Maret 15, 2015

Balqis dan Dafinah

Kamar itu tidak luas, tapi selalu terasa hangat dan nyaman bagi Balqis. Seluruh permukaan dindingnya berwarna biru lembut, dihiasi sepetak jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan sawah hijau dan langit biru. Di atas meja kayu kecil yang terletak persis di depan jendela itu, terpampang sebingkai foto. Seorang wanita paruh baya dan seorang gadis cantik melambai dan tersenyum pada Balqis dari foto itu. Ia tidak tahu siapa mereka, tapi ia menyukai suasana dalam foto itu. Entah bagaimana, ada perasaan rindu. Seperti apabila kau menonton idolamu melalui layar televisi setiap hari hingga suatu saat kau merasa memiliki ikatan dengan orang itu, merasakan apa yang ia rasakan, dan kehilangan saat ia tak muncul. Balqis memiliki perasaan khusus terhadap ruangan itu, terhadap foto itu, tapi ia tak tahu apa nama perasaan itu.  

Balqis tidak mengetahui banyak hal. Ia menduga bahwa pada saatnya, dulu, ia mungkin pernah mengetahui dan mengingat banyak hal, lalu mulai melupakannya satu per satu, mungkin mengalami banyak depresi, dan perlahan mulai melepaskan semuanya. Saat ini, hidup jadi tidak terasa terlalu istimewa bagi Balqis, kalau saja ia tidak ditemani oleh seorang gadis yang namanya selalu sulit untuk ia ingat dan ucapkan itu. Entah sejak kapan, gadis itu sering keluar-masuk kamarnya, mengobrol, mengajak untuk menonton televisi bersama, kadang-kadang menggambar, dan seringkali membawa makanan. 

Balqis senang karena ia punya teman, dan sedikit merasa bersalah karena ia selalu melupakan namanya. Tapi, tampaknya gadis itu tidak keberatan. Gadis itu juga sering datang hanya untuk bercerita, yang juga selalu menjadi usaha sia-sia karena Balqis selalu melupakan ceritanya. Gadis itu bisa saja membawakan cerita yang sama setiap hari dan Balqis takkan menyadarinya. 

Ada kalanya juga Balqis terbangun di tengah malam akibat gambaran-gambaran tidak menyenangkan yang tiba-tiba menyerbu alam bawah sadarnya. Kalau tidak salah ingat, gadis itu menamainya “mimpi buruk”. Pada saat seperti itu pun gadis itu akan masuk ke dalam kamarnya dan menenangkannya, bersenandung hingga Balqis terlelap kembali. Dan seringkali, saat terbangun keesokan paginya, ia telah melupakan seluruh kejadian itu. 

Balqis memandangi kamarnya sekali lagi, sedikit bingung bagaimana dia tadi bisa berada di situ. Seperti biasa, saat ia mulai merasa bingung, ia akan menjalankan aktivitas favoritnya: melamun. Ia duduk di kursi kayunya yang nyaman dan mulai melamun.
  
“Nek,” kata sebuah suara dari balik pintunya. Ya, itu dia sebutan gadis itu padanya: Nenek. 

“Ini Dafinah.” Lalu tanpa menunggu jawaban, Dafinah membuka pintu. Wajahnya yang cantik menyembul dari sela pintu, “Ayo jalan-jalan.”Balqis tidak begitu suka kegiatan yang mereka sebut “jalan-jalan” ini. Ia sudah tua, kakinya cepat lelah, napasnya cepat habis, dan terlalu banyak warna dan suara di luar sana. Ia lebih suka menikmati warna biru, putih, dan hijau yang sudah sangat akrab dengan matanya, yang ia lihat dari kamarnya. Ia juga tidak suka banyak suara, itu membuatnya sakit kepala. Mempertimbangkan semua alasan itu, Balqis menggeleng. 

Dafinah tersenyum, pertanda ia belum menyerah. “Ayo jalan-jalan.” ulangnya. Kali ini ia mendekat dan memegang lengan Balqis. “Aku akan membantu Nenek.”

