Oktober 06, 2013

Super Hero

Di dalam hati manusia, ada banyak emosi. Kadang mereka tertata dengan rapi. Beberapa disusun berderet di dalam rak, beberapa tersimpan di dalam lemari, terkunci. Beberapa dibiarkan saja berserakan di atas lantai, terlupakan. 

Seiring berjalannya waktu, manusia menjadi semakin sibuk dan sibuk. Sibuk oleh pendidikan. Sibuk oleh pekerjaan. Sibuk oleh tuntutan masyarakat. Sibuk oleh kesenangan diri sendiri. Ketika sibuk, manusia menjadi sering lupa. Emosi di dalam hati pun tak terurus. Mereka berjatuhan dari rak, tumpang-tindih, beberapa hilang entah ke mana. Dan lemari yang terkunci itu pun, rantai gemboknya mulai karatan.

Seringkali manusia tidak menyadari itu. Bahwa apapun yang mereka lakukan, sekecil apapun, dapat menimbulkan gempa yang entah sampai berapa besar guncangannya. Kadang, ketika guncangannya terlalu kencang, rantai gembok yang berkarat itu pun putus. Dan lemari itu, yang selama ini mereka kira hanya lemari biasa, ternyata adalah gudang senjata. 

Meskipun dibilang gudang senjata, ternyata isinya hanya pisau. Banyak sekali pisau, melayang-layang. Ada beberapa manusia yang begitu menyadari bahwa gudang senjatanya terbuka, ia akan terburu-buru menutupnya lagi, dan dengan segera menemukan gembok beserta kunci yang lebih kuat. Namun kebanyakan manusia membiarkan pintu gudang itu terbuka, sehingga pisau-pisau bermata tajam itu dapat dengan leluasa melayang-layang di seluruh penjuru ruangan.

Pisau-pisau ini suka mendominasi. Mereka dapat bertindak sesukanya, berkeliling mencari mangsa emosi yang terlihat lemah, dan menusuknya. Sekali tertusuk, sulit untuk menyembuhkannya kembali selama pintu gudang senjata itu belum benar-benar tertutup. Pisau itu sudah menusuk banyak sekali. Cinta, Gembira, Asa, Rasa, dan Empati. Mereka menusuk Empati berkali-kali, sampai bentuknya sulit dikenali.

Namun mereka tidak menyerang Takut, Khawatir, dan Sedih. Mereka berkawan baik. Bersama, mereka berambisi menciptakan sebuah jiwa yang baru, yang kuat dan tak terkalahkan. Yang menjadi pemenang dalam setiap peperangan, yang berdiri paling akhir di atas tumpukan mayat-mayat nilai moral.

Yang mereka tak tahu adalah, ambisi mereka sesungguhnya palsu. Takut, Khawatir, dan Sedih sebenarnya bukan kawan sejati mereka. Sekuat apapun mereka, ketika manusia telah menemukan kembali gembok dan kunci yang lebih kuat, pisau-pisau itu bisa dipaksa menyerah tanpa perlawanan. Mereka tak tahu bahwa Cinta, Gembira, Asa, Rasa, dan Empati, apabila bersatu akan menjadi pasukan terkuat. Super Hero. Super Hero ini dapat mengembalikan Takut, Khawatir, dan Sedih kembali pada tempatnya, menata mereka untuk bekerja di saat-saat yang sepantasnya saja. 

Pada akhirnya, tak semua manusia dapat menutup kembali gudang senjatanya. Dan membiarkannya terbuka hingga akhir hayatnya. Tapi sesungguhnya adalah harapan semua manusia untuk menciptakan Super Hero. Maka ciptakanlah ia dalam hatimu.

Ciptakanlah Super Hero di dalam hatimu.



Oktober 02, 2013

Paranoia

Dingin. Maya terbangun oleh gigilnya sendiri. Ia sudah terlanjur membuka mata. Ia harus segera bangun, atau air yang mulai menggenang di sekelilingnya akan menenggelamkannya. Ia melompat seperti kesetrum, meraba-raba dinding mencari saklar. Kenapa gelap sekali? Mati listrik? Ada yang mematikannya? Siapa? Untuk apa?

Ada yang memandanginya dari sudut kamar. Siapa? Pencuri? Hantu? Tapi ia tak punya apa-apa. Tangannya menemukan kenop pintu. Ia membuka selot bawah. Satu, dua. Lalu selot atas. Satu, dua. Lalu gerendel gembok di kenop pintu. Satu, dua. Lalu, terakhir, selot rantai. Semua itu dilakukannya tak sampai lima detik. Ratusan orang meneriakinya, menyuruhnya cepat. Ia menghentakkan pintu terbuka, lalu menghambur ke luar, ke koridor apartemennya. Beberapa langkah kemudian, ia bimbang. Ia belum menutup kembali pintunya. Bagaimana kalau ada yang masuk? Tapi tadi ada pencuri di dalam. Bagaimana kalau saat ia menutup kembali pintu itu, pencuri itu menyergapnya?

Ia mendengar langkah kaki dari kejauhan. Semakin lama semakin keras, dari arah tangga. Ada yang naik. Siapa? Apakah seseorang yang dikenalnya? 

Seraut wajah muncul dari balik tembok. Laki-laki paruh baya. Matanya menangkap mata Maya, lalu ia tersenyum sembari berjalan mendekat. Kenapa? Siapa? Apa ia harus menyapanya? Bagaimana kalau ia orang jahat? Laki-laki itu membawa plastik hitam di tangan kanannya. Apa itu? Bagaimana kalau isinya pisau dapur? Atau potongan mayat? 

Laki-laki itu melihat Maya, kemudian matanya beralih pada pintu kamarnya yang terbuka. Gawat! Ia melihatnya! Ia melihat pintunya yang terbuka! Spontan Maya berbalik dan berlari, lalu membanting pintunya menutup dan menguncinya. Kuncinya ia kantongi. Tunggu dulu. Jangan-jangan kantongnya bolong?  

Maya berpaling ke arah laki-laki tadi, yang masih berjalan ke arahnya. Senyumnya tidak hilang. Senyumnya tak juga hilang! Ada apa ini? Apa maunya? Kenapa senyum-senyum terus?

Laki-laki itu berhenti dua langkah di depannya. Maya membatu, menahan napas sampai lehernya kaku. Laki-laki itu mengangguk singkat, lalu masuk ke kamar di depan kamar Maya. 

Maya memastikan sejenak bahwa laki-laki tadi tak keluar lagi untuk menusuknya. Tapi beberapa saat kemudian ia ketakutan, dan mulai berlari lagi. Kamarnya di lantai 3. Ia harus turun lewat tangga. Tunggu dulu. Apakah tangganya aman? Kapan bangunan ini dibangun? Bagaimana kalau tiba-tiba ada gempa dan tangganya runtuh? 

