Oktober 06, 2013

Super Hero

Di dalam hati manusia, ada banyak emosi. Kadang mereka tertata dengan rapi. Beberapa disusun berderet di dalam rak, beberapa tersimpan di dalam lemari, terkunci. Beberapa dibiarkan saja berserakan di atas lantai, terlupakan. 

Seiring berjalannya waktu, manusia menjadi semakin sibuk dan sibuk. Sibuk oleh pendidikan. Sibuk oleh pekerjaan. Sibuk oleh tuntutan masyarakat. Sibuk oleh kesenangan diri sendiri. Ketika sibuk, manusia menjadi sering lupa. Emosi di dalam hati pun tak terurus. Mereka berjatuhan dari rak, tumpang-tindih, beberapa hilang entah ke mana. Dan lemari yang terkunci itu pun, rantai gemboknya mulai karatan.

Seringkali manusia tidak menyadari itu. Bahwa apapun yang mereka lakukan, sekecil apapun, dapat menimbulkan gempa yang entah sampai berapa besar guncangannya. Kadang, ketika guncangannya terlalu kencang, rantai gembok yang berkarat itu pun putus. Dan lemari itu, yang selama ini mereka kira hanya lemari biasa, ternyata adalah gudang senjata. 

Meskipun dibilang gudang senjata, ternyata isinya hanya pisau. Banyak sekali pisau, melayang-layang. Ada beberapa manusia yang begitu menyadari bahwa gudang senjatanya terbuka, ia akan terburu-buru menutupnya lagi, dan dengan segera menemukan gembok beserta kunci yang lebih kuat. Namun kebanyakan manusia membiarkan pintu gudang itu terbuka, sehingga pisau-pisau bermata tajam itu dapat dengan leluasa melayang-layang di seluruh penjuru ruangan.

Pisau-pisau ini suka mendominasi. Mereka dapat bertindak sesukanya, berkeliling mencari mangsa emosi yang terlihat lemah, dan menusuknya. Sekali tertusuk, sulit untuk menyembuhkannya kembali selama pintu gudang senjata itu belum benar-benar tertutup. Pisau itu sudah menusuk banyak sekali. Cinta, Gembira, Asa, Rasa, dan Empati. Mereka menusuk Empati berkali-kali, sampai bentuknya sulit dikenali.

Namun mereka tidak menyerang Takut, Khawatir, dan Sedih. Mereka berkawan baik. Bersama, mereka berambisi menciptakan sebuah jiwa yang baru, yang kuat dan tak terkalahkan. Yang menjadi pemenang dalam setiap peperangan, yang berdiri paling akhir di atas tumpukan mayat-mayat nilai moral.

Yang mereka tak tahu adalah, ambisi mereka sesungguhnya palsu. Takut, Khawatir, dan Sedih sebenarnya bukan kawan sejati mereka. Sekuat apapun mereka, ketika manusia telah menemukan kembali gembok dan kunci yang lebih kuat, pisau-pisau itu bisa dipaksa menyerah tanpa perlawanan. Mereka tak tahu bahwa Cinta, Gembira, Asa, Rasa, dan Empati, apabila bersatu akan menjadi pasukan terkuat. Super Hero. Super Hero ini dapat mengembalikan Takut, Khawatir, dan Sedih kembali pada tempatnya, menata mereka untuk bekerja di saat-saat yang sepantasnya saja. 

Pada akhirnya, tak semua manusia dapat menutup kembali gudang senjatanya. Dan membiarkannya terbuka hingga akhir hayatnya. Tapi sesungguhnya adalah harapan semua manusia untuk menciptakan Super Hero. Maka ciptakanlah ia dalam hatimu.

Ciptakanlah Super Hero di dalam hatimu.



Oktober 02, 2013

Paranoia

Dingin. Maya terbangun oleh gigilnya sendiri. Ia sudah terlanjur membuka mata. Ia harus segera bangun, atau air yang mulai menggenang di sekelilingnya akan menenggelamkannya. Ia melompat seperti kesetrum, meraba-raba dinding mencari saklar. Kenapa gelap sekali? Mati listrik? Ada yang mematikannya? Siapa? Untuk apa?

Ada yang memandanginya dari sudut kamar. Siapa? Pencuri? Hantu? Tapi ia tak punya apa-apa. Tangannya menemukan kenop pintu. Ia membuka selot bawah. Satu, dua. Lalu selot atas. Satu, dua. Lalu gerendel gembok di kenop pintu. Satu, dua. Lalu, terakhir, selot rantai. Semua itu dilakukannya tak sampai lima detik. Ratusan orang meneriakinya, menyuruhnya cepat. Ia menghentakkan pintu terbuka, lalu menghambur ke luar, ke koridor apartemennya. Beberapa langkah kemudian, ia bimbang. Ia belum menutup kembali pintunya. Bagaimana kalau ada yang masuk? Tapi tadi ada pencuri di dalam. Bagaimana kalau saat ia menutup kembali pintu itu, pencuri itu menyergapnya?

Ia mendengar langkah kaki dari kejauhan. Semakin lama semakin keras, dari arah tangga. Ada yang naik. Siapa? Apakah seseorang yang dikenalnya? 

