock, Brilliant! XD 
Kemudian, tibalah saatnya Texas Pandaa menutup parade malam itu dengan penampilan yang fascinating seperti biasanya. Aku selalu suka dengan live mereka (padahal baru nonton langsung dua kali =P) karena nuansanya membuatku terlena khidmat, menenangkan. Rasanya seperti melamun di bawah pohon besar teduh di tengah2 padang rumput yang luas, sendirian, tanpa perlu memikirkan apa2. Berikut ini salah satu video penampilan mereka malam itu.


Ngomong2, entah kenapa aku merasa Asako (gitar/vokal) terlihat jauh lebih cantik daripada pertemuan terakhir kami tahun lalu. Mungkin karena dia baru saja punya anak? Entahlah, yang jelas badannya nggak kayak habis melahirkan. Hahaha. Mikiko (bass/vokal) juga manisss banget s-nya tiga. Kalo berdiri di sampingnya, aku berasa kayak TKW salah tempat. Dan yang jelas, Nadehiko (drum) dan Kazu (gitar) tetap dua om2 paling kece di panggung itu malam itu. Sedikit tambahan yang rada nggak nyambung, menurutku cowok Jepang yang masih muda (25 ke bawah) itu rada kelewat oshare--suka dandan/metroseksual/sangat memperhatikan penampilan dan entah kenapa cengkring2 (banget). Dengan kata lain, kurang macho. Nggak semuanya gitu sih, tapi sebagian besar yang kuamati di beberapa tempat umum sih gitu. Jadi aku biasanya lebih tertarik dengan yang sepertinya sudah lebih berumur, yang di wajahnya sudah ada hiasan2 kedewasaan (ceileh). 

Setelah Texas Pandaa tampil, acara resmi ditutup. Sebagian penonton pulang, ada yang masih minum2 sambil ngobrol, ada yang beli CD dan T-shirt dari masing2 band penampil, dan ada juga yang jalan sana-sini kayak orang bingung sambil sesekali sok akrab nyapain orang2, yaitu saya. Seperti sudah diduga sebelumnya, setelah acara selesai akan ada party kecil2an, yang dalam budaya Jepang biasa disebut nomikai (nomi=minum, kai=pertemuan/perkumpulan) dimana orang2 yang sebelumnya telah bekerja bersama lalu bersantai sambil minum. Menurut kode etik tak tertulis, akan menjadi kurang sopan apabila kita--sebagai pihak yang juga ikut meramaikan acara--tidak ikut serta. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan kami takut ketinggalan kereta terakhir, jadilah kami membagi dua grup; grup yang pulang ngejar kereta dan grup yang tinggal untuk ikut nomikai. Karena (yang dianggap sebagai) guide (yang sebenarnya sangat payah) cuma aku dan Azam (padahal ada Hiro), jadi kami berpisah. Aku, Hiro, dan hampir semua anggota band pulang, meninggalkan Azam, Arkham (manajer Brilliant) dan Eka untuk menjadi bagian dalam salah satu ajang sosialisasi masyarakat Jepang itu.

Sepanjang perjalanan kami pulang malam itu, aku menyadari beberapa hal. Menurut pandanganku, suasana terasa lebih "hidup" ketika malam hari. Ketika pagi hari setiap kami pergi naik kereta, aku hanya melihat orang2 berangkat kerja yang terlihat bosan dan ngantuk, nggak semangat. Tapi pada malam hari, kita bisa menemukan gerombolan gadis menor cekakak-cekikik di pinggir jalan, cowok2 muda nongkrong geje di depan konbini sambil minum, bapak2 salaryman kelewat mabok sampai nggak bisa jalan, sampai pasangan yang terlihat sangat asik asoy geboy di dalam kereta.

Oh ya, salary man. Salary man--atau pegawai perusahaan--adalah (sepertinya) pekerjaan yang sangat umum di Jepang. Mereka ada buanyak sekali, nyaris di mana2. Biasanya mereka selalu terlihat mengenakan setelan jas hitam+kemeja putih+dasi dan selalu seliweran di stasiun pada pagi hari--bikin rush hour--dan sering terlihat dalam keadaan mabok di stasiun pada malam harinya. Mungkin tikngkat kepopuleran salary man di Jepang sama seperti PNS di Indonesia, tapi tetap dua pekerjaan yang berbeda. Salary man (setahuku) dituntut untuk memiliki kesetiaan terhadap perusahaan tempatnya bekerja, sedemikian rupa hingga menimbulkan tekanan tersendiri bagi mereka. Entah apa benar begitu atau aku hanya sok tahu setelah melihat sampel yang tidak terlalu banyak juga, hanya Tuhan dan para salary man yang tahu.