Ia berganti pikiran dan menghempas masuk ke dalam elevator. Tapi seketika setelah pintunya menutup, ia menyesal luar biasa. Apakah elevator ini berfungsi dengan benar? Apakah tombol-tombol yang berderet itu bukan cuma hiasan? Bagaimana kalau tiba-tiba alat penggerak atau entah apa itu namanya, macet dan elevatornya berhenti di tempat yang tak seharusnya? Apakah ia akan terkurung di dalam situ? Akankah ada yang menyelamatkannya? Atau ia akan terus terperangkap di situ sampai membusuk?

Ia mengawasi angka 3 yang kemudian berubah menjadi angka 2. Lama sekali. Sudah berapa jam ia berada di situ? Tempat ini mengerikan. Sungguh mengerikan. Berada di dalam elevator adalah mimpi buruk. Perutnya mual, pandangannya berputar, lututnya lemas. Ia terjatuh, tersengal-sengal.

Ting!

Pintu elevator terbuka. Ia sudah berada di lantai 1. Tapi kakinya menolak untuk bergerak, jadi ia menyeret tubuhnya keluar dari kotak mimpi buruk itu.  

Tapi rupanya mimpi buruknya belum berakhir. Ia mendongak dan menemukan banyak orang. Banyak sekali. Mungkin ratusan, ribuan, jutaan. Semuanya berhenti bergerak ketika ia melihat mereka. Semua orang memandanginya. Jutaan pasang mata itu memandanginya, bergeming. Bahkan jam dinding, jendela kaca, daun-daun pintu, langit-langit, seluruh permukaan gedung itu, seluruh partikel udara di tempat itu, ikut memandanginya. Nanar dan menusuk-nusuk. Waktu pun tak mau repot-repot berjalan, demi menyaksikan kejadian itu.

Tiba-tiba Maya tak ingat cara bernapas. Oksigen pun menolak keberadaannya. Lehernya tercekik, matanya memberontak ingin melompat dari rongganya. Dadanya sakit. Tangannya menggelepar mencakari sekujur tubuhnya sendiri, yang seluruh urat sarafnya bersitegang satu sama lain, meronta-ronta. 

Ia bisa mendengar tawa. Banyak tawa, berderai-derai. Seluruh makhluk di ruangan itu sedang menertawakannya. Tawa mereka bergaung, panjang dan tanpa henti. Beberapa pasang tangan menggerayanginya. Tangan-tangan dari orang berbaju putih.

Oh, tidak! Orang-orang ini lagi! Mereka selalu, selalu, dapat menemukannya. Siapa orang-orang ini? Kenapa mereka tidak ikut tertawa saja bersama yang lain?

Orang-orang itu akan membawanya kembali. Kembali masuk ke kotak mimpi buruk itu. Kembali ke koridor dengan laki-laki paruh baya kejam itu. Kembali ke kamarnya, yang dipenuhi pencuri dan hantu, yang gelap dan dingin, yang penuh dengan air, siap menenggelamkannya kapan saja. 

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!

Maya berteriak, keras dan panjang, memilukan. Pita suaranya bergetar liar, seperti berusaha untuk keluar dari mulut. Suara-suara berkerubutan dalam kepalanya. Warna-warni berkelebat dalam matanya.

Dan gelombang air itu pun datang. Menghantamnya bak ombak tsunami, menenggelamkan teriakannya, dan pada saat yang bersamaan, kesadarannya.



-selesai-    

September 28, 2013

Still a Long Way to Go

Halo, semua.

Ternyata lama juga aku nggak nulis di sini. Bukannya nggak ada yang bisa ditulis, malah ada banyak sekali. Saking banyaknya, semua keburu menguap ditelan kesibukan sehari-hari. Tapi malam ini aku lumayan senggang, jadi mari mengisi waktu =)

Kali ini aku ingin sedikit berbagi pengalaman tentang pekerjaan yang akhir-akhir ini mengisi hari-hariku. Setelah lulus dari jurusan Sastra Jepang, yang ada dalam kepalaku adalah bagaimana caranya agar bahasa yang kupelajari selama 4 tahun ini nggak hilang begitu saja. Jadi, sembari menunggu kesempatan untuk melanjutkan S2, aku melanjutkan pekerjaanku sebagai pengajar les privat bahasa Jepang lepas dan mengajar di salah satu lembaga bimbingan belajar bahasa Jepang di Jogja. 

Saat ini, selain sebagai pengajar les privat, aku juga menjadi pengajar di dua instansi yang berbeda. Instansi A adalah lembimjar umum dan Instansi B adalah lembimjar untuk calon tenaga kerja magang ke Jepang. Selain itu, aku juga menjadi penerjemah komik di Instansi C. Semua pekerjaan itu bersifat freelance, jadi jadwalku dalam seminggu pun berubah-ubah. Tapi saat ini aku cukup menikmatinya, mungkin akan kubiarkan comfort zone ini memanjakanku untuk beberapa waktu ke depan. =)

Di instansi A, kebanyakan peminatnya adalah anak SMP, SMA, dan mahasiswa yang, kalau bukan penyuka budaya jejepangan, ya orang yang memang mau ke Jepang, atau keduanya. Seringkali aku menggunakan pendekatan sebagai sesama penyuka budaya jejepangan di sini. Misalnya, membuat contoh kalimat menggunakan nama karakter anime, atau memperdengarkan lagu J-Pop sebagai materi pelajaran. Menyenangkan sekali. Yang menarik adalah adanya kecenderungan anak-anak ini kelewat mendewakan segala sesuatu tentang Jepang. Aku suka geli sendiri tiap ada yang bilang, "Sensei (ya, aku dipanggil Sensei. hahaha :v), lagu-lagu Jepang itu keren banget, ya. Liriknya dalem banget (lu kate sungai). Nggak kayak lagu Indonesia, alay." atau "Drama Jepang itu ceritanya bagus banget, aktornya juga ganteng-ganteng! ihihihi. Nggak kayak sinetron, alay." dan sebagainya.

Setiap aku mendengar pendapat macam itu, aku selalu menimpali, "Ah, masak, sih? Nggak juga kok." sambil dalam hati bertanya-tanya, memangnya kamu sudah mendengarkan semua lagu Jepang dan Indonesia? Memangnya kamu sudah nonton semua drama Jepang dan sinetron Indonesia? Oh well, meskipun kualitas sinetron jaman sekarang yang memang inferior itu rasanya sudah merupakan suatu hal yang pasti, sama pastinya dengan pendapat "Bumi itu bulat" dan "Kucing itu lucu". Dan dia mengatai segala sesuatu yang di Indonesia itu alay. Bagiku, kamu yang membanggakan produk Jepang dengan membabi buta itu sebenarnya nggak kalah alay.