Seraut wajah muncul dari balik tembok. Laki-laki paruh baya. Matanya menangkap mata Maya, lalu ia tersenyum sembari berjalan mendekat. Kenapa? Siapa? Apa ia harus menyapanya? Bagaimana kalau ia orang jahat? Laki-laki itu membawa plastik hitam di tangan kanannya. Apa itu? Bagaimana kalau isinya pisau dapur? Atau potongan mayat? 

Laki-laki itu melihat Maya, kemudian matanya beralih pada pintu kamarnya yang terbuka. Gawat! Ia melihatnya! Ia melihat pintunya yang terbuka! Spontan Maya berbalik dan berlari, lalu membanting pintunya menutup dan menguncinya. Kuncinya ia kantongi. Tunggu dulu. Jangan-jangan kantongnya bolong?  

Maya berpaling ke arah laki-laki tadi, yang masih berjalan ke arahnya. Senyumnya tidak hilang. Senyumnya tak juga hilang! Ada apa ini? Apa maunya? Kenapa senyum-senyum terus?

Laki-laki itu berhenti dua langkah di depannya. Maya membatu, menahan napas sampai lehernya kaku. Laki-laki itu mengangguk singkat, lalu masuk ke kamar di depan kamar Maya. 

Maya memastikan sejenak bahwa laki-laki tadi tak keluar lagi untuk menusuknya. Tapi beberapa saat kemudian ia ketakutan, dan mulai berlari lagi. Kamarnya di lantai 3. Ia harus turun lewat tangga. Tunggu dulu. Apakah tangganya aman? Kapan bangunan ini dibangun? Bagaimana kalau tiba-tiba ada gempa dan tangganya runtuh? 

Ia berganti pikiran dan menghempas masuk ke dalam elevator. Tapi seketika setelah pintunya menutup, ia menyesal luar biasa. Apakah elevator ini berfungsi dengan benar? Apakah tombol-tombol yang berderet itu bukan cuma hiasan? Bagaimana kalau tiba-tiba alat penggerak atau entah apa itu namanya, macet dan elevatornya berhenti di tempat yang tak seharusnya? Apakah ia akan terkurung di dalam situ? Akankah ada yang menyelamatkannya? Atau ia akan terus terperangkap di situ sampai membusuk?

Ia mengawasi angka 3 yang kemudian berubah menjadi angka 2. Lama sekali. Sudah berapa jam ia berada di situ? Tempat ini mengerikan. Sungguh mengerikan. Berada di dalam elevator adalah mimpi buruk. Perutnya mual, pandangannya berputar, lututnya lemas. Ia terjatuh, tersengal-sengal.

Ting!

Pintu elevator terbuka. Ia sudah berada di lantai 1. Tapi kakinya menolak untuk bergerak, jadi ia menyeret tubuhnya keluar dari kotak mimpi buruk itu.  

Tapi rupanya mimpi buruknya belum berakhir. Ia mendongak dan menemukan banyak orang. Banyak sekali. Mungkin ratusan, ribuan, jutaan. Semuanya berhenti bergerak ketika ia melihat mereka. Semua orang memandanginya. Jutaan pasang mata itu memandanginya, bergeming. Bahkan jam dinding, jendela kaca, daun-daun pintu, langit-langit, seluruh permukaan gedung itu, seluruh partikel udara di tempat itu, ikut memandanginya. Nanar dan menusuk-nusuk. Waktu pun tak mau repot-repot berjalan, demi menyaksikan kejadian itu.

Tiba-tiba Maya tak ingat cara bernapas. Oksigen pun menolak keberadaannya. Lehernya tercekik, matanya memberontak ingin melompat dari rongganya. Dadanya sakit. Tangannya menggelepar mencakari sekujur tubuhnya sendiri, yang seluruh urat sarafnya bersitegang satu sama lain, meronta-ronta. 

Ia bisa mendengar tawa. Banyak tawa, berderai-derai. Seluruh makhluk di ruangan itu sedang menertawakannya. Tawa mereka bergaung, panjang dan tanpa henti. Beberapa pasang tangan menggerayanginya. Tangan-tangan dari orang berbaju putih.

Oh, tidak! Orang-orang ini lagi! Mereka selalu, selalu, dapat menemukannya. Siapa orang-orang ini? Kenapa mereka tidak ikut tertawa saja bersama yang lain?

Orang-orang itu akan membawanya kembali. Kembali masuk ke kotak mimpi buruk itu. Kembali ke koridor dengan laki-laki paruh baya kejam itu. Kembali ke kamarnya, yang dipenuhi pencuri dan hantu, yang gelap dan dingin, yang penuh dengan air, siap menenggelamkannya kapan saja. 

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!

Maya berteriak, keras dan panjang, memilukan. Pita suaranya bergetar liar, seperti berusaha untuk keluar dari mulut. Suara-suara berkerubutan dalam kepalanya. Warna-warni berkelebat dalam matanya.

Dan gelombang air itu pun datang. Menghantamnya bak ombak tsunami, menenggelamkan teriakannya, dan pada saat yang bersamaan, kesadarannya.



-selesai-