Juni 30, 2013

Julie dan Romi

Julie sangat mahir bermain piano sejak kecil. Ia mempelajarinya dengan sangat cepat, dan memenangkan banyak penghargaan dari berbagai kompetisi musik. Ia diakui oleh semua orang. Namanya bahkan tersohor sampai ke seluruh penjuru dunia. Namun ia tidak lantas menjadi sombong. Hidupnya begitu sempurna, hingga ia menapaki usia 30 tahun.

Julie memendam sebuah rahasia. Ia sangat mencintai grand piano-nya, lebih dari apapun. Lebih dari uang, lebih dari sahabat, lebih dari keluarga, lebih dari laki-laki. Ia bahkan menamai pianonya Romi, agar serasi dengan namanya bagaikan dalam sastra roman karya William Shakespeare; Romeo and Juliet. 

Ia pertama kali menyadari perasaan ini adalah ketika suatu hari di usia 15 tahun, seorang pianis selain dirinya memainkan piano kesayangannya di rumah. Ia merasakan gelegak kemarahan yang luar biasa, darahnya mendidih dan menderu cepat ke kepala, pelipisnya berdenyut menyakitkan, telinganya hanya dapat mendengar suara dering yang sangat nyaring. Namun akal sehat masih dapat menemukan celah untuk menyusup, maka dalam tiga tarikan napas panjang, ia berhasil mengendalikan diri.

Sayangnya, pengendalian diri ini tidak dapat berlangsung selamanya. Semakin hari, semakin banyak teman dan kerabat yang berkunjung, semakin banyak pula yang menyentuh piano kesayangannya. Lama kelamaan ia habis sabar. Pada awalnya ia hanya menegur. Lalu memperingatkan dengan lebih keras. Kemudian ia mulai membentak. Setelah itu ia tak lagi sungkan untuk memarahi. Tak lama kemudian, ia mulai melakukan kekerasan fisik. Puncaknya adalah ketika suatu hari serombongan kerabat datang. Salah seorang dari mereka membawa gadis kecil manis berkuncir kuda. Sebelum dapat diperingatkan, gadis kecil itu keburu membuka tutup piano dan memainkannya, tentu saja dengan ngawur. Urat saraf Julie langsung putus. Ia menjatuhkan nampan minuman yang sedang dibawanya hingga jatuh dan pecah berkeping-keping, dan--disaksikan oleh semua tamu yang datang hari itu--ia melintasi ruang tengah dalam tiga langkah besar, merenggut kasar gadis kecil itu dari kursi pianonya, dan melemparnya melintasi ruangan.

Seluruh penghuni ruangan terkesiap dan si gadis kecil malang mulai menangis keras, tapi Julie benar-benar sudah kehilangan dirinya. Di bawah tatapan terkejut semua orang, ia kembali melintasi ruangan, siap melancarkan serangan kedua. Sang ibu dari gadis kecil tadi pun tersadar dari rasa terkejutnya, dan buru-buru memeluk anak gadisnya hanya sepersekian detik lebih cepat daripada 12 senti hak sepatu Julie yang entah akan melakukan apa tadi apabila sang ibu terlambat sedikit saja.

Wajah Julie sepucat tembok. Ia membuka mulut, suaranya bergetar memancarkan kemarahan yang luar biasa, "Beraninya sampah kecilmu menyentuh Romi-ku. Minggir!"

Sang ibu balas melotot memandang Julie. "Kau. Gila." 

Lalu, tanpa berkata apa-apa, sang ibu tadi langsung pergi sambil menggendong anaknya yang tak juga berhenti menangis. Seisi ruangan masih membisu, sepertinya bernapas pun mereka lupa.

Julie terdiam beberapa saat, lalu menghela napas, dan menoleh kepada para penonton sambil tersenyum, "Maaf, maaf. Sekalian kuperingatkan saja, ya, piano itu milikku. Kalian boleh main ke sini kapan saja, asal tidak menyentuhnya. Yah, kita punya satu-dua benda yang kita sayangi, jadi wajar, kan?"

Tapi rupanya waktu telah kembali berjalan. Satu persatu para hadirin meninggalkan ruangan. Ada yang pergi sambil ketakutan, ada yang menggeleng-geleng, ada yang melemparkan pandangan menghina, ada yang mengerutkan alis, macam-macam. 

Julie mengawasi dalam diam ketika semua orang meninggalkannya. Ia sama sekali tidak merasa sedih atau menyesal. Malah, ia merasa sedikit senang. Mungkin, mereka tidak akan datang lagi. Mungkin, ia bisa menikmati sorenya berdua saja dengan Romi, sekarang dan seterusnya.

Dan memang itulah yang terjadi. Berita mengenai insiden pelemparan anak gadis itu sudah menyebar melalui mulut-mulut produser gosip. Sekarang seluruh kota mengetahui rahasianya. Bahkan mungkin seluruh dunia juga sudah tahu. Tapi Julie tak peduli. Asalkan Romi selalu ada di sampingnya, ia sanggup melalui apapun.