Tapi, yah, waktu SMA dulu aku juga begitu, kok. Biar sajalah, mungkin memang lagi umurnya harus nge-fans sama sesuatu. Toh, berkat kesukaan mereka yang sedemikian rupa terhadap Jepang, semangat belajar bahasa Jepang mereka lebih besar. Bagiku sebagai pengajar, itu yang paling penting, 'kan?

Situasi di instansi B sedikit berbeda. Di sini, sebagian besar dari mereka belum mengetahui apapun tentang Jepang. Bagiku, ini jadi gampang-gampang susah. Aku harus menggunakan pendekatan yang berbeda. Kalau di instansi A kami belajar dengan santai, di instansi B tidak bisa seperti itu. Sistem di instansi B mengharuskan murid-muridnya mengenakan seragam dan berbicara layaknya tentara--keras dan tegas. Sebenarnya, para pengajar di situ pun dituntut untuk menjadi lebih "galak", dan meskipun banyak teman mengatakan aku ini galak, menjadi galak ketika mengajar itu ternyata tak semudah yang kubayangkan.

Aku suka mengajar dengan santai, yang melibatkan banyak lelucon dan selipan cerita-cerita ringan tentang Jepang--berdasarkan pengalaman pribadiku, tentunya. Aku suka membuat kelompok-kelompok dan menyuruh mereka membuat kaiwa (percakapan) lalu menampilkannya di depan kelas. Aku suka menyuruh mereka membuat sakubun (karangan) dengan tema tertentu. Aku nggak terlalu terganggu dengan murid yang cara bicaranya agak nyolot, selama ia memperlihatkan performa yang bagus dalam belajar. Aku nggak keberatan kalau ada yang tidur di kelas, selama ia nggak mengganggu teman-temannya yang lain. 

Nah, kebiasaan-kebiasaan itu sepertinya perlu dikurangi saat aku mengajar di instansi B, yang metodenya melulu teori dan latihan soal. Tadinya aku menerapkan cara itu juga, tapi lama-lama akunya yang bosan, ujung-ujungnya balik ke caraku sendiri =P. 

Di instansi B, sebagian besar muridnya lebih tua daripada aku, dan nyaris semuanya laki-laki. Ini juga merupakan sebuah tantangan, bagaimana caranya agar aku bisa tetap mengajar dengan menarik dan menyenangkan tanpa membuat mereka merasa terlalu nyaman hingga bisa bersikap nyeleneh atau merendahkan. Sejauh ini sih nggak ada masalah, semoga selanjutnya pun nggak.

Begitulah. Aku paling suka kalau kami melakukan brainstorming di kelas. Ada yang bertanya, ada yang menimpali, ada yang nggak setuju, ada yang berkomentar, dan lain-lain. Kelas selalu terasa jauh lebih hidup. Resikonya adalah kami jadi terlalu berisik, bisa mengganggu kelas sebelahnya kalau dindingnya tipis.

Mengajar itu menyenangkan. Tapi tentu saja, ada saatnya aku bosan. Pada saat itu, aku bersyukur memiliki kesibukan lain: menerjemahkan komik. Pasti kalian semua sudah tahu bahwa aku suka komik. Jadi, menerjemahkan komik kadang rasanya nyaris seperti bukan sedang bekerja. Ya cuma baca komik aja. Bedanya, aku kadang harus cari cara baca kanji atau arti dari suatu kata, atau memutar otak untuk merangkai kalimat dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Dan aku sih cukup menikmatinya, meskipun beberapa waktu lalu sempat sebel karena diserahi komik cewek menye-menye yang sama sekali bukan tipeku. Tapi nggak apa-apa, komik itu sudah tamat dan sekarang aku dapat serial yang lebih bagus =))

Mungkin semua pekerjaanku itu cuma freelance kecil-kecilan yang kelihatannya tidak menjanjikan. Kalau mengisi formulir dan ada kolom "pekerjaan" pun aku bingung musti nulis apa. Waktu ditanya orang pun, meskipun sudah dijawab "saya sekarang mengajar dan menerjemahkan" selalu ada pertanyaan tambahan, "nggak kerja di perusahaan Jepang? kan ada banyak." aku hanya tertawa dan tidak menjawab secara khusus.

Bukan apa-apa, tapi sampai detik ini aku sama sekali nggak berkeinginan untuk kerja di perusahaan milik Jepang. Alasan utamanya adalah karena perusahaan-perusahaan itu ada di Jakarta. Dan aku NGGAK PENGEN hidup di sana. Benar-benar nggak pengen. Dalam beberapa kali kunjunganku je Jakarta, tidak pernah memberikan kesan apapun. Entah kenapa kota itu selalu membuatku capek. Jumlah orangnya, kemacetan lalu lintasnya, jarak tempuh antar tempat yang jauh dan lama, bahkan udara di sana membuatku capek. Mungkin nanti kalau aku sudah punya firebolt aku mau ke sana. Eh, tapi kalau punya firebolt mending sekalian aja ke New Zealand, ya. Tiduran di padang rumput bersama sapi dan biri-biri.

Bagiku, sih, yang penting nggak melupakan bahasa Jepang. Toh berkat freelance sana-sini itu, aku bisa berhenti minta uang dari orang tua. Tentu saja karena aku masih tinggal di Jogja, aku masih tinggal di rumah bersama orang tua. Setidaknya aku sudah bisa menabung, sambil tetap sesekali bersenang-senang lewat karaoke atau nonton film atau belanja di toko buku. Dan toh target utamaku masih melanjutkan kuliah, jadi aku memang nggak berniat punya pekerjaan tetap dulu. Tapi, yah, yang namanya nasib, siapa yang tahu. It's still a long way to go. Nikmati saja apa yang dimiliki sekarang.


Selamat malam. Selamat menikmati hidup. =)    

Juni 30, 2013

Julie dan Romi

Julie sangat mahir bermain piano sejak kecil. Ia mempelajarinya dengan sangat cepat, dan memenangkan banyak penghargaan dari berbagai kompetisi musik. Ia diakui oleh semua orang. Namanya bahkan tersohor sampai ke seluruh penjuru dunia. Namun ia tidak lantas menjadi sombong. Hidupnya begitu sempurna, hingga ia menapaki usia 30 tahun.

Julie memendam sebuah rahasia. Ia sangat mencintai grand piano-nya, lebih dari apapun. Lebih dari uang, lebih dari sahabat, lebih dari keluarga, lebih dari laki-laki. Ia bahkan menamai pianonya Romi, agar serasi dengan namanya bagaikan dalam sastra roman karya William Shakespeare; Romeo and Juliet. 