foto bareng di stasiun sepulang gig hari pertama. otsukareee, minna! =D


Daan seperti itulah malam pertama kami di Jepang berakhir. Antusiasme baru yang menyenangkan mengantarkanku sampai terlelap tanpa mimpi sama sekali. =)

Dan aku baru saja memutuskan untuk membagi ceritaku menjadi entah berapa bagian, lihat saja besok (->seenaknya =P). Masih ada cerita tentang gig ke-2 di Shibuya, jalan2 ke Hiroshima, Kyoto, dan hari terakhir di Tokyo sebelum pulang ke Indonesia. Nantikan kisah selanjutnya ya! Tetap di Sumur Timba! (macam pembawa acara reality show garing)


good night and see you!
=D

September 09, 2012

Tiramisu Stroberi Rasa Kopi

Sudah sekitar sepuluh menit kita duduk di ruang tamu ini, tanpa sepatah kata pun terucap. Udara terasa sangat panas, melalui jendela aku dapat melihat bayang-bayang fatamorgana yang disebabkan oleh teriknya matahari. Kipas angin tua yang kotor itu pun nyaris tak membantu, hanya menghembuskan angin berdebu yang tak dapat mencapai bahkan puncak kepalaku. Selembar kain yang menutupi tubuhku rasanya terlalu banyak. Panas. Gerah. 

Tapi kamu duduk di situ, terlihat santai saja. Sesekali menggoyangkan kaki sambil bersenandung kecil. Lagu yang tidak aku ketahui. Kalau aku tahu, aku kan pasti ikut menyanyikannya bersamamu.

Kalau kamu tidak sedang bersenandung, suasana menjadi sangat sunyi. Aku dapat memisah-misahkan suara yang tertangkap oleh telingaku dan menulis sebuah daftar. Selain suara kipas angin tua yang terbatuk-batuk, aku dapat mendengar dengan jelas detik jam dinding yang menggantung tinggi di atas kepalamu. Air menetes-netes dari keran di tempat cuci piring di dapur, dengan ketukan yang berirama, silih berganti dengan suara detik dari jam dinding. Kulkas berdengung. Aku bahkan dapat mendengar suara televisi dari rumah sebelah kanan dan suara air mengalir deras dari rumah sebelah kiri, mungkin mereka menyalakan keran kamar mandi dan lupa mematikannya. Tapi entah kenapa aku tak dapat mendengar suara napasku sendiri, hanya samar-samar seperti dari kejauhan.

Hei, apa yang sekarang ada di pikiranmu? Apakah kamu memikirkan sekolah? Kuliah? Pekerjaan? Masa depan? Masa lalu? Cuaca? Makanan? Film bioskop? Buku? 

Apakah kamu memikirkanku?

Sungguh rumit sekali perasaan ini. Tidak sederhana seperti yang mereka katakan dalam lirik-lirik lagu, dalam dialog-dialog sinetron kacangan yang dapat kau temukan setiap hari di televisi. Tidak indah menawan seperti taman bunga mawar. Tapi tidak juga semrawut seperti jalanan kota besar. Tidak manis dan menyenangkan seperti yang mereka katakan dalam novel teenlit dan komik remaja. Tapi tidak juga terlampau pahit dan menyakitkan seperti yang mereka keluhkan dalam jejaring sosial dan buku harian. Tidak gamblang, tapi tidak juga terlalu samar. Berlapis-lapis, tapi tak semuanya menyatu. Seperti puzzle yang berkaitan, tapi tak semua kepingnya saling mengisi. 

Seperti rainbow cake?
Bukan, tidak sesederhana warna-warni itu.

Banyak hal yang bercampur, tapi ada juga yang terpisah sendiri-sendiri. Antara satu sama lain sebenarnya tidak berhubungan, tapi ternyata saling memengaruhi. Kadang berhias, kadang tidak. Tak dapat dipastikan. Tidak memiliki standar. 

Entah bagaimana Tuhan menciptakan perasaan yang sedemikian rumitnya kepada satu orang manusia. 

Jarum panjang di jam dinding telah lama melewati angka tiga, sudah lebih dari lima belas menit. Aku tidak ingin mengatakan apa-apa, tak juga menunggumu untuk bicara. Dan aku tahu kamu pun begitu. Aku tahu kita dapat duduk di sini seharian tanpa membuka mulut sama sekali. Dan aku tak keberatan.