Rumah Julie yang bagai istana terletak di suatu tempat terpencil di atas gunung, tanpa satu pun tetangga. Jadi ketika tak ada orang yang datang, ia betul-betul sendirian. Pengantar susu dan koran pun--melihat tumpukan koran selama entah berapa hari yang dibiarkan di luar sampai menguning, dan botol-botol susu yang masih penuh hingga dihinggapi lalat dan berulat--akhirnya memutuskan untuk tak lagi datang. Julie hanya sesekali menelepon groceries dan makanan pesan-antar, karena ia tetap harus makan. Tentu saja ia memesan dua porsi; untuknya sendiri dan untuk Romi. Tapi selain itu, ia benar-benar sendirian di istananya, seiring dunia melupakan keberadaannya.

Bagi Julie, ini bagaikan surga. Hanya ia dan Romi. Berdua menghabiskan waktu. Pagi, siang, sore, malam. Ia makan bersama Romi. Ia tidur bersama Romi. Di antara dua kegiatan itu, ia hanya mengobrol bersama Romi. Romi pendengar yang sangat setia, ia tidak pernah mengeluh dan selalu ada untuk Julie. Romi adalah cinta sejati Julie, seperti dua keping puzzle yang menyatu, seperti warna merah dan jingga pada pelangi, seperti garis horizon tempat bertemunya langit dan laut. 

Julie dan Romi hidup bahagia berdua, selama satu, tiga, lima, tujuh, hingga sepuluh tahun. Ketika Julie menapak usia 40 tahun, entah bagaimana, ia merasa sering melihat sesuatu.

Sejak beberapa hari terakhir, listrik dan air tak lagi mengalir di rumahnya. Tapi siapa peduli, Romi tidak butuh listrik, dan Julie tidak butuh apapun bila ada Romi. Ia juga tak butuh bergeser dari ruang tengah tempat Romi berada. Romi-nya yang putih mengilat karena ia mandikan setiap hari itu terlihat bersinar saat malam, cahaya yang ia berikan hanya untuk Julie. Saat itulah ia mulai melihat hal-hal yang tak pada tempatnya. 

Pada awalnya, ia melihat sesosok laki-laki tampan berdiri di sudut ruang tamu. Sekilas, lalu hilang. Ah, cuma perasaan, pikirnya. 

Namun, sejak hari itu ia semakin sering melihat sosok laki-laki itu, selalu berdiri di tempat yang sama. Ketika selama dua hari penuh sosoknya tak juga hilang dari sana, Julie mulai takut. 

"Siapa kau!?" teriaknya gemetar pada sosok laki-laki itu. "Ada urusan apa kemari!?"

Laki-laki itu bergeming.

"Kutanya, siapa kau!?"

Laki-laki itu masih bergeming. Suasanya sunyi senyap. 

Bulu kuduk Julie meremang. Ia meraih vas bunga kecil yang ada di dekatnya, lalu melemparkannya tepat ke tubuh laki-laki itu sambil menjerit, "PERGI!!"

Vas itu melayang, kemudian jatuh dan pecah, seakan tanpa mengenai apa-apa. Julie terkesiap. Warna tubuh laki-laki itu terlihat tipis, berpendar di tengah kegelapan. Matanya terpaku pada Julie, menatap kosong. 

Sebuah ingatan menyeruak dalam kepalanya. Seorang laki-laki di masa lalu, muda dan tampan. Julie tahu laki-laki ini berusaha mendekatinya. Tanpa diminta, ia memamerkan keahliannya bermain piano di depan Julie, dengan menggunakan Romi. Julie masih bisa menahan amarahnya. Laki-laki itu kemudian menyatakan cinta dengan lagu yang ia mainkan. Julie menolak, namun laki-laki itu terus memaksanya. Tubuhnya dipepet ke tembok, napas laki-laki itu menderu di telinganya. Dalam usaha terakhir, Julie membenturkan kepalanya sekuat tenaga ke wajah laki-laki itu, berkali-kali, hingga darah mengucur dari hidungnya. Memanfaatkan kelengahan beberapa detik itu, Julie mendorong laki-laki itu sampai pintu depan, dan menghempaskannya ke teras, tanpa ampun, sebelum ia membanting pintu menutup dan menguncinya.

Napas Julie mendadak terengah-engah. Pandangan mata yang kosong itu seperti dua lubang hitam besar yang menariknya perlahan, menyedotnya ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Ia takut, ia ingin menangis. Kemudian terlihat olehnya sebuah kilatan. Romi!

Julie menghambur ke arah Romi dan mulai menekan tuts-tutsnya. Sekilas ia melihat ke sudut ruangan. Hei, laki-laki itu hilang! Begitu rupanya, kalau ia bermain piano, sosok itu pergi! Romi yang mengusirnya! Romi yang menyelamatkannya! Haha, rasakan kau!