Ia pertama kali menyadari perasaan ini adalah ketika suatu hari di usia 15 tahun, seorang pianis selain dirinya memainkan piano kesayangannya di rumah. Ia merasakan gelegak kemarahan yang luar biasa, darahnya mendidih dan menderu cepat ke kepala, pelipisnya berdenyut menyakitkan, telinganya hanya dapat mendengar suara dering yang sangat nyaring. Namun akal sehat masih dapat menemukan celah untuk menyusup, maka dalam tiga tarikan napas panjang, ia berhasil mengendalikan diri.

Sayangnya, pengendalian diri ini tidak dapat berlangsung selamanya. Semakin hari, semakin banyak teman dan kerabat yang berkunjung, semakin banyak pula yang menyentuh piano kesayangannya. Lama kelamaan ia habis sabar. Pada awalnya ia hanya menegur. Lalu memperingatkan dengan lebih keras. Kemudian ia mulai membentak. Setelah itu ia tak lagi sungkan untuk memarahi. Tak lama kemudian, ia mulai melakukan kekerasan fisik. Puncaknya adalah ketika suatu hari serombongan kerabat datang. Salah seorang dari mereka membawa gadis kecil manis berkuncir kuda. Sebelum dapat diperingatkan, gadis kecil itu keburu membuka tutup piano dan memainkannya, tentu saja dengan ngawur. Urat saraf Julie langsung putus. Ia menjatuhkan nampan minuman yang sedang dibawanya hingga jatuh dan pecah berkeping-keping, dan--disaksikan oleh semua tamu yang datang hari itu--ia melintasi ruang tengah dalam tiga langkah besar, merenggut kasar gadis kecil itu dari kursi pianonya, dan melemparnya melintasi ruangan.

Seluruh penghuni ruangan terkesiap dan si gadis kecil malang mulai menangis keras, tapi Julie benar-benar sudah kehilangan dirinya. Di bawah tatapan terkejut semua orang, ia kembali melintasi ruangan, siap melancarkan serangan kedua. Sang ibu dari gadis kecil tadi pun tersadar dari rasa terkejutnya, dan buru-buru memeluk anak gadisnya hanya sepersekian detik lebih cepat daripada 12 senti hak sepatu Julie yang entah akan melakukan apa tadi apabila sang ibu terlambat sedikit saja.

Wajah Julie sepucat tembok. Ia membuka mulut, suaranya bergetar memancarkan kemarahan yang luar biasa, "Beraninya sampah kecilmu menyentuh Romi-ku. Minggir!"

Sang ibu balas melotot memandang Julie. "Kau. Gila." 

Lalu, tanpa berkata apa-apa, sang ibu tadi langsung pergi sambil menggendong anaknya yang tak juga berhenti menangis. Seisi ruangan masih membisu, sepertinya bernapas pun mereka lupa.

Julie terdiam beberapa saat, lalu menghela napas, dan menoleh kepada para penonton sambil tersenyum, "Maaf, maaf. Sekalian kuperingatkan saja, ya, piano itu milikku. Kalian boleh main ke sini kapan saja, asal tidak menyentuhnya. Yah, kita punya satu-dua benda yang kita sayangi, jadi wajar, kan?"

Tapi rupanya waktu telah kembali berjalan. Satu persatu para hadirin meninggalkan ruangan. Ada yang pergi sambil ketakutan, ada yang menggeleng-geleng, ada yang melemparkan pandangan menghina, ada yang mengerutkan alis, macam-macam. 

Julie mengawasi dalam diam ketika semua orang meninggalkannya. Ia sama sekali tidak merasa sedih atau menyesal. Malah, ia merasa sedikit senang. Mungkin, mereka tidak akan datang lagi. Mungkin, ia bisa menikmati sorenya berdua saja dengan Romi, sekarang dan seterusnya.

Dan memang itulah yang terjadi. Berita mengenai insiden pelemparan anak gadis itu sudah menyebar melalui mulut-mulut produser gosip. Sekarang seluruh kota mengetahui rahasianya. Bahkan mungkin seluruh dunia juga sudah tahu. Tapi Julie tak peduli. Asalkan Romi selalu ada di sampingnya, ia sanggup melalui apapun.

Rumah Julie yang bagai istana terletak di suatu tempat terpencil di atas gunung, tanpa satu pun tetangga. Jadi ketika tak ada orang yang datang, ia betul-betul sendirian. Pengantar susu dan koran pun--melihat tumpukan koran selama entah berapa hari yang dibiarkan di luar sampai menguning, dan botol-botol susu yang masih penuh hingga dihinggapi lalat dan berulat--akhirnya memutuskan untuk tak lagi datang. Julie hanya sesekali menelepon groceries dan makanan pesan-antar, karena ia tetap harus makan. Tentu saja ia memesan dua porsi; untuknya sendiri dan untuk Romi. Tapi selain itu, ia benar-benar sendirian di istananya, seiring dunia melupakan keberadaannya.

Bagi Julie, ini bagaikan surga. Hanya ia dan Romi. Berdua menghabiskan waktu. Pagi, siang, sore, malam. Ia makan bersama Romi. Ia tidur bersama Romi. Di antara dua kegiatan itu, ia hanya mengobrol bersama Romi. Romi pendengar yang sangat setia, ia tidak pernah mengeluh dan selalu ada untuk Julie. Romi adalah cinta sejati Julie, seperti dua keping puzzle yang menyatu, seperti warna merah dan jingga pada pelangi, seperti garis horizon tempat bertemunya langit dan laut. 

Julie dan Romi hidup bahagia berdua, selama satu, tiga, lima, tujuh, hingga sepuluh tahun. Ketika Julie menapak usia 40 tahun, entah bagaimana, ia merasa sering melihat sesuatu.

Sejak beberapa hari terakhir, listrik dan air tak lagi mengalir di rumahnya. Tapi siapa peduli, Romi tidak butuh listrik, dan Julie tidak butuh apapun bila ada Romi. Ia juga tak butuh bergeser dari ruang tengah tempat Romi berada. Romi-nya yang putih mengilat karena ia mandikan setiap hari itu terlihat bersinar saat malam, cahaya yang ia berikan hanya untuk Julie. Saat itulah ia mulai melihat hal-hal yang tak pada tempatnya. 

Pada awalnya, ia melihat sesosok laki-laki tampan berdiri di sudut ruang tamu. Sekilas, lalu hilang. Ah, cuma perasaan, pikirnya. 