Tapi aku menangkap secercah keindahan di wajahmu, meskipun kau tidak sedang tersenyum saat itu. Keindahan yang tercipta ketika mata kita bertemu pandang, dan aku dapat merasakan seluruh partikel udara di sekitar kita bersorak, merayakannya bersama alam semesta.


Tak perlu penjelasan atas kerumitan yang kurasakan ini. Toh asal kamu merasakan kerumitan yang sama, itu sudah cukup. 



Agustus 20, 2012

Deja Vu

Suara desis asap dari cerobong membangunkanku. 

Entah sejak kapan, sepertinya aku terlelap oleh goncangan lembut kereta ini. Pemandangan hijau berkelebat seiring mataku berkedip membiasakan penglihatan. Seorang penjaja makanan membawa kereta dorong berhenti di samping kursiku. Kugelengkan kepala sambil tersenyum sebelum ia sempat berkata apa-apa, sehingga--setelah melemparkan pandangan sengit--ia pun langsung menawarkan jajaannya ke kursi di depanku. Rupanya sudah tengah hari, saatnya makan siang.

Kuambil tas tanganku, lalu berdiri--terlalu cepat, hingga selama beberapa detik pemandangan ruangan itu terlihat berputar. Ugh, aku benci anemia. Kelainan ini menyebabkanku lebih sering jatuh pingsan daripada bermain di pantai atau taman di bawah sinar matahari yang hangat. Tapi apa boleh buat, sudah terlahir seperti ini. Sambil mendesah, aku pun beranjak menuju gerbong restoran.

Ya, sebenarnya aku lapar, tapi aku tidak suka membeli makanan di kereta dorong. Aku ingin menikmati makan siangku di tempat yang memang seharusnya untuk makan.

Gerbong restoran nyaris kosong saat aku datang, hanya ada seorang nenek sangat tua yang tangannya gemetaran menyendokkan bubur ke mulutnya. Aku mengabaikannya lalu memilih meja di sudut belakang restoran. Aku selalu suka duduk di sudut, manapun, karena itu memungkinkanku untuk melihat semua orang yang datang dan semua kejadian yang terjadi. Kadang aku menyengaja masuk ke suatu tempat sendirian dan duduk di sudut, hanya untuk melihat orang lalu lalang. Aku suka sekali, sampai-sampai kupikir kalau aku mati nanti, aku ingin dikubur di sudut kompleks makam, kalau boleh memilih.

Seorang petugas memberiku menu sambil lalu tanpa berkata apa-apa. Yah, aku tahu pelayanan di kereta ini memang payah. Tak apa lah, toh aku tidak berharap mendapat sekedar senyum dari mereka.

"Kopi dan cheese cake." kataku setelah membaca menu. Petugas tadi mengangguk bosan dan langsung pergi.

Kulayangkan pandanganku ke luar jendela. Mataku terasa kering. Oh ya, aku kan pakai softlens. Aku lupa sejak kapan dan kenapa aku pakai softlens. Seingatku, aku membencinya. Tapi ya sudahlah. Kuambil tetes mata dari tas tanganku dan kuteteskan beberapa di kedua mataku. Ah, segar kembali. Kukeluarkan sebungkus rokok, menyalakan salah satu batang, kemudian menghisapnya dalam-dalam. Ah, semakin segar.

"Maaf, apakah aku boleh duduk di sini?"

Seorang laki-laki baru saja menghampiriku. Ia tidak tampan, tapi matanya sangat menarik perhatian. Tiba-tiba saja serangan kerinduan yang luar biasa menghantamku seperti tsunami. Pandangan mata laki-laki itu bagai pusaran, menyedotku ke dimensi lain dengan sensasi hangat nan menyenangkan yang rasanya telah kukenal.

Ya, rasanya aku pernah bertemu dengan laki-laki ini.
--------------------------------------------------------------------------------


"Maaf, apakah aku boleh duduk di sini?"

Aku menoleh, dan menemukan seorang laki-laki tak dikenal--dan tak begitu tampan--berbicara padaku. Yah, toh aku sedang sendirian. "Silakan." kataku tak begitu tertarik, tapi tetap melempar senyum manis seadanya.

"Terima kasih," sahutnya sambil duduk di hadapanku. Seorang petugas memberinya menu sambil lalu tanpa berkata apa-apa. Aku melihatnya tersenyum simpul menahan tawa.

"Ada apa?" tanyaku setelah ia memesan dan si petugas berlalu pergi.

"Bukan apa-apa," jawabnya geli. "Pelayanan di kereta ini memang selalu payah."