Sesaat Balqis merasa ingin menghempaskan gadis itu ke lantai dan menyuruhnya agar berhenti mengganggunya, tapi rupanya untuk melakukan itu pun ia tak memiliki kekuatan. Meskipun begitu, ia kukuh tetap duduk di kursinya. Dan tetap seperti itu sampai sekitar 15 menit setelahnya, saat ia mendadak tidak mengerti kenapa ia harus menolak ajakan gadis itu. Jalan-jalan itu, ‘kan, menyenangkan. 

Dafinah membantu Balqis berdiri, berjalan, dan memakaikan sandal bepergiannya. Ia tahu lengan mana yang harus digamit, kaki mana yang harus disangga, ke mana saja pandangan mata Balqis akan jatuh. Tubuh dan segala gerakan Balqis telah menjadi begitu meresap dalam saraf Dafinah, seakan-akan ia bisa merasakan semua itu terprogram di dalam otaknya dan ia cukup mengaktifkan beberapa tombol untuk menjalankannya. 

Bagi Dafinah, masa-masa paling sulit dalam hidupnya mungkin sudah terlewati sekitar 10 tahun lalu, ketika neneknya dinyatakan secara resmi mengalami apa yang kita sebut sebagai Demensia Alzheimer. Sebelumnya, Dafinah hanya mengetahui istilah itu dari buku dan televisi. Ia mengetahui beberapa selebriti yang mengidap penyakit itu. Ketika pada pertengahan usia 60 tahun Balqis mulai pikun, Dafinah hanya menganggapnya penyakit tua biasa. Tak pernah terpikir olehnya bahkan dalam satu juta tahun cahaya bahwa penyakit dengan nama rumit itu benar-benar datang sedekat ini, bersarang di dalam sel-sel otak neneknya. Sungguh tak disangka.
  
Hal lain yang juga tak disangka adalah kenyataan bahwa sebenarnya Dafinah membenci Balqis. Begitu membencinya hingga kebencian itu bisa membuatnya gila seandainya ia bukan anak yang kuat. Bagaimana tidak, sejauh yang bisa ia ingat dan ketahui, dan ia yakin ia tidak salah, Balqis adalah alasan utama kehancuran hubungan kedua orang tuanya, yang berakibat kehancuran hubungan dengannya juga sebagai anak satu-satunya. 

Sejak awal memang keluarga mereka tak bisa dibilang keluarga ideal yang harmonis, hanya saja keadaan menjadi semakin buruk sejak Balqis yang menjanda karena ditinggal mati suaminya harus tinggal dengan anak laki-laki, menantu, dan cucunya yang saat itu berusia 10 tahun, Dafinah. Balqis sebenarnya bukan wanita yang kejam, ia hanya terlalu menyayangi anak laki-lakinya. Ia mencintai anak laki-lakinya dengan membabi-buta, membenarkan segala yang ia lakukan, mengamini segala yang ia ucapkan. Dafinah yakin bahkan seandainya ayahnya mulai mengonsumsi obat-obatan terlarang sebagai camilan pengganti rokok, Balqis takkan keberatan, karena ia adalah anak emas satu-satunya. Balqis akan menggendongnya dan menyusuinya hingga ke liang kubur. Cinta Balqis yang berlebihan ini membuatnya lupa bahwa menantunya juga seorang manusia yang hidup dan memiliki perasaan. Badai pun menerjang hari-hari mereka tanpa pandang waktu: liburan, lebaran, sarapan, makan malam. Ketenangan yang sifatnya sementara selalu datang dan pergi, tapi awan gelap penuh petir senantiasa mengintai dari permukaan, tak pernah benar-benar lenyap. 