Namun, sejak hari itu ia semakin sering melihat sosok laki-laki itu, selalu berdiri di tempat yang sama. Ketika selama dua hari penuh sosoknya tak juga hilang dari sana, Julie mulai takut. 

"Siapa kau!?" teriaknya gemetar pada sosok laki-laki itu. "Ada urusan apa kemari!?"

Laki-laki itu bergeming.

"Kutanya, siapa kau!?"

Laki-laki itu masih bergeming. Suasanya sunyi senyap. 

Bulu kuduk Julie meremang. Ia meraih vas bunga kecil yang ada di dekatnya, lalu melemparkannya tepat ke tubuh laki-laki itu sambil menjerit, "PERGI!!"

Vas itu melayang, kemudian jatuh dan pecah, seakan tanpa mengenai apa-apa. Julie terkesiap. Warna tubuh laki-laki itu terlihat tipis, berpendar di tengah kegelapan. Matanya terpaku pada Julie, menatap kosong. 

Sebuah ingatan menyeruak dalam kepalanya. Seorang laki-laki di masa lalu, muda dan tampan. Julie tahu laki-laki ini berusaha mendekatinya. Tanpa diminta, ia memamerkan keahliannya bermain piano di depan Julie, dengan menggunakan Romi. Julie masih bisa menahan amarahnya. Laki-laki itu kemudian menyatakan cinta dengan lagu yang ia mainkan. Julie menolak, namun laki-laki itu terus memaksanya. Tubuhnya dipepet ke tembok, napas laki-laki itu menderu di telinganya. Dalam usaha terakhir, Julie membenturkan kepalanya sekuat tenaga ke wajah laki-laki itu, berkali-kali, hingga darah mengucur dari hidungnya. Memanfaatkan kelengahan beberapa detik itu, Julie mendorong laki-laki itu sampai pintu depan, dan menghempaskannya ke teras, tanpa ampun, sebelum ia membanting pintu menutup dan menguncinya.

Napas Julie mendadak terengah-engah. Pandangan mata yang kosong itu seperti dua lubang hitam besar yang menariknya perlahan, menyedotnya ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Ia takut, ia ingin menangis. Kemudian terlihat olehnya sebuah kilatan. Romi!

Julie menghambur ke arah Romi dan mulai menekan tuts-tutsnya. Sekilas ia melihat ke sudut ruangan. Hei, laki-laki itu hilang! Begitu rupanya, kalau ia bermain piano, sosok itu pergi! Romi yang mengusirnya! Romi yang menyelamatkannya! Haha, rasakan kau!

Julie lanjut bermain piano, rasa senang memenuhi dadanya. Tak disangka ternyata Romi bisa cemburu juga, ada laki-laki lain datang satu saja, dia usir. Maaf, ya, Romi, bagiku hanya ada kau, kok, batinnya sambil mengusapkan pipinya di tuts piano yang mengilat.

Namun ketika ia berhenti bermain, tak saja laki-laki tadi kembali berdiri di tempatnya semula, Julie juga melihat sosok lain: seorang wanita tua gemuk yang duduk di sofa. 

Ingatan lain kembali menyeruak masuk dengan kurang ajar. Seorang wanita tua dari masa lalu. Wanita itu seorang janda yang juga menyukai permainan piano Julie. Hampir setiap hari ia datang membawakan makanan untuk Julie. Wanita itu menganggap Julie seperti anaknya sendiri. Selama bertahun-tahun, ia tidak pernah menyentuh piano Julie, sehingga Julie pun tidak merasa terancam akan kehadiran wanita itu. Namun suatu hari, wanita tua itu datang tepat ketika Julie sedang mandi. Karena entah sejak kapan Julie sudah tak menganggapnya tamu, sudah menjadi kebiasaan bagi wanita itu untuk langsung masuk saja seperti di rumah sendiri. Ketika menyadari bahwa Julie sedang mandi, ia letakkan saja makanan yang ia bawa di atas piano, kemudian sambil menunggu, menekan pelan tuts-tuts piano itu. Dari kamar mandi, Julie dapat mendengarnya. Darahnya yang meluap serasa meledak di kepalanya. Masih dengan shampoo menempel di rambutnya dan tanpa berusaha mengenakan apa-apa, ia menghambur keluar dari kamar mandi ke ruang tengah. Wanita tua itu terkejut ketika melihatnya. Belum habis rasa terkejutnya, Julie melempar piring makanan yang ada di atas piano hingga piringnya menabrak tembok, pecah, dan isinya berserakan di bawahnya. Seakan belum cukup terkejut, Julie menarik wanita tua itu hingga jatuh terlentang di lantai. 

"Keluar!" perintahnya dingin. Wajahnya merah padam karena murka. Wanita tua yang selama ini ia anggap ibunya sendiri, ternyata menunggunya sampai lengah, kemudian--sama seperti orang lain--berusaha mendekati Romi-nya. Kurang ajar. Tidak bisa dimaafkan.

Wanita yang merasakan patah hati luar biasa karena diperlakukan seperti itu oleh orang yang ia anggap anaknya sendiri itu tidak sanggup berdiri. Ia melihat Julie berdecak kesal dan tidak sabar, sedetik kemudian ia merasakan sebuah hentakan, ketika Julie mulai mendorong tubuhnya dari samping, dan menggelindingkannya sampai keluar pintu depan, sebelum Julie menutup dan menguncinya.

Sekarang wanita tua gemuk itu ada di sini, matanya menatap Julie kosong. Julie berusaha menenangkan diri. Tidak apa-apa, ada Romi. Ia kembali memainkan pianonya, dan seketika sosok laki-laki di sudut dan wanita tua gemuk di sofa kembali menghilang.

Ia tahu sekarang, bahwa agar mereka tidak kembali lagi, ia harus terus memainkan pianonya. Rupanya Romi posesif sekali, ia ingin Julie hanya melihat kepadanya. Senang karena merasa cintanya berbalas, Julie memainkan pianonya, tanpa henti. Pagi, siang, sore, malam, ia terus bermain piano. Tanpa makan, tanpa tidur, ia bermain piano. Jari-jarinya menari lincah menggerayangi seluruh permukaan tuts. Ia yakin Romi pasti menikmatinya. Ia memainkan semua lagu yang sudah dipelajarinya, ia bahkan menggubah lagu-lagu baru dengan spontan. Pokoknya ia harus terus bermain, terus, terus.

Tapi bagaimanapun sesekali ia harus berhenti karena kelelahan. Pada saat itu, selalu ada sosok baru yang muncul, diiringi pecahan demi pecahan ingatan dari masa lalu yang bagai listrik menyengat masuk ke kepalanya. Sosok-sosok itu berdiri di samping jendela, di dekat lampu hias, di bawah meja, di atas kursi, perlahan semakin banyak, hingga tak ada tempat kosong lagi di ruangan itu bagi mereka.