Julie lanjut bermain piano, rasa senang memenuhi dadanya. Tak disangka ternyata Romi bisa cemburu juga, ada laki-laki lain datang satu saja, dia usir. Maaf, ya, Romi, bagiku hanya ada kau, kok, batinnya sambil mengusapkan pipinya di tuts piano yang mengilat.

Namun ketika ia berhenti bermain, tak saja laki-laki tadi kembali berdiri di tempatnya semula, Julie juga melihat sosok lain: seorang wanita tua gemuk yang duduk di sofa. 

Ingatan lain kembali menyeruak masuk dengan kurang ajar. Seorang wanita tua dari masa lalu. Wanita itu seorang janda yang juga menyukai permainan piano Julie. Hampir setiap hari ia datang membawakan makanan untuk Julie. Wanita itu menganggap Julie seperti anaknya sendiri. Selama bertahun-tahun, ia tidak pernah menyentuh piano Julie, sehingga Julie pun tidak merasa terancam akan kehadiran wanita itu. Namun suatu hari, wanita tua itu datang tepat ketika Julie sedang mandi. Karena entah sejak kapan Julie sudah tak menganggapnya tamu, sudah menjadi kebiasaan bagi wanita itu untuk langsung masuk saja seperti di rumah sendiri. Ketika menyadari bahwa Julie sedang mandi, ia letakkan saja makanan yang ia bawa di atas piano, kemudian sambil menunggu, menekan pelan tuts-tuts piano itu. Dari kamar mandi, Julie dapat mendengarnya. Darahnya yang meluap serasa meledak di kepalanya. Masih dengan shampoo menempel di rambutnya dan tanpa berusaha mengenakan apa-apa, ia menghambur keluar dari kamar mandi ke ruang tengah. Wanita tua itu terkejut ketika melihatnya. Belum habis rasa terkejutnya, Julie melempar piring makanan yang ada di atas piano hingga piringnya menabrak tembok, pecah, dan isinya berserakan di bawahnya. Seakan belum cukup terkejut, Julie menarik wanita tua itu hingga jatuh terlentang di lantai. 

"Keluar!" perintahnya dingin. Wajahnya merah padam karena murka. Wanita tua yang selama ini ia anggap ibunya sendiri, ternyata menunggunya sampai lengah, kemudian--sama seperti orang lain--berusaha mendekati Romi-nya. Kurang ajar. Tidak bisa dimaafkan.

Wanita yang merasakan patah hati luar biasa karena diperlakukan seperti itu oleh orang yang ia anggap anaknya sendiri itu tidak sanggup berdiri. Ia melihat Julie berdecak kesal dan tidak sabar, sedetik kemudian ia merasakan sebuah hentakan, ketika Julie mulai mendorong tubuhnya dari samping, dan menggelindingkannya sampai keluar pintu depan, sebelum Julie menutup dan menguncinya.

Sekarang wanita tua gemuk itu ada di sini, matanya menatap Julie kosong. Julie berusaha menenangkan diri. Tidak apa-apa, ada Romi. Ia kembali memainkan pianonya, dan seketika sosok laki-laki di sudut dan wanita tua gemuk di sofa kembali menghilang.

Ia tahu sekarang, bahwa agar mereka tidak kembali lagi, ia harus terus memainkan pianonya. Rupanya Romi posesif sekali, ia ingin Julie hanya melihat kepadanya. Senang karena merasa cintanya berbalas, Julie memainkan pianonya, tanpa henti. Pagi, siang, sore, malam, ia terus bermain piano. Tanpa makan, tanpa tidur, ia bermain piano. Jari-jarinya menari lincah menggerayangi seluruh permukaan tuts. Ia yakin Romi pasti menikmatinya. Ia memainkan semua lagu yang sudah dipelajarinya, ia bahkan menggubah lagu-lagu baru dengan spontan. Pokoknya ia harus terus bermain, terus, terus.

Tapi bagaimanapun sesekali ia harus berhenti karena kelelahan. Pada saat itu, selalu ada sosok baru yang muncul, diiringi pecahan demi pecahan ingatan dari masa lalu yang bagai listrik menyengat masuk ke kepalanya. Sosok-sosok itu berdiri di samping jendela, di dekat lampu hias, di bawah meja, di atas kursi, perlahan semakin banyak, hingga tak ada tempat kosong lagi di ruangan itu bagi mereka.

Julie ketakutan, tapi ia tahu, asalkan ia mencurahkan perhatiannya pada Romi seorang, semua sosok itu akan menghilang. Ia kembali bermain, bermain, bermain, bermain. Tubuhnya sangat kurus karena berhari-hari tidak makan. Kulitnya pucat dan kering, lingkaran hitam mengendap di bawah matanya yang menonjol karena berhari-hari tidak tidur. Seluruh bagian tubuhnya selain tangan dan kaki mati rasa. Tapi ia tak peduli, karena ia harus bermain.