Aku tidak menanggapinya, tidak juga bertanya bagian mana dari hal itu yang menurutnya lucu sampai menahan tawa seperti itu. Bibirnya masih membentuk senyum simpul, ujung matanya menyipit, dan pipinya memerah menahan tawa. Tanpa sadar aku jadi memandanginya. Orang ini tidak tampan, tapi kusadari matanya menarik sekali. Mata yang ramah, seakan-akan kalau aku hanya bisa melihat bagian mata dari keseluruhan wajahnya, aku akan mengira ia selalu sedang tersenyum.

Tiba-tiba ia menangkap pandanganku, tak lagi menahan tawa. Kami berpandangan dalam diam selama beberapa saat.

"Kau tidak mengalihkan pandanganmu." ujarnya. "Normalnya, kau akan mengalihkan pandangan segera setelah orang yang kau pandangi menangkap basah pandanganmu."

"Aku tidak merasa perlu melakukannya," sahutku datar, "toh kita tidak saling kenal."

Ia tersenyum geli. Kedua ujung bibirnya naik dengan indah. "Yah, memang, sih."

Aku melepas pandangan darinya dan menyeruput kopiku yang masih panas. Segera saja uapnya menyerbu lensa kacamataku, membuatku tak bisa melihat apa-apa kecuali buih-buih putih menyebalkan yang selalu muncul tiap kali aku minum minuman panas. Kulepas kacamataku dan meraih tisu untuk membersihkannya.

"Kau tahu," katanya, rupanya masih belum melepas pandangan dariku, "kau terlihat jauh lebih cantik tanpa kacamata."
-------------------------------------------------------------------------------


"Kau terlihat jauh lebih cantik tanpa kacamata."

Aku mengedip beberapa kali. Wajahnya berada beberapa senti di atas wajahku, terlihat kabur. Kudorong tubuhnya menjauh, lalu kupaksakan diriku untuk bangun. Kuambil kacamataku di meja samping tempat tidurku. "Tapi aku jadi tak bisa melihat."

Ia duduk di tepi tempat tidurku, tersenyum geli. Seperti biasa, kedua ujung matanya menyipit menyenangkan. "Kau ini hidup di jaman apa, sih?"

"Sudah kubilang aku tak suka pakai softlens!" gerutuku sembari beranjak dari tempat tidur pelan-pelan untuk mengantisipasi pusing-pasca-bangun karena anemiaku. "Harus mencuci tangan, harus membersihkan lensanya lebih dulu, tidak boleh memakainya lama-lama, dan aku tidak bisa lepas-pakai seenaknya seperti kalau pakai kacamata! Repot sekali."

"Tapi kau terlihat jauh lebih cantik tanpa kacamata." ulangnya lagi, masih tersenyum.

Aku mendengus sebal. Benci sekali dengan tingkahnya yang seperti itu, seakan-akan ia lebih tahu, seakan-akan semua yang ia katakan tidak bisa kusanggah. Lebih benci lagi karena hal itu memang benar.

Ia tertawa melihat mukaku yang kusut menggerutu, lalu beranjak membuka jendela. Angin sepoi yang sejuk menerobos masuk, membuatku ingin masuk ke dalam selimut lagi. Namun matahari yang malu-malu menampakkan dirinya itu membuatku ingin berjalan-jalan di luar.

Kudengar suara gesekan korek api ketika ia menyalakan rokoknya. 

"Hei, itu rokokku!" protesku.

"Ah, tidak apa-apa, kan." desahnya santai. Asap keluar dari sela-sela mulutnya seiring ia bicara. "Punyaku habis, malas beli."

Semakin menggerutu, aku mengambil kotak rokokku dari tangannya. Tinggal sebatang. Ya sudahlah. Kusulut ujungnya dengan nyala api dari rokok yang ia hisap. Lalu kami berdiri berdampingan menghadap jendela sambil menghisap rokok yang sama, setengah melamun memandangi pemandangan kota dari kamarku.

"Kau boleh tetap pakai kacamata," ujarnya tiba-tiba sambil menatapku, serius, tak seperti biasanya. "Tapi tolong berhentilah merokok."
-------------------------------------------------------------------------------


"Berhentilah merokok."

Dengan lembut ditariknya sebatang rokok yang masih panjang dari tanganku, tapi aku mempertahankannya.

"Kau sendiri merokok. Kenapa aku tidak boleh?" protesku gusar.

Ia mendesah, "Tidak baik untuk kesehatanmu."

"Oh ya? katakan itu pada dirimu sendiri!"

Ia mendesah lagi, "Sulit sekali memberitahumu."