Julie ketakutan, tapi ia tahu, asalkan ia mencurahkan perhatiannya pada Romi seorang, semua sosok itu akan menghilang. Ia kembali bermain, bermain, bermain, bermain. Tubuhnya sangat kurus karena berhari-hari tidak makan. Kulitnya pucat dan kering, lingkaran hitam mengendap di bawah matanya yang menonjol karena berhari-hari tidak tidur. Seluruh bagian tubuhnya selain tangan dan kaki mati rasa. Tapi ia tak peduli, karena ia harus bermain.

Setelah bermain selama entah berapa hari, atau berapa minggu, atau berapa bulan, atau bahkan mungkin berapa tahun, beberapa tuts mulai ngadat, tak bisa berbunyi. Romi rupanya ikut sekarat merasakan keadaan Julie. Julie berhenti sebentar, dan tiba-tiba merasakan sebuah kehadiran tepat di sebelahnya. Ia menoleh, dan menemukan seorang gadis kecil kuncir kuda balas memandangnya kosong. Namun ada yang berbeda dari anak ini, dibandingkan sosok-sosok lain sebelumnya. Ada air mengalir dari kedua mata kosongnya. Gadis itu sedang menangis.

"PERGI KALIAN SEMUAAAA!!!" jerit Julie, dan dengan segenap kekuatan terakhirnya, kembali menekan tuts-tuts yang masih berfungsi. Ia harus bermain dengan cepat, dengan intensitas yang tinggi, tanpa berhenti sama sekali. Biarpun ia harus mati, ia ingin mati dengan Romi di sampingnya. 

Bernafsu dan tanpa ampun, ia terus bermain seperti kesetanan. Selama ia bermain, hanya ada ia dan Romi di ruangan itu. Hanya berdua, seperti biasanya, seperti yang seharusnya. Kuku-kukunya mengelupas, terpental lepas dari jemari, berjatuhan ke lantai, menghasilkan suara seperti kacang tumpah. Darah mengalir keluar dari jari-jarinya, mengucur turun ke bawah, membasahi lantai, perlahan menggenangi seluruh ruangan. Entah sejak kapan, air mata bercucuran ke atas tuts-tuts yang ia mainkan, menetes turun ke bawah, membentuk lapisan baru di atas genangan darah.

Ia sudah tak bisa berpikir lagi. Ia tak bisa lagi merasakan jari-jarinya. Ia tak tahu lagi apa yang sedang terjadi. Ia sudah sampai pada batasnya. Begitu pula dengan Romi, yang nyaris semua tutsnya sudah tak dapat berbunyi lagi. 

Tak kuat lagi, kepalanya terjatuh ke atas piano. Tangannya terkulai lunglai di samping tubuhnya. Seperti headphone yang tiba-tiba dilepas dari telinga, semua sosok di ruangan kembali muncul. Pendar tipis yang menguar dari tubuh mereka seakan berbisik. Ruangan penuh dengan suara bisikan. Entah mencaci-maki, entah membisikkan rasa simpati. Yang jelas, gadis kecil kuncir kuda yang duduk di sampingnya masih menangis. Berpasang-pasang mata yang ada di situ menatap kosong pada Julie, seperti lubang hitam. Julie merasakan sisa-sisa kesadarannya tersedot oleh kegelapan dalam lubang itu. Ia membiarkannya, ia sudah tak punya tenaga.

Tidak apa-apa, ia bersama Romi. Ia telah bersatu dengan Romi. Julie dan Romi tidak terpisahkan sampai mati, seperti biasanya, seperti yang seharusnya.



-selesai-             

Juni 27, 2013

Afternoon Rambling

Halo, semuaaa!

Tampilan blog-ku baruuu ~(^-^~) (~^-^)~ 

Yang sebelumnya berwarna dominan hitam dan bernuansa serius. Kali ini warnanya sedikit lebih kalem, jadi menurutku terkesan lebih ringan.
Terima kasih kepada sahabat seperguruan seperjuangan Azam yang sudah meluangkan waktunya untuk mendesain ulang tempat sampah tulisanku ini. Besok kapan2 kukasih snickers ato kutraktir angkringan kolonel jenggot deh. =D

Karena tampilannya baru, aku jadi pengen nulis. Tapi karena ini penulisan yang nggak direncanakan, aku hanya akan menulis apapun yang terlintas di kepala. Siap-siap, ya.

Akhir-akhir ini aku di rumah aja, nggak kemana-mana. Kelas-kelas reguler bahasa jepang yang biasanya memenuhi sore-malamku sedang kosong. Mungkin karena mau bulan puasa, orang jadi malas belajar bahasa jepang. Iya, aku tahu itu nggak nyambung, biarin aja, jariku nggak bisa berhenti. Yang tersisa tinggal 3 kelas privat lepas (atas namaku, bukan institusi) dalam seminggu. Tapi nggak apa-apa. Ada sebundel komik yang harus kuterjemahkan. Meskipun katanya penerbit komik tempatku freelance ini hanya menerbitkan komik-komik dewasa, tapi komik yang satu ini kayak komik ABG labil banget, menye-menye gitu. Aku nerjemahinnya sambil mual-muntah. Tapi nggak apa-apa, toh saking menye-menye nya, aku hanya perlu menulis "aku tak bisa tanpamu" "aku sangat mencintaimu" "bagiku hanya kau seorang" "tangan ini ada untuk memelukmu" dan semacamnya, berulang-ulang. Aku curiga editorku sebenarnya punya misi terselubung untuk menyuruhku cari pacar, makanya dia kasih komik kayak gitu terus ke aku -_-. Atau, mudah saja, karena aku masih baru makanya dikasih yang gampang. Bagaimanapun, aku menanti saat dimana aku diberi tanggung jawab menerjemahkan Tomo'o--komik favoritku sepanjang masa, yang waktu aku pernah coba terjemahin 3 chapter aja tingkat kesulitannya semacam Nihongo Nouryoku Shiken (toefl basa jepang) (disingkat Nouken) level atas. 