Setelah bermain selama entah berapa hari, atau berapa minggu, atau berapa bulan, atau bahkan mungkin berapa tahun, beberapa tuts mulai ngadat, tak bisa berbunyi. Romi rupanya ikut sekarat merasakan keadaan Julie. Julie berhenti sebentar, dan tiba-tiba merasakan sebuah kehadiran tepat di sebelahnya. Ia menoleh, dan menemukan seorang gadis kecil kuncir kuda balas memandangnya kosong. Namun ada yang berbeda dari anak ini, dibandingkan sosok-sosok lain sebelumnya. Ada air mengalir dari kedua mata kosongnya. Gadis itu sedang menangis.

"PERGI KALIAN SEMUAAAA!!!" jerit Julie, dan dengan segenap kekuatan terakhirnya, kembali menekan tuts-tuts yang masih berfungsi. Ia harus bermain dengan cepat, dengan intensitas yang tinggi, tanpa berhenti sama sekali. Biarpun ia harus mati, ia ingin mati dengan Romi di sampingnya. 

Bernafsu dan tanpa ampun, ia terus bermain seperti kesetanan. Selama ia bermain, hanya ada ia dan Romi di ruangan itu. Hanya berdua, seperti biasanya, seperti yang seharusnya. Kuku-kukunya mengelupas, terpental lepas dari jemari, berjatuhan ke lantai, menghasilkan suara seperti kacang tumpah. Darah mengalir keluar dari jari-jarinya, mengucur turun ke bawah, membasahi lantai, perlahan menggenangi seluruh ruangan. Entah sejak kapan, air mata bercucuran ke atas tuts-tuts yang ia mainkan, menetes turun ke bawah, membentuk lapisan baru di atas genangan darah.

Ia sudah tak bisa berpikir lagi. Ia tak bisa lagi merasakan jari-jarinya. Ia tak tahu lagi apa yang sedang terjadi. Ia sudah sampai pada batasnya. Begitu pula dengan Romi, yang nyaris semua tutsnya sudah tak dapat berbunyi lagi. 

Tak kuat lagi, kepalanya terjatuh ke atas piano. Tangannya terkulai lunglai di samping tubuhnya. Seperti headphone yang tiba-tiba dilepas dari telinga, semua sosok di ruangan kembali muncul. Pendar tipis yang menguar dari tubuh mereka seakan berbisik. Ruangan penuh dengan suara bisikan. Entah mencaci-maki, entah membisikkan rasa simpati. Yang jelas, gadis kecil kuncir kuda yang duduk di sampingnya masih menangis. Berpasang-pasang mata yang ada di situ menatap kosong pada Julie, seperti lubang hitam. Julie merasakan sisa-sisa kesadarannya tersedot oleh kegelapan dalam lubang itu. Ia membiarkannya, ia sudah tak punya tenaga.

Tidak apa-apa, ia bersama Romi. Ia telah bersatu dengan Romi. Julie dan Romi tidak terpisahkan sampai mati, seperti biasanya, seperti yang seharusnya.



-selesai-             

Juni 27, 2013

Afternoon Rambling

Halo, semuaaa!

Tampilan blog-ku baruuu ~(^-^~) (~^-^)~ 

Yang sebelumnya berwarna dominan hitam dan bernuansa serius. Kali ini warnanya sedikit lebih kalem, jadi menurutku terkesan lebih ringan.
Terima kasih kepada sahabat seperguruan seperjuangan Azam yang sudah meluangkan waktunya untuk mendesain ulang tempat sampah tulisanku ini. Besok kapan2 kukasih snickers ato kutraktir angkringan kolonel jenggot deh. =D

Karena tampilannya baru, aku jadi pengen nulis. Tapi karena ini penulisan yang nggak direncanakan, aku hanya akan menulis apapun yang terlintas di kepala. Siap-siap, ya.

Akhir-akhir ini aku di rumah aja, nggak kemana-mana. Kelas-kelas reguler bahasa jepang yang biasanya memenuhi sore-malamku sedang kosong. Mungkin karena mau bulan puasa, orang jadi malas belajar bahasa jepang. Iya, aku tahu itu nggak nyambung, biarin aja, jariku nggak bisa berhenti. Yang tersisa tinggal 3 kelas privat lepas (atas namaku, bukan institusi) dalam seminggu. Tapi nggak apa-apa. Ada sebundel komik yang harus kuterjemahkan. Meskipun katanya penerbit komik tempatku freelance ini hanya menerbitkan komik-komik dewasa, tapi komik yang satu ini kayak komik ABG labil banget, menye-menye gitu. Aku nerjemahinnya sambil mual-muntah. Tapi nggak apa-apa, toh saking menye-menye nya, aku hanya perlu menulis "aku tak bisa tanpamu" "aku sangat mencintaimu" "bagiku hanya kau seorang" "tangan ini ada untuk memelukmu" dan semacamnya, berulang-ulang. Aku curiga editorku sebenarnya punya misi terselubung untuk menyuruhku cari pacar, makanya dia kasih komik kayak gitu terus ke aku -_-. Atau, mudah saja, karena aku masih baru makanya dikasih yang gampang. Bagaimanapun, aku menanti saat dimana aku diberi tanggung jawab menerjemahkan Tomo'o--komik favoritku sepanjang masa, yang waktu aku pernah coba terjemahin 3 chapter aja tingkat kesulitannya semacam Nihongo Nouryoku Shiken (toefl basa jepang) (disingkat Nouken) level atas. 