Aku selalu menyesal seketika setelah aku mengatakan sesuatu yang membuatnya sedih. Aku benci diriku yang membuatnya menampakkan ekspresi seperti itu. Mata yang menyenangkan itu jadi meredup, dan aku sangat tidak suka melihatnya. 

Aku bergeser ke sampingnya dan menyandarkan kepala di bahunya. Selang beberapa saat, ia balas menyandarkan kepalanya di atas kepalaku. Lalu kami terdiam cukup lama.

Angin berbau garam menyapu wajahku tanpa henti. Suara desir ombak terdengar ganas tapi menggiurkan di saat bersamaan. Langit biru luas tanpa awan, membiarkan matahari memperawani seluruh permukaan bumi. Sangat terik, tapi aku tertolong oleh payung besar yang kami sewa agar aku bisa menikmati pantai tanpa harus jatuh pingsan.

"Aku punya ide bagus," katanya ketika aku sibuk mengawasi anak-anak yang tengah membangun kerajaan pasir dengan riangnya. 

"Apa?"

"Aku akan berhenti merokok. Kau juga. Kita sama-sama berhenti."

"Hmm.." sahutku malas. Lalu kami terdiam lagi selama beberapa saat. Ia mulai memain-mainkan rambutku yang lengket satu sama lain akibat air dan pasir pantai.

"Aku punya ide yang lebih bagus." kataku setelah beberapa saat.

"Apa?"

"Aku akan memakai softlens, dan kita sama-sama tetap merokok."

Aku dapat merasakan gerakan tangannya yang memain-mainkan rambutku sedikit melambat ketika ia memikirkan ucapanku. Kemudian ia tertawa, mengembalikan mata yang menyenangkan itu.

"Dasar nakal," katanya, "tapi, yah, sepertinya lebih baik begitu."

Aku tersenyum lalu memejamkan mata. Suara tawa anak-anak yang sedang bermain di kejauhan, desir ombak yang ganas nan menggiurkan, gemerisik angin berpasir yang menenangkan, dan suara napasnya yang agak berat, semua bercampur di telingaku, memainkan sebuah melodi yang mengalun nyaman mengantarkanku semakin jauh ke alam mimpi.
----------------------------------------------------------------------------


"Nona? Hei, Nona?"

Aku terkesiap. Seorang laki-laki berdiri di hadapanku. Tidak tampan, namun matanya luar biasa.

"Maaf, aku hanya bertanya apakah aku boleh duduk di sini, dan tiba-tiba Anda seperti hilang kesadaran."

Aku mengatur napas sebentar. Petugas gerbong restoran yang terlihat bosan meletakkan sepiring cheese cake dan secangkir kopi di depanku, lalu langsung pergi tanpa tersenyum atau mengatakan apa-apa. 

"Maaf, maaf," kataku setelah menguasai diri, "sepertinya saya deja vu. Saya merasa pernah mengenal Anda sebelumnya."

Ia tertawa, renyah. Kedua ujung matanya menyipit menyenangkan. "Mungkin saja, di kehidupan sebelumnya."

Aku ikut tertawa.

"Jadi," ujarnya lagi, masih tersenyum. "bolehkah aku duduk di sini?"

Serangan kehangatan menyerbu seluruh partikel tubuhku, seakan mengisi semua tempat kosong dan memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Udara di sekitarku mendadak terasa ringan dan ruangan gerbong kereta makan yang membosankan itu pun tiba-tiba terlihat terang dan berwarna. Kumatikan rokokkku di asbak terdekat.

"Silakan duduk."

"Terima kasih."

Dan kereta pun terus bergoncang lembut, sesekali mendesis ribut sambil mengeluarkan asap dari cerobong.


-selesai-

Agustus 15, 2012

Yang Mana?

Di suatu Kerajaan di belahan bumi bagian selatan, hidup seorang pemuda bernama Karim. Ia tampan dan rupawan. Baik dan budiman. Gadis-gadis mengidolakannya dan ibu-ibu menginginkannya menjadi menantu mereka. Puja-puji dari semua orang diterimanya setiap hari, namun ia tak lantas menjadi tinggi hati. Ia tetap seorang Karim, yang tampan, budiman, dan rendah hati.


Karim sangat senang mengunjungi sebuah museum lukisan di tengah kota. Ia datang ketika sedang senggang, sedih, senang, dalam keadaan dan perasaan apapun. Ia datang setiap hari, setiap waktu. Tujuannya tak lain dan tak bukan hanya untuk melihat sebuah lukisan. Lukisan seorang pemuda yang memancarkan aura begitu terang hingga Karim merasa silau tiap kali melihatnya. Tak bosan-bosan ia pandangi lukisan itu setiap hari, mengaguminya seakan-akan itu adalah sebuah mahakarya bernilai jutaan keping emas.