Kabar gembira datang saat Dafinah berusia 15 tahun—kedua orang tuanya akhirnya memutuskan untuk berpisah selama-lamanya. Ia tidak merasa sedih sama sekali, malah heran kenapa mereka tak melakukan itu sejak dulu. Lima tahun (ditambah tahun-tahun sebelum neneknya datang) itu waktu yang sangat panjang untuk saling berteriak, memaki, dan membenci. Entah untuk apa mereka bertahan selama itu—bahkan setelah dipikir lagi, entah kenapa mereka dulu bisa memilih satu sama lain untuk dinikahi. Setelah diputuskan bahwa Dafinah akan ikut ayahnya (dan tentu saja neneknya) karena ibunya tidak bekerja, ia pun melanjutkan hidup dan tidak pernah menoleh lagi, meskipun kebenciannya pada Balqis tak pernah berkurang setitikpun. 

Dua tahun setelah bercerai, ayah Dafinah meninggal karena kecelakaan. Malang bagi ayahnya, rupanya Tuhan hanya mengijinkan ayahnya menikmati hidup damai tanpa badai selama dua tahun. Kematian itu membuat Dafinah terpaksa hidup hanya berdua dengan Balqis, yang nyaris menjadi mayat hidup setelah Tuhan memutuskan untuk mengambil kembali anak semata wayangnya. Tentu saja Dafinah punya pilihan untuk menyerahkan neneknya ke panti jompo, lalu mulai hidup sendiri. Toh, ia sudah berusia 17 tahun, tahun depan ia sudah kuliah, ia bisa mendapatkan beasiswa untuk sekolahnya, dan ia juga mendapat harta warisan dari ayahnya yang tidak sedikit. Tapi, Dafinah bukan orang yang cuek, yang bisa membiarkan para tetangga membicarakannya sampai mulut mereka berbusa-busa, mengatainya anak perempuan tak berperasaan yang menelantarkan neneknya yang malang. Ya, ia lebih peduli pada pendapat tetangga daripada nasib nenek itu sendiri. Akhirnya, dengan dendam yang masih bercokol di dasar hatinya, ia memutuskan untuk tetap tinggal dan menemani Balqis. Tidak diawali dengan motif yang suci, sebenarnya, tapi siapa peduli? 

Segalanya terasa mudah karena Balqis hidup bagai selongsong kosong. Ia tidak banyak bicara, tidak banyak meminta, tidak banyak menampakkan dirinya di luar kamar. Seandainya Dafinah tidak harus memasak untuknya, sesungguhnya ia praktis hidup sendiri. Dafinah tidak keberatan dengan keadaan ini. Malah, ia cenderung senang karena akhirnya ia bisa merasakan ketenangan yang sebenarnya. 

Tapi rupanya ketenangan itu tak berlangsung lama. Saat Dafinah berusia 19 tahun dan sedang disibukkan oleh kuliah dan kerja sambilan, ia mulai menyadari sepenuhnya bahwa Balqis yang berusia 65 tahun itu sudah tua. Apapun bisa dan mulai terjadi sekarang pada neneknya. Pikun, sulit mendengar, sulit mengunyah, sulit menyelesaikan urusan di kamar mandi, sementara malaikat pencabut nyawa mungkin sudah mengawasi dari sudut kamar, menunggu perintah dari atasan untuk beraksi. 

Fakta yang mendadak terpikir itu membuka sebuah pemahaman baru dalam benak Dafinah: ia perlu melakukan perawatan ekstra terhadap neneknya. Bukan hanya memasak untuk makan tiga kali sehari, kali ini ia harus memikirkan menunya dengan lebih baik—mengurangi daging dan santan serta memperbanyak sayuran, misalnya. Menawarkan bantuan apabila neneknya terlihat kesulitan atau melupakan sesuatu (sungguh, sebelumnya ia tak terpikir bahkan untuk melakukan hal sekecil ini), membantunya berjalan ke kamar mandi, dan mungkin mengajaknya berolahraga ringan setiap pagi. Dafinah sendiri terkejut akan kebaikan-kebaikan yang terpikir olehnya, mengingat beberapa tahun yang lalu ia pernah sepenuh hati berharap agar neneknya itu cepat mati. Betapa waktu yang berjalan itu bisa mengubah apapun. 