Oh ya, Nouken. Nggak terasa minggu depan udah nouken. Aku belum belajar dengan serius. Bisa-bisa nggak lulus lagi. Gawat. Keasikan cari duit sih, ya begini jadinya. Sebenarnya rencana kasarku adalah nerjemahin-belajar nouken kulakukan bergantian setiap hari, tapi ternyata saat aku ngerjain yang satu, jadi nggak ngerjain yang lain. Kenyataan bahwa aku udah nggak lulus nouken level 2 (disingkat N2--paling tinggi level 1, paling rendah level 5) sebanyak 2 kali rupanya tidak menamparku cukup keras untuk lebih berusaha lagi kali ini. Kurang sadis. Lain kali akan kupinjami golok. Aku bahkan punya keinginan besar untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Beberapa waktu lalu aku ambil tes toefl, tapi hasilnya masih kurang dari yang kutargetkan. Yang lebih menyebalkan lagi adalah aku tahu bahwa kegagalanku dalam toefl kemarin semata-mata karena aku tidak mengatur pembagian waktu pengerjaan tiap sesinya dengan baik. 

Aku jadi kesal. Aku butuh lebih banyak semangat lagi. Lebih banyak motivasi lagi. Aku harus membuang segala pikiran yang tidak perlu. Berhenti mengkhawatirkan masa depan dan berhenti menyesali masa lalu. Status facebook seorang kawan tentang pendapat Tuhan terhadap manusia kemarin menohokku; "Kalian suka mencemaskan masa depan, sampai lupa dengan hari ini, sehingga kalian lupa bersyukur dan berusaha." kurang lebih seperti itu. Aku rasa itu benar, pikiran ini begitu disibukkan dengan hal-hal yang sudah dan belum terjadi, yang terlanjur dan yang diharapkan terjadi. Ketika kepalaku dipenuhi hal-hal seperti itu, aku jadi diam di tempat, bergeming sambil menutup mata. 

I have to forgive myself and start something. 

Nah, loh, jadi serius, kan..haha. 

Ngomong-ngomong, aku punya kucing. Namanya Pepi. Fun fact: Pepi adalah nama teman dekat adekku. Aku dan ibuku seenaknya menamai kucing kami Pepi karena teman adekku itu sering maen ke rumah dan menurut kami nama Pepi cocok untuk kucing. Nggak penting banget, ya..hahaha. 

Bagiku, membelai kucing dan mendengar dengkurannya adalah salah satu cara mengistirahatkan pikiran paling ampuh. Semacam obat, semacam narkotika. Hanya dengan melihatnya, rasanya tingkat stress-ku bisa berkurang barang 10%. Terima kasih, Tuhan, karena telah menciptakan kucing. Dia sekarang sedang tidur di atas meja, di samping laptopku. Lebih tepatnya di atas teks komik yang sedang kuterjemahkan. Baiklah. Sekarang setelah mataku menangkapnya, sebaiknya aku melanjutkan pekerjaan saja.

Nah, ini baru namanya meracau. Pesan moralnya juga nggak ada. Kayak gini kok berani-beraninya share di facebook. Mau tahu kenapa aku suka sok share postingan blog di facebook? Simpel saja, aku senang kalau tulisanku ada yang baca, meskipun isinya nggak mutu, meskipun yang baca mengutuk-ngutukku karena isinya nggak mutu. Hahahaha. 

Baiklah, aku pamit dulu. Saat aku menyelesaikan tulisan ini adalah saat acara berita di salah satu stasiun TV menyatakan bahwa kuota jama'ah haji akan diturunkan. Besok aku kalo naik haji berangkat sendiri aja deh, nggak usah ikut rombongan. Bisa, nggak, ya? 



Sampai jumpa. 
Wherever you are, whatever you do, keep up the hardwork. =) 


Juni 25, 2013

Warna-warni Orang Tua Murid

Halo, semua.