Suatu hari, Karim menyadari bahwa ia sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa yang sederhana dan lemah lembut. Ia sering melihat gadis itu berjualan kentang di pasar. Tak jarang mata mereka saling berselisih pandang, namun Karim tidak berani mendekat bahkan sekedar menyapa gadis itu. Maka ia berusaha untuk cukup puas hanya dengan mencuri-curi pandangannya setiap pagi.



"Sudahlah, sapa saja dia." saran seorang penjual rempah-rempah yang menangkap basah Karim ketika diam-diam memandangi si gadis. "Kau ini kan Karim. Tak ada yang perlu kau takutkan."



Mendengar itu, Karim pun tersadar, bahwa ia adalah lelaki yang dipuja-puja. Tak ada alasan baginya untuk takut menghadapi seorang perempuan. Mendapatkan sebuah kepercayaan diri baru, ia pun berjalan mendekati si gadis.



"Selamat pagi," sapanya, sedikit gugup.



Si gadis membalas tatapan matanya, dengan seulas senyum simpul dan anggukan samar. Itu saja sudah membuat hati Karim berdebar girang tak terkira, ia takut debarannya dapat membangunkan seorang kakek penjaja peralatan dapur bekas yang tertidur lelap di sebelah tumpukan kentang jualan gadis itu. 



"Maaf, apakah Tuan hendak membeli kentang?" tanya gadis itu setelah beberapa saat.



Karim terkejut, lalu membeli beberapa buah. Ia pun berlalu sambil tersipu malu. Sudah ditanya begitu, tak mungkin ia tidak membelinya. Tak apalah, toh ia jadi mendapatkan beberapa buah kentang dan sebuah senyum manis dari si gadis. Terlebih lagi, ia mendapatkan keberanian untuk menyapa gadis itu setiap pagi, sejak kala itu dan seterusnya hingga menjadi sebuah kebiasaan.



Perkembangan ini sangat menggembirakan hingga ia tak sabar untuk menceritakannya pada lukisan kesayangannya. Ya, ia sering bercerita kepada lukisan kesukaannya itu tentang hari-hari yang ia alami bak menulis di sebuah buku harian. Entah bagaimana, Karim merasa lukisan itu sangat mengerti dirinya. Ketika ia menceritakan keberaniannya menyapa si gadis pujaan pun, makin terang saja cahaya yang dipancarkan pemuda dalam lukisan itu. 



Karim jadi sangat sering makan kentang. Karena setiap pagi ia ke pasar untuk bertegur sapa dengan si gadis, ia merasa harus membeli kentang. Sebenarnya ia mulai merasa bosan, tapi apa boleh buat. Tak apa lah ia mabuk kentang, asalkan bisa terus melihat senyum gadis yang dicintainya.



"Kenapa tidak kau katakan saja perasaanmu yang sebenarnya?" tanya seorang penjual sayuran yang entah bagaimana sepertinya bisa membaca pikiran Karim. "Kau ini kan Karim. Tak ada yang perlu kau takutkan."



Betapa benarnya perkataan orang ini, pikir Karim, kenapa pula aku masih harus takut.



Maka dengan segenap kepercayaan diri, ia pun menyatakan perasaan cintanya kepada sang gadis di depan khalayak ramai yang sedang melakukan transaksi jual beli di sana-sini.



"Maaf, Nona. Sesungguhnya aku sangat mencintaimu." katanya lantang, matanya memandang lurus mata si gadis. "Dan aku sudah bosan makan kentang, jadi tolong terimalah pernyataan cintaku ini."



Si gadis terkejut bukan kepalang. Kakek penjaja peralatan dapur bekas yang tidak laku terbangun dan menyimak. Orang-orang berhenti berbelanja dan memperhatikan. Suasana senyap ketika semua orang, terutama Karim, menunggu.



"Maaf." kata si gadis, menyesal.



Seketika muka Karim merah padam karena malu. Ia dapat mendengar suara beberapa lelaki tertawa terbahak-bahak di belakang punggungnya, diiringi kikik pelan tertahan ibu-ibu dan desis gunjing para pedagang di sekitarnya. Ia pergi tanpa mengucap sepatah kata pun, meninggalkan orkestra tawa di belakangnya dengan hati pilu penuh dendam dan amarah. Tanpa pikir panjang ia berlalu ke museum untuk mencurahkan kekesalannya pada sang lukisan.



