Agustus 29, 2010

Balada Nibi si Kucing Malang

Aku benci manusia.

Aku telah hidup selama 78 tahun, bertahan dengan mengais-ngais tempat sampah dan tidur di tepi jalan yang kotor, namun tak satupun manusia yang peduli. Mereka semua berjalan lalu-lalang setiap hari, terlihat sangat sibuk dengan urusannya sendiri. Mereka sangat menyayangi binatang tunggangan mereka yang memiliki empat kaki bulat. Entah kenapa hampir semua manusia memelihara binatang aneh itu, padahal ia tak bisa mengatakan apapun kecuali suara erangan aneh sambil buang angin. Angin yang ia buang pun bukan main baunya, membuat sesak nafas. Melihat manusia menungganginya kemana-mana setiap hari, memandikannya setiap akhir pekan, dan memarahi siapapun yang melukainya, membuatku tak habis pikir.

Aku punya banyak luka di sekujur tubuhku. Memang, karena kerasnya hidup aku harus bertarung setiap hari untuk mempertahankan tempat tinggal atau berebut makanan. Aku bisa jadi menang atau kalah, apapun itu, selalu ada suvenir berupa luka-luka baru yang tak bisa hilang. Namun luka dari pertarungan itu tak seberapa jika dibandingkan dengan luka fisik maupun luka hati akibat ulah kejam manusia.

Dulu, beberapa minggu setelah aku lahir, aku harus kehilangan keluargaku karena manusia mengusir kami dengan kasar dari tempat tinggal kami yang damai di dekat tempat sampah. Padahal kami tidak mengganggu mereka, namun mereka melempari kami dengan batu. Jadilah kami tercerai-berai dan aku terpaksa luntang-luntung sendirian.

Aku berjalan tak tentu arah, menghindari daerah kekuasaan sesamaku yang lebih besar, tahu apabila aku melanggar batas wilayah mereka, aku akan langsung mati di tempat.
Dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain, aku berhasil bertahan hidup. Namun aku menjadi sangat, sangat kurus. Manusia selalu melihatku dengan tatapan jijik, sebagian besar melempar sandal dan batu, beberapa mengasihani, tapi tak ada yang berusaha menolongku. Tentu saja, siapa pula yang mengharapkan pertolongan manusia?

Suatu hari, seorang manusia memberiku makanan. Aku tidak tahu makanan apa itu, tapi perut yang keroncongan membuatku tak bisa berpikir jernih dan kusikat habis makanan itu dengan brutal. Tak lama kemudian, badanku terasa sangat aneh. Perutku mual dan mataku berkunang-kunang. Aku menjadi sangat lemas, hingga tak sanggup berjalan. Akhirnya aku terkapar tak berdaya di balik bayang-bayang gedung. Dengan segenap tenaga terakhir yang bisa dikerahkan otakku, kusadari aku mungkin baru saja diracun. Dan bisa kudengar tawa manusia itu dari balik gang, menertawakan kebodohanku. Lalu aku pun pingsan.

Secara ajaib, aku tidak mati. Tapi rasa benciku kepada manusia semakin menjadi-jadi. Aku melihat banyak sesamaku yang bernasib sama sepertiku, menjadi tua tanpa sempat menikmati hidup. Namun aku juga melihat banyak sesamaku yang sangat sangat beruntung; terlahir dengan bulu lebat yang indah dan badan yang bagus. Padahal hidung mereka sangat pesek sampai hampir menutupi mata, dan kelihatannya tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali tidur dan bermalas-malasan, tapi manusia sangat menyayangi mereka. Tidak adil, memang. Beruntung sekali mereka.

Aku sudah sangat tua, mungkin sebentar lagi akan mati. Aku tidak ingin sesamaku berakhir menyedihkan seperti diriku. Aku ingin sekali menggelitik nurani kalian, wahai manusia.
Ini bukan hanya tentangku dan sesamaku, tapi juga tentang teman-temanku yang lain, yang berkaki empat, yang berjalan dengan cara melompat, yang bisa bertelur, yang memiliki insang, yang berkaki delapan, sampai teman-temanku yang berbadan coklat dan berkepala hijau, yang bisa menghasilkan buah, dan yang memiliki hiasan bunga-bunga indah di sekujur tubuhnya.

Kami tidak hidup di sini, berdampingan dengan manusia, hanya sebagai tambahan. Kita menjejak di tanah yang sama, menghirup udara yang sama. Karena itu, seharusnya manusia bisa lebih menghargai keberadaan kami, lebih daripada hewan tunggangan mereka yang beroda bulat itu, atau kertas persegi panjang bergambar warna biru dan pink yang begitu mereka agung-agungkan, seakan hanya itulah alasan eksistensi mereka selama ini.

Ada jutaan aku di dunia ini. Paling tidak, apabila kau bertemu salah satu aku dari jutaan itu, berilah makanan yang pantas. Maka aku akan berterima kasih.

Bagaimanapun aku sudah hampir mati.
Mungkin aku akan berkeliling, dan kalau kau menemukan mayat kucing berulat di teras atau atap rumahmu, mungkin itu aku--atau salah satu aku dari jutaan aku di dunia ini.