Hari ini adikku, Irfan, terima rapor. Karena kedua orang tuaku sedang tidak di rumah, jadi terpaksa aku yang ambil. Irfan kelas 1 naik kelas 2, di salah satu SMA swasta di Jogja yang kalo pada hari terima rapor/pertemuan orang tua, jalanan di depannya selalu dipenuhi mobil. Eh, tapi sekarang jalanan di seluruh jogja dipenuhi mobil, ding. Naik mobil sekarang nggak spesial lagi, bro. Biasa aja kalik. 

Ini bukan kali pertama aku ngambilin rapor Irfan, jadi aku sudah tahu kurang lebih bagaimana prosedurnya. Yang berbeda di sekolah adikku ini adalah, selain wali kelas, ada satu guru yang bertanggung jawab terhadap satu kelompok siswa yang terdiri dari kurang lebih 10 orang, disebut SA (student advisor). Aku tidak tahu pasti apa tugas SA, tapi yang jelas seorang SA dituntut untuk dekat dengan anak2 kelompoknya. Ia bisa menjadi tempat bagi anak-anak yang ingin konsultasi soal apapun. Mungkin semacam guru BK, tapi ada banyak dan masing-masing mendedikasikan perhatiannya terutama pada anak-anak kelompoknya. Nah, dengan SA inilah kita sebagai orang tua/wali akan berhadapan ketika menerima rapor/parents meeting.

Aku kurang tahu bagaimana bentuk rapor di sekolah negeri saat ini, tapi di sekolah Irfan, bentuknya narasi. Jadi pada setiap kolom mata pelajaran, tertulis deskripsi tentang bagaimana sikap anak itu selama di kelas, kemajuan/kemundurannya, dan tentu saja juga tertera nilai akademisnya. Ngomong-ngomong, suatu hari ketika aku mengantar ibuku mengambil rapor, aku pernah mendengar obrolan beberapa ibu-ibu yang mengeluhkan bentuk rapor seperti itu, karena menurut mereka terlalu panjang dan bertele-tele, dan menyita waktu untuk membacanya. Aku langsung membatin nyinyir, setelah melirik singkat melihat mereka, "Oh please, buat nge-cat kuku tangan dan kaki, dan masang hijab-sanggul yang kayaknya butuh dibantuin 2 orang pembokatnya, aja ada waktu kok, buat ngebaca rapor anaknya aja sambat." Tapi yah, biarlah. Toh keluhan mereka tidak membuat format rapor sekolah itu lalu diganti menjadi format rapor tradisional, yang isinya angka doang, yang membuat orang begitu mudah menghakimi setelah membacanya.

Selain semua penjelasan yang telah tertera di rapor, ortu/wali juga berhadapan one-on-one dengan para SA anak mereka. Dan, aku bisa melihat dengan jelas pada setiap kesempatan, bahwa pada waktu-waktu ini adalah nightmare bagi para SA.

Pada kesempatan terima rapor, SA akan membeberkan SEGALA HAL, semuanya, yang mereka ketahui tentang sang anak selama ia berada di sekolah--yang jelas waktunya jauh lebih lama daripada di rumah. Karena sekolah adikku ini relatif baru, guru-gurunya pun masih muda-muda, jadi--berdasarkan kesaksian adikku--lebih asik dan nyambung kalo diajak ngobrol. Nah, terkadang, atau mungkin malah sering, ada benturan yang muncul antara ortu/wali dengan SA mengenai sang anak. Orang tua mengatakan bahwa anaknya demikan, sementara SA menyatakan bahwa anaknya tidak demikian. Tentu saja pendapat keduanya memiliki landasan yang berbeda, karena orang tua tidak melihat selama anak sekolah dan sebaliknya SA tidak melihat selama anak di rumah. Tidak jarang perbedaan ini lantas berujung pada perdebatan, yang mengakibatkan waktu penerimaan rapor menjadi lebih lama dari yang seharusnya, dan antrean ortu/wali murid mengular di luar kelas. Aku selalu sebisa mungkin menghindari antrean tersebut, karena--seperti bisa diduga--pembicaraan yang terjadi di dalamnya kadang memuakkan. Membangga-banggakan anak, menjelek-jelekkan anak, membanding-bandingkan anak, saling mengeluhkan banyak hal. Pernah satu ketika sementara ibuku di dalam kelas berdiskusi dengan SA, di luar kelas ramai sekali, bukan oleh antrean orang tua yang menunggu giliran, melainkan mereka yang sebenarnya sudah selesai ambil rapor, tapi masih bertahan di situ, nyerocos sampai berbusa-busa, ibu-ibu dengan ibu-ibu, bapak-bapak dengan bapak-bapak. Kepalaku langsung pusing, dan alih-alih berdiri di koridor yang sama dengan mereka, aku memilih berjalan mengelilingi sekolah. Sungguh aku tidak menyukai baik apa yang terjadi di dalam maupun di luar kelas ketika itu.