Maka, dimulailah hari-hari saat Dafinah dan Balqis mulai berbicara lagi satu sama lain. Mereka sarapan dan makan malam bersama, menonton televisi bersama, sesekali Dafinah mengajak neneknya pergi ke pasar saat ingin ganti suasana. Dalam banyak kesempatan itu, Dafinah menyadari bahwa neneknya tak sekadar pikun karena tua. Balqis terlalu sering lupa. Awalnya ia melupakan hal-hal yang wajar seperti nama-nama orang, peristiwa-peristiwa kecil, hari dan tanggal, dan hal-hal kecil lainnya. Namun, lambat laun ia sering melupakan kata-kata sederhana, tak bisa fokus saat berbicara, dan tidak mendengarkan saat orang lain bicara padanya. Dafinah sering menemukan Balqis berdiri kebingungan di dapur atau ruang tamu, lupa hendak kemana atau melakukan apa. Terkadang ia kehilangan sesuatu lalu mencarinya di seluruh sudut rumah dengan tingkat histeria yang berlebihan, padahal ternyata benda yang ia cari itu tersimpan di dalam laci lemarinya. 

Gangguan ingatan itu terjadi begitu seringnya hingga membuat emosi Balqis bergejolak dengan intens. Ia menjadi mudah tersinggung dan sering marah, mendadak takut dan curiga, dan tidak bersemangat melakukan apapun. Sedikit suara keras dari Dafinah yang membangunkannya pada pagi hari bisa membuatnya mengamuk dan kegagalannya mencari sendok untuk makan malam bisa membuatnya menangis. Kabut kebencian Dafinah yang tadinya mulai menipis kembali memadat. Balqis nyaris kembali menjadi dirinya yang dulu, hanya saja kali ini ia membawa seperangkat sifat tambahan yang ikut campur di luar kuasanya—serangan pikun dan serbuan gejolak emosi. Dalam kekalutan akibat perasaan benci dan kasihan yang berkecamuk, Dafinah memutuskan bahwa sikap neneknya bisa dikategorikan tidak wajar, dan karenanya ia merasa perlu mencari tahu. 

Sambil belajar untuk ujian akhir tahun pertamanya di universitas, Dafinah pun menjelajahi internet, bertanya pada beberapa kenalan melalui media sosial perihal perubahan sikap Balqis yang kurang wajar. Dari situs-situs yang berhasil ia temukan dan pendapat-pendapat yang ia kumpulkan, ia menyimpulkan bahwa ada kemungkinan neneknya mengalami gejala Demensia yang mungkin disebabkan oleh kerusakan sel-sel otak. Apakah neneknya terkena penyakit Alzheimer yang terkenal itu, ia tidak terlalu yakin karena penjelasan yang ia dapatkan dari internet terlalu banyak dan ia takut salah memilah. Akhirnya—sambil heran sendiri kenapa tidak sejak awal saja ia melakukan ini—ia memutuskan untuk membawa Balqis menemui dokter. 

Meskipun Dafinah dan Balqis harus melewati perdebatan panjang saat berusaha membuat neneknya itu mengerti mengapa ia perlu menemui dokter, sang Dokter sendiri rupanya tak memerlukan banyak waktu untuk menyatakan bahwa Balqis memang menderita Alzheimer. Lalu, Dokter menjelaskan banyak sekali hal mengenai apa itu Demensia Alzheimer, bagaimana penyakit itu bisa muncul, bagaimana kemungkinan nasib penderita untuk seterusnya, dan yang terpenting, bagaimana orang-orang di sekitar penderita sebaiknya bersikap dan apa saja yang perlu mereka lakukan. Dafinah pun segera disuguhi menu latihan fisik ringan harian, peraturan-peraturan mengenai makanan, cara menjaga kesehatan, jam tidur, dan lain sebagainya. 