Oh ya, Nouken. Nggak terasa minggu depan udah nouken. Aku belum belajar dengan serius. Bisa-bisa nggak lulus lagi. Gawat. Keasikan cari duit sih, ya begini jadinya. Sebenarnya rencana kasarku adalah nerjemahin-belajar nouken kulakukan bergantian setiap hari, tapi ternyata saat aku ngerjain yang satu, jadi nggak ngerjain yang lain. Kenyataan bahwa aku udah nggak lulus nouken level 2 (disingkat N2--paling tinggi level 1, paling rendah level 5) sebanyak 2 kali rupanya tidak menamparku cukup keras untuk lebih berusaha lagi kali ini. Kurang sadis. Lain kali akan kupinjami golok. Aku bahkan punya keinginan besar untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Beberapa waktu lalu aku ambil tes toefl, tapi hasilnya masih kurang dari yang kutargetkan. Yang lebih menyebalkan lagi adalah aku tahu bahwa kegagalanku dalam toefl kemarin semata-mata karena aku tidak mengatur pembagian waktu pengerjaan tiap sesinya dengan baik. 

Aku jadi kesal. Aku butuh lebih banyak semangat lagi. Lebih banyak motivasi lagi. Aku harus membuang segala pikiran yang tidak perlu. Berhenti mengkhawatirkan masa depan dan berhenti menyesali masa lalu. Status facebook seorang kawan tentang pendapat Tuhan terhadap manusia kemarin menohokku; "Kalian suka mencemaskan masa depan, sampai lupa dengan hari ini, sehingga kalian lupa bersyukur dan berusaha." kurang lebih seperti itu. Aku rasa itu benar, pikiran ini begitu disibukkan dengan hal-hal yang sudah dan belum terjadi, yang terlanjur dan yang diharapkan terjadi. Ketika kepalaku dipenuhi hal-hal seperti itu, aku jadi diam di tempat, bergeming sambil menutup mata. 

I have to forgive myself and start something. 

Nah, loh, jadi serius, kan..haha. 

Ngomong-ngomong, aku punya kucing. Namanya Pepi. Fun fact: Pepi adalah nama teman dekat adekku. Aku dan ibuku seenaknya menamai kucing kami Pepi karena teman adekku itu sering maen ke rumah dan menurut kami nama Pepi cocok untuk kucing. Nggak penting banget, ya..hahaha. 

Bagiku, membelai kucing dan mendengar dengkurannya adalah salah satu cara mengistirahatkan pikiran paling ampuh. Semacam obat, semacam narkotika. Hanya dengan melihatnya, rasanya tingkat stress-ku bisa berkurang barang 10%. Terima kasih, Tuhan, karena telah menciptakan kucing. Dia sekarang sedang tidur di atas meja, di samping laptopku. Lebih tepatnya di atas teks komik yang sedang kuterjemahkan. Baiklah. Sekarang setelah mataku menangkapnya, sebaiknya aku melanjutkan pekerjaan saja.

Nah, ini baru namanya meracau. Pesan moralnya juga nggak ada. Kayak gini kok berani-beraninya share di facebook. Mau tahu kenapa aku suka sok share postingan blog di facebook? Simpel saja, aku senang kalau tulisanku ada yang baca, meskipun isinya nggak mutu, meskipun yang baca mengutuk-ngutukku karena isinya nggak mutu. Hahahaha. 

Baiklah, aku pamit dulu. Saat aku menyelesaikan tulisan ini adalah saat acara berita di salah satu stasiun TV menyatakan bahwa kuota jama'ah haji akan diturunkan. Besok aku kalo naik haji berangkat sendiri aja deh, nggak usah ikut rombongan. Bisa, nggak, ya? 



Sampai jumpa. 
Wherever you are, whatever you do, keep up the hardwork. =) 


Juni 25, 2013

Warna-warni Orang Tua Murid

Halo, semua.

Hari ini adikku, Irfan, terima rapor. Karena kedua orang tuaku sedang tidak di rumah, jadi terpaksa aku yang ambil. Irfan kelas 1 naik kelas 2, di salah satu SMA swasta di Jogja yang kalo pada hari terima rapor/pertemuan orang tua, jalanan di depannya selalu dipenuhi mobil. Eh, tapi sekarang jalanan di seluruh jogja dipenuhi mobil, ding. Naik mobil sekarang nggak spesial lagi, bro. Biasa aja kalik. 

Ini bukan kali pertama aku ngambilin rapor Irfan, jadi aku sudah tahu kurang lebih bagaimana prosedurnya. Yang berbeda di sekolah adikku ini adalah, selain wali kelas, ada satu guru yang bertanggung jawab terhadap satu kelompok siswa yang terdiri dari kurang lebih 10 orang, disebut SA (student advisor). Aku tidak tahu pasti apa tugas SA, tapi yang jelas seorang SA dituntut untuk dekat dengan anak2 kelompoknya. Ia bisa menjadi tempat bagi anak-anak yang ingin konsultasi soal apapun. Mungkin semacam guru BK, tapi ada banyak dan masing-masing mendedikasikan perhatiannya terutama pada anak-anak kelompoknya. Nah, dengan SA inilah kita sebagai orang tua/wali akan berhadapan ketika menerima rapor/parents meeting.

Aku kurang tahu bagaimana bentuk rapor di sekolah negeri saat ini, tapi di sekolah Irfan, bentuknya narasi. Jadi pada setiap kolom mata pelajaran, tertulis deskripsi tentang bagaimana sikap anak itu selama di kelas, kemajuan/kemundurannya, dan tentu saja juga tertera nilai akademisnya. Ngomong-ngomong, suatu hari ketika aku mengantar ibuku mengambil rapor, aku pernah mendengar obrolan beberapa ibu-ibu yang mengeluhkan bentuk rapor seperti itu, karena menurut mereka terlalu panjang dan bertele-tele, dan menyita waktu untuk membacanya. Aku langsung membatin nyinyir, setelah melirik singkat melihat mereka, "Oh please, buat nge-cat kuku tangan dan kaki, dan masang hijab-sanggul yang kayaknya butuh dibantuin 2 orang pembokatnya, aja ada waktu kok, buat ngebaca rapor anaknya aja sambat." Tapi yah, biarlah. Toh keluhan mereka tidak membuat format rapor sekolah itu lalu diganti menjadi format rapor tradisional, yang isinya angka doang, yang membuat orang begitu mudah menghakimi setelah membacanya.

Selain semua penjelasan yang telah tertera di rapor, ortu/wali juga berhadapan one-on-one dengan para SA anak mereka. Dan, aku bisa melihat dengan jelas pada setiap kesempatan, bahwa pada waktu-waktu ini adalah nightmare bagi para SA.