Mungkin--mungkin, ya--harga diri orang tua sedikit terusik dengan--entah kenyataan atau bukan--SA yang sepertinya lebih tahu tentang si anak daripada mereka. "Guweh orang tuanya. Tuh anak ndekem di perut guweh 9 bulan, lo siapa!? lo tau apa!?" semacam itu. Tapi sekali lagi perlu dimasukkan dalam pertimbangan bahwa 1. anak jauh lebih lama menghabiskan waktu di sekolah, 2. melihat jenis-jenis orang tua khas sekolah itu, yang entah bapaknya atau ibunya atau keduanya, sering pergi ke luar kota/negeri karena pekerjaan. Semakin jarang bertemu, semakin berkurang komunikasi, semakin jauh jarak, semakin kita menjadi orang asing satu sama lain. Nggak usah jauh-jauh, dan curcol sedikit, aku pun merasakan hal yang sama dalam keluargaku. Entah di titik sebelah mana pada garis waktu, adikku mulai jaaaauh lebih menikmati kegiatan di luar rumah yang tidak bersama dengan keluarga. Dan aku sangat maklum, karena keadaan menyebabkan jadi seperti itu. Aku yakin hal yang sama terjadi di banyak keluarga lain di sekolah itu.

Kemudian, tak jarang orang tua mengeluhkan hal tentang anak mereka, yang menurutku sebenarnya adalah hal di luar wewenang SA. Misalnya, suatu hari seorang bapak mengeluhkan anaknya yang sibuk sms-an terus di rumah. Lalu beberapa orang tua menimpali setuju, bahwa anaknya sibuk BBM-an, main iPad, main PSP, dan lain sebagainya. Aku masih ingat betul, waktu itu adalah hari parents meeting, tapi ayah-ibuku tidak bisa datang, jadi aku yang menggantikan. Dan aku masih ingat betul betapa herannya aku. Lha, yang ngasih anak-anak itu hape multimedia, pulsa berlimpah, BBM, iPad, PSP, dll itu siapa? Kan orang tuanya sendiri!? Kalo mau anak-anak itu nggak menggunakan fasilitas2 tersebut dan fokus belajar, ya dari awal jangan dikasih! Ini logika yang sederhana sekali, kan? Atau, memberi dengan diiringi pengertian, entah bagaimana aku sendiri belum kepikiran--akan kupikirkan untuk anakku kelak--sedemikian rupa agar anak tetap tahu prioritas. Sekali lagi, mungkin pemberian fasilitas terbaik dan termewah untuk anak adalah sebagai ganti waktu yang tidak dapat disediakan oleh orang tua, batinku, sebagai usaha terakhir untuk tidak terlibat dalam lomba mengeluh itu, dan hanya memperhatikan sang SA yang antara bingung, geli, kemringet, dan entah bagaimana akhirnya hanya menjawab singkat, "Begini saja, pak, bu, tolong bapak-ibu ajak lagi bicara anaknya di rumah, dan saya akan berusaha berbicara pada mereka juga." yang diamini para jamaah dengan manggut-manggut. See? it's all about communication. Kita tahu itu, hanya saja kita butuh orang lain yang mengatakannya.

Pada akhirnya, aku terpaksa menarik kesimpulan kasar bahwa beberapa orang tua itu banyak sekali mengeluh. Mungkin karena merasa memiliki, mereka mengeluh. Mungkin karena merasa berhak, mereka mengeluh. Atau mungkin juga memang dasar orangnya gemar mengeluh. Beberapa mengeluh untuk mencari solusi. Beberapa mengeluh DAN menyampaikan solusi yang terpikirkan, untuk melihat reaksi pihak ketiga, atau mungkin meminta saran. Ada yang dikasih solusi tapi tidak bisa menerima. Ada yang menyalahkan. Macam-macam sekali. Yang jelas, menurutku pada hari parents meeting dan terima rapor pasti sangat menguras mental para SA. Berapa orang tua yang harus mereka hadapi dalam satu hari? Tentu saja ada juga orang tua yang hubungan keluarganya adem ayem dan diskusi dengan SA berjalan lancar. Seandainya jadi SA, mungkin aku akan menyuguh snack dan teh manis untuk orang-orang seperti itu. 

Yah, bagaimanapun, aku belum menjadi orang tua seorang anak. Aku hanya bisa membayangkan, tapi belum bisa memahami bagaimana rasanya jadi orang tua. Tidak ada salahnya memikirkan ingin jadi orang tua yang seperti apa, kan?

Mungkin bisa mulai belajar, sambil membesarkan kucing, misalnya. Haha.



Sekian dan selamat malam. =)
             

Juni 11, 2013

Tanggung Jawab Sebuah Kata "Tapi"

Halo, semua.

Di waktu senggang, aku suka memikirkan hal-hal random tentang apa saja yang sedang terjadi di sekelilingku. Hal yang lucu, yang menyenangkan, yang menyebalkan, yang aneh, apapun. Akhir-akhir ini, aku sedikit terganggu dengan satu hal, yang mungkin sebenarnya biasa saja, tidak dalam, sedikit klise, tidak pula perlu dibicarakan, but hey, aku hanya sedang menghabiskan waktu. Who cares?

Aku sedikit terganggu dengan penggunaan kata 'tapi' dalam beberapa kondisi. Menurut KBBI offline, 'tetapi' adalah kata penghubung intrakalimat untuk menyatakan hal yang bertentangan atau tidak selaras. Bertentangan atau tidak selaras. Masalahnya, bertentangan atau tidak selaras itu sangat subjektif. Dan ketika aku menemukan subjektivitas dalam penggunaan kata 'tapi' yang melibatkan satu atau sebagian fakta sosial yang kemudian mengarah pada penghakiman terhadap satu kelompok sosial tertentu, itu membuatku tergelitik untuk sekadar mengangkat sebelah alis.

Contoh paling sederhana dan sering kita dengar/katakan: "cowok tapi pake baju warna pink", "cewek tapi makannya banyak" (nggak, aku nggak sedang membicarakan diri sendiri), "lulusan psikologi UGM tapi jadi karyawan pom bensin", "tukang parkir tapi bajunya bagus banget", "anak pejabat tapi ngonthel", "udah umur 35 tapi belum nikah", "udah gede tapi masih suka komik dan kartun" (oke, kalo ini tentang diriku sendiri). Dan ada juga contoh yang sebelum menyebutkannya aku perlu minta maaf dulu. Maaf, aku menyebutkan hal-hal yang memang pernah aku dengar. "Cina tapi miskin", "Panggabean (marga Batak, yang kebetulan juga margaku, yang mana di daerah asalnya, mayoritas pemiliknya beragama kristen) tapi jilbaban", dll percayalah kita mendengar dan mengatakannya setiap saat. 

Setiap mendengar hal-hal seperti di atas, aku selalu bilang, "HA MBOK BEN!". Lha mbok biarin aja. Dari mana timbulnya semua komentar ini? Kenapa kita harus menentang-nentangkan dua hal yang--lepas dari bertentangan atau nggak menurut norma sosial--sebenarnya sama sekali bukan urusan kita? Memang, beberapa bisa sekadar untuk lucu-lucuan, tapi hati-hati, beberapa yang lain bisa menjadi sangat ofensif.

Kata 'tapi' yang muncul dari stereotip. Generalisasi. Ekspektasi. Ketika satu fakta tidak sesuai dengan ekspektasi kebanyakan orang, muncul kata 'tapi'. Ketika satu orang dianggap tidak sama dengan orang lain dalam golongannya, muncul kata 'tapi'. Ketika kita merasa sesuatu tidak cocok dengan apa yang biasanya terjadi, muncul kata 'tapi'. Atau kadang-kadang kata 'tapi' muncul begitu saja dari mulut orang-orang yang nyinyir, yang sukanya mengurusi urusan orang lain.

Sudahlah. Santai saja. Berhentilah membebani kata 'tapi' dengan tugas yang berat seperti itu. Kenapa kita tidak lebih sering menggunakan kata 'dan'? Lagi-lagi menurut KBBI offline, 'dan' adalah penghubung satuan bahasa (kata, frasa, klausa, dan kalimat) yang setara, yang termasuk tipe yg sama serta memiliki fungsi yang tidak berbeda. Coba baca lagi contoh-contoh kalimat yang kusebutkan di atas dan ganti 'tapi' dengan 'dan'. Sekalipun mungkin tidak sesuai dengan apapun itu yang kita anut, rasanya segalanya jadi jauh lebih mudah diterima. Melihat manusia hanya sebagai manusia, melihat A hanya sebagai A, tidak perlu melihat segala perangkat latar belakang yang mengiringinya. Buang saja ke laut. 

Bukan lantas kita menjadi kelewat maklum terhadap segala sesuatu. Hanya saja, sekarang ini memang zaman edan, dimana segala sesuatu terus berjalan cepat, berkembang sedemikian rupa di luar kuasa siapapun kecuali Sang Pencipta. Di zaman edan ini, kita perlu saling menopang untuk tetap dapat berdiri dengan waras. Dan sementara kepala kita dipenuhi ekspektasi akan segala sesuatu sehingga menimbulkan berbagai prasangka, tanpa kita sadari kaki kita sudah tidak menjejak di tanah yang sama dengan saudara-saudari kita yang lain. Sesulit itukah?

Yah, pada akhirnya ini hanya sebuah pemikiran yang numpang lewat di kepalaku, yang entah benar atau tidak, yang entah bermanfaat atau tidak. Setidaknya, aku akan mulai berhati-hati ketika mengomentari sesuatu. Mungkin mengurangi penggunaan kata 'tapi' yang terlalu subjektif. Mengurangi kecenderungan untuk menghubung-hubungkan segala sesuatu. Kalian boleh ikut, boleh nggak.


Selamat malam. =)