Dafinah tidak sempat merasa terkejut atau sedih atau apapun. Yang ia tahu hanyalah saat ini ia tidak bisa mundur lagi. Bagaimanapun, sekian persen dari darah yang mengalir dalam tubuh Dafinah adalah darah Balqis juga. Sekarang, ia hanya harus mempersiapkan hati dan menyisihkan waktu untuk selalu ada saat Balqis membutuhkannya. Dan ia bertekad akan melakukannya. Ia sudah bertahan sampai sejauh ini—mengalami masa yang tidak menyenangkan bersama kedua orang tua yang tidak akur, nenek yang jahat, berpisah dari ibunya, ditinggal mati ayahnya. Kenapa tidak sekalian saja ia merawat nenek yang dulu menghancurkan hidupnya? Ia sudah berada di lingkaran ini sejak dulu, dan ia akan melanjutkannya, membuang semua perasaannya, membentuk yang baru. Bersama Balqis yang baru ini, Dafinah pun akan menjadi baru. 

Dan saat ini, sepuluh tahun sejak tekad itu ia tancapkan dalam-dalam di hatinya, ia telah mengalami proses panjang sedemikian rupa hingga ia bisa menjadi tangan kanan Balqis, kaki Balqis, mata Balqis, pelengkap otak Balqis. Ia hampir berusia 30 tahun sekarang, sementara Balqis telah berusia 75 tahun dan hanya Tuhan yang tahu berapa tahun lagi yang tersisa baginya. Setelah lulus kuliah, Dafinah tetap tinggal di kota itu dan mengambil beberapa pekerjaan sambilan agar ia tidak kehilangan terlalu banyak waktu untuk menjaga neneknya. Ia juga menghindari undangan teman-teman lamanya untuk berkumpul karena setiap kali ia melakukannya, perasaan iri yang tak diinginkan itu selalu menyeruak dengan menyakitkan. Perasaan itu membuat Dafinah merasa terlalu banyak berkorban dan ingin menuntut kehidupan yang lebih baik, padahal ia tahu bahwa yang ia lakukan saat ini benar. Ia menghindari banyak kesenangan yang sebenarnya bisa ia dapatkan, dan belajar melepaskan semua perasaan yang tidak perlu, yang membuatnya menjadi negatif. Ikhlas. Betapa mudah segala sesuatu ketika ia menemukannya. Ikhlas adalah senjata terkuat bagi Dafinah dalam menjalani hidup hanya berdua dengan neneknya. Bahkan, Dafinah cukup bersyukur ia memiliki tanggung jawab merawat Balqis, karena dengan begitu ia punya alasan untuk tidak menikah dulu. Mengingat semua kejadian yang ia saksikan selama keluarganya masih utuh, menikah jelas berada di urutan terakhir dalam daftar hal-hal yang ingin ia lakukan. Saat ini, Dafinah dan Balqis hanya memiliki satu sama lain. Dan sejauh ini, itu sudah cukup. 

“Ayo, Nek.” ujar Dafinah, memegang lengan Balqis erat lalu mengayunkan daun pintu depan sampai terbuka.  

Cahaya matahari pagi yang agak terlalu terang mengejutkan Balqis sehingga tangannya otomatis bergerak untuk menutupi mata, tapi rupanya tangan Dafinah sudah lebih dulu ada di sana. 

“Lupa!” teriak Dafinah seraya tertawa. Ia memasangkan topi lebar di kepala Balqis. “Pas?” 

“Ya.” jawab Balqis, mengangguk. Sebenarnya ia agak ragu untuk terus pergi karena sepertinya hari ini terlalu panas. Tapi, gadis itu tampak menyenangkan. Mungkin tidak ada salahnya. Ah, siapa pula namanya tadi? 

“Dafinah, Nek.” celetuk gadis itu tiba-tiba. Entah dia bisa baca pikiran atau Balqis tadi tanpa sadar bicara keras-keras. 

“Ya, Dafi.” kata Balqis. Tiga suku kata agak terlalu banyak baginya. Gadis itu tersenyum. Sepertinya ia tidak keberatan. 

“Jalan-jalan.” kata Dafinah riang. 

“Jalan-jalan.” ulang Balqis. 

Dafinah memantapkan pegangannya di lengan Balqis, menuntunnya keluar, lalu menutup pintu di belakangnya. (selesai)