Pada kesempatan terima rapor, SA akan membeberkan SEGALA HAL, semuanya, yang mereka ketahui tentang sang anak selama ia berada di sekolah--yang jelas waktunya jauh lebih lama daripada di rumah. Karena sekolah adikku ini relatif baru, guru-gurunya pun masih muda-muda, jadi--berdasarkan kesaksian adikku--lebih asik dan nyambung kalo diajak ngobrol. Nah, terkadang, atau mungkin malah sering, ada benturan yang muncul antara ortu/wali dengan SA mengenai sang anak. Orang tua mengatakan bahwa anaknya demikan, sementara SA menyatakan bahwa anaknya tidak demikian. Tentu saja pendapat keduanya memiliki landasan yang berbeda, karena orang tua tidak melihat selama anak sekolah dan sebaliknya SA tidak melihat selama anak di rumah. Tidak jarang perbedaan ini lantas berujung pada perdebatan, yang mengakibatkan waktu penerimaan rapor menjadi lebih lama dari yang seharusnya, dan antrean ortu/wali murid mengular di luar kelas. Aku selalu sebisa mungkin menghindari antrean tersebut, karena--seperti bisa diduga--pembicaraan yang terjadi di dalamnya kadang memuakkan. Membangga-banggakan anak, menjelek-jelekkan anak, membanding-bandingkan anak, saling mengeluhkan banyak hal. Pernah satu ketika sementara ibuku di dalam kelas berdiskusi dengan SA, di luar kelas ramai sekali, bukan oleh antrean orang tua yang menunggu giliran, melainkan mereka yang sebenarnya sudah selesai ambil rapor, tapi masih bertahan di situ, nyerocos sampai berbusa-busa, ibu-ibu dengan ibu-ibu, bapak-bapak dengan bapak-bapak. Kepalaku langsung pusing, dan alih-alih berdiri di koridor yang sama dengan mereka, aku memilih berjalan mengelilingi sekolah. Sungguh aku tidak menyukai baik apa yang terjadi di dalam maupun di luar kelas ketika itu.

Mungkin--mungkin, ya--harga diri orang tua sedikit terusik dengan--entah kenyataan atau bukan--SA yang sepertinya lebih tahu tentang si anak daripada mereka. "Guweh orang tuanya. Tuh anak ndekem di perut guweh 9 bulan, lo siapa!? lo tau apa!?" semacam itu. Tapi sekali lagi perlu dimasukkan dalam pertimbangan bahwa 1. anak jauh lebih lama menghabiskan waktu di sekolah, 2. melihat jenis-jenis orang tua khas sekolah itu, yang entah bapaknya atau ibunya atau keduanya, sering pergi ke luar kota/negeri karena pekerjaan. Semakin jarang bertemu, semakin berkurang komunikasi, semakin jauh jarak, semakin kita menjadi orang asing satu sama lain. Nggak usah jauh-jauh, dan curcol sedikit, aku pun merasakan hal yang sama dalam keluargaku. Entah di titik sebelah mana pada garis waktu, adikku mulai jaaaauh lebih menikmati kegiatan di luar rumah yang tidak bersama dengan keluarga. Dan aku sangat maklum, karena keadaan menyebabkan jadi seperti itu. Aku yakin hal yang sama terjadi di banyak keluarga lain di sekolah itu.

Kemudian, tak jarang orang tua mengeluhkan hal tentang anak mereka, yang menurutku sebenarnya adalah hal di luar wewenang SA. Misalnya, suatu hari seorang bapak mengeluhkan anaknya yang sibuk sms-an terus di rumah. Lalu beberapa orang tua menimpali setuju, bahwa anaknya sibuk BBM-an, main iPad, main PSP, dan lain sebagainya. Aku masih ingat betul, waktu itu adalah hari parents meeting, tapi ayah-ibuku tidak bisa datang, jadi aku yang menggantikan. Dan aku masih ingat betul betapa herannya aku. Lha, yang ngasih anak-anak itu hape multimedia, pulsa berlimpah, BBM, iPad, PSP, dll itu siapa? Kan orang tuanya sendiri!? Kalo mau anak-anak itu nggak menggunakan fasilitas2 tersebut dan fokus belajar, ya dari awal jangan dikasih! Ini logika yang sederhana sekali, kan? Atau, memberi dengan diiringi pengertian, entah bagaimana aku sendiri belum kepikiran--akan kupikirkan untuk anakku kelak--sedemikian rupa agar anak tetap tahu prioritas. Sekali lagi, mungkin pemberian fasilitas terbaik dan termewah untuk anak adalah sebagai ganti waktu yang tidak dapat disediakan oleh orang tua, batinku, sebagai usaha terakhir untuk tidak terlibat dalam lomba mengeluh itu, dan hanya memperhatikan sang SA yang antara bingung, geli, kemringet, dan entah bagaimana akhirnya hanya menjawab singkat, "Begini saja, pak, bu, tolong bapak-ibu ajak lagi bicara anaknya di rumah, dan saya akan berusaha berbicara pada mereka juga." yang diamini para jamaah dengan manggut-manggut. See? it's all about communication. Kita tahu itu, hanya saja kita butuh orang lain yang mengatakannya.

Pada akhirnya, aku terpaksa menarik kesimpulan kasar bahwa beberapa orang tua itu banyak sekali mengeluh. Mungkin karena merasa memiliki, mereka mengeluh. Mungkin karena merasa berhak, mereka mengeluh. Atau mungkin juga memang dasar orangnya gemar mengeluh. Beberapa mengeluh untuk mencari solusi. Beberapa mengeluh DAN menyampaikan solusi yang terpikirkan, untuk melihat reaksi pihak ketiga, atau mungkin meminta saran. Ada yang dikasih solusi tapi tidak bisa menerima. Ada yang menyalahkan. Macam-macam sekali. Yang jelas, menurutku pada hari parents meeting dan terima rapor pasti sangat menguras mental para SA. Berapa orang tua yang harus mereka hadapi dalam satu hari? Tentu saja ada juga orang tua yang hubungan keluarganya adem ayem dan diskusi dengan SA berjalan lancar. Seandainya jadi SA, mungkin aku akan menyuguh snack dan teh manis untuk orang-orang seperti itu. 

Yah, bagaimanapun, aku belum menjadi orang tua seorang anak. Aku hanya bisa membayangkan, tapi belum bisa memahami bagaimana rasanya jadi orang tua. Tidak ada salahnya memikirkan ingin jadi orang tua yang seperti apa, kan?

Mungkin bisa mulai belajar, sambil membesarkan kucing, misalnya. Haha.



Sekian dan selamat malam. =)
             

Juni 11, 2013

Tanggung Jawab Sebuah Kata "Tapi"

Halo, semua.

Di waktu senggang, aku suka memikirkan hal-hal random tentang apa saja yang sedang terjadi di sekelilingku. Hal yang lucu, yang menyenangkan, yang menyebalkan, yang aneh, apapun. Akhir-akhir ini, aku sedikit terganggu dengan satu hal, yang mungkin sebenarnya biasa saja, tidak dalam, sedikit klise, tidak pula perlu dibicarakan, but hey, aku hanya