Seperti biasanya, pemuda dalam lukisan seakan mengerti apa yang ia rasakan. Cahayanya meredup, nyaris hilang. Karim bahkan berani bersumpah ia dapat melihat air mata mengalir di pipi penghuni lukisan itu. Memang hanya sang lukisan tempat ia bisa percaya, yang tak akan mengkhianatinya sampai kapanpun. Ia pun semakin tenggelam dan tenggelam dalam kesedihan.



Sementara itu, di kota, telah datang seorang pengembara Bijak. Bukan, bukan seorang pengembara yang bijak, melainkan seorang pengembara yang bernama Bijak. Entah apakah sifatnya sebijak namanya, tak ada yang tahu.



Sang pengembara Bijak hanya seorang paruh baya yang sedang mengembara tanpa tujuan. Ia berpindah dari satu kota ke kota lain, dari satu kerajaan ke kerajaan lain, untuk sekedar singgah dan mencari makan. Syukur-syukur kalau ada wanita yang bisa dilamar, tapi ia terbiasa untuk tak terlalu berharap.



Ketika pengembara Bijak sedang berjalan-jalan di pasar, ia tak sengaja mendengar bisik-bisik para pengunjung. Rupanya, tak lama sebelum ia datang, terjadi sebuah peristiwa menarik. Konon katanya ada seorang pemuda yang menyatakan cinta pada gadis penjual kentang di depan banyak orang, tapi sayangnya si gadis menolak cintanya. Bijak tak kuasa menahan tawa. Pria bodoh macam apa yang melakukan itu? pikirnya.



Setelah puas berjalan-jalan di pasar, Bijak beristirahat di sebuah bangunan megah di tengah kota. Tempat yang sangat besar dan mewah, dengan pilar-pilar menyangga atapnya yang kedung dan sekitar puluhan undakan tangga yang berhenti di depan sebuah pintu yang untuk meraih kenopnya saja, sang pengembara harus berjinjit.



Di tengah kesibukannya mengagumi bangunan itu, ia mendengar suara isak tangis. Merasa berhalusinasi, ia memastikan pendengarannya. Benar saja, ada seseorang menangis di dalam bangunan tersebut. Penasaran, ia pun masuk, dan setelah berjalan beberapa langkah, menemukan seorang pemuda yang terduduk sambil menunduk, air mata bercucuran jatuh di atas karpet.



"Kenapa kau, nak?" tanya Bijak. "Seorang pria tidak boleh menangis. Sini, angkat wajahmu."



Pemuda itu mengangkat wajahnya, dan Bijak pun terkesiap.



Pemuda itu, istilah kasarnya, buruk rupa. Matanya juling, hidungnya besar dengan kedua lubang hidung menganga ke depan seperti hidung babi, dan kedua ujung mulutnya seakan menyangga beban berat hingga tertarik turun ke bawah. Semuanya terlihat semakin parah karena ia menangis.



Sang pengembara Bijak membisu sambil menahan napas selama beberapa saat, sebelum akhirnya dapat berkata-kata lagi. "Ehm, apabila tak keberatan, sudikah engkau menceritakan alasanmu berurai air mata seperti ini?"



Tanpa-ragu-ragu, pemuda itu langsung menceritakan apa yang terjadi. Rupanya ia adalah lelaki yang digosipkan, yang ditolak cintanya oleh gadis penjual kentang.

Pantas saja, pikir Bijak, mengawasi dengan khawatir kedua ujung mulut pemuda itu yang semakin lama semakin turun saja.


"Siapa namamu, Nak?" tanya Bijak setelah pemuda itu selesai bercerita.



"Karim." jawab Karim. Ia sedikit tersentuh dengan lelaki misterius yang tiba-tiba mau tahu urusan orang lain ini. Entah kenapa, ia merasa aman untuk menceritakan masalahnya pada lelaki itu. "Dan siapakah Anda?"



"Aku seorang pengembara. Namaku Bijak" jawab lelaki itu tersenyum.



"Pengembara Bijak." sahut Karim geli, lalu mereka berjabat tangan.



"Jangan menangis, Nak. Apa yang kau lakukan itu membutuhkan keberanian."



"Aku pun tadinya tak berani, tapi seorang penjual rempah-rempah dan seorang penjual sayuran mengatakan padaku bahwa tak ada hal yang perlu kutakutkan."



"Dan kenapa pula bisa begitu?"



"Karena aku adalah Karim. Mereka semua selalu memuji-muji ketampananku."



Karim dapat melihat Bijak terang-terangan terkejut mendengar perkataannya. "Mereka memuji ketampananmu?" ulang sang pengembara.



"Ya." angguk Karim, hidungnya yang seperti hidung babi kembang-kempis.



Ada kilatan mencurigakan dalam mata sang pengembara yang tidak dimengerti Karim. "Kau tahu," ujar Bijak, "empat dari lima perkataan manusia adalah kebohongan."



Karim memiringkan kepalanya, tak mengerti.



"Empat dari lima perkataan manusia adalah kebohongan." ulang Bijak. "Kau telah lama dibohongi."



Karim tersentak, keras dan menyakitkan, seperti terkena cambuk. Mungkinkah itu? Mungkinkah semua orang di sekitarnya telah menipunya? Selama bertahun-tahun seumur hidupnya sampai saat ini? Kalaupun iya, untuk apa? Mempermainkannya?



Merasa semakin sengsara, Karim membelai pigura lukisan kesayangannya, yang terlihat sama menderitanya. "Untung ada lukisan ini, yang selalu menemaniku tanpa pernah berkhianat."



Pengembara Bijak mendesah iba sambil menggeleng, "Karim, Karim...lihat dirimu, bahkan menipu dirimu sendiri."



Kali ini Karim benar-benar tidak mengerti, "Maksud Anda?"



"Nak, itu bukan lukisan." sahut Bijak, "itu cermin."



Merasakan sentakan yang lebih keras dari sebelumnya, seketika Karim memandang lukisan itu, yang balas memandangnya kaget. "Bukan!" seru Karim, seluruh sarafnya menegang penuh penolakan.



"Lihat baik-baik, anak muda, lihat baik-baik."



Karim memandangi lukisan itu dengan seksama, meneliti setiap guratan warnanya, gelap dan terangnya, ekspresi pemuda di dalamnya.



Dan ia menemukan bentuk wajah seorang yang buruk rupa, dengan mata juling, hidung besar yang kedua lubangnya menganga ke depan seperti hidung babi, dan kedua ujung mulut yang seakan menyangga beban berat hingga tertarik turun ke bawah. 



Pemandangan itu mengamuk dalam pikirannya. Kekecewaan berkecamuk dalam dadanya. Rasanya ia ingin menghancurkan seisi museum, meluluhlantakkan segenap kerajaan beserta penduduknya. Tapi ia sungguh tak berdaya saat ini. Ia patah hati, marah, dan kecewa. Terlalu banyak emosi dalam satu waktu.



"Hei, pengembara," ujar Karim letih, sampai pada sebuah keputusan, "bawa aku pergi bersamamu. Kemanapun, terserah. Asal bukan di sini."



Sang pengembara menimbang-nimbang sebentar, "Yah, tak ada salahnya mengembara dengan anak muda. Baiklah. Kau pulanglah dulu, kemasi barang-barangmu, lalu kembali ke sini nanti ketika matahari mulai terbenam. Saat itu adalah saat paling tepat untuk melakukan perjalanan."



Karim mengangguk lesu, memaksakan diri untuk mengangkat tubuhnya, yang terasa berat luar biasa sampai bisa berdiri, lalu menggumam, "Terima kasih. Sampai nanti."



"Sampai nanti." jawab sang pengembara sementara Karim melangkah gontai dan berlalu.



Sesuai janji, tepat ketika matahari berada di batas cakrawala, Karim menapakkan kakinya di depan pintu museum, tempat mereka berjanji untuk bertemu. Tapi ia tak melihat Bijak. Ah, mungkin sedang pergi makan, pikirnya. Lalu ia pun duduk dan menunggu.



Beberapa waktu berlalu, tapi masih tak terlihat batang hidung sang pengembara. Ah, mungkin setelah makan, ia ke kamar kecil dulu, pikir Karim lagi sembari mengawasi beberapa pria kekar yang bermain kartu sambil menenggak arak di sebuah kedai tak jauh darinya.



Ia masih mengawasi ketika kedai itu tutup, diikuti kedai-kedai lain yang berderet di sampingnya. Angin dingin berhembus kencang tanpa halangan, ketika nyaris semua pengguna jalan kembali ke rumah masing-masing, menyisakan sepi yang mencekam. Yang dinanti tak juga datang. Kemanakah ia gerangan?



Sekarang Karim benar-benar sendirian di situ, bersandar lesu di depan pintu museum. Lapar dan kedinginan. 



Tiba-tiba saja sebuah kenyataan menamparnya keras, menoreh luka baru pada luka-luka tadi yang masih basah. Ia teringat perkataan sang pengembara tadi.




"Empat dari lima perkataan manusia adalah kebohongan."     






-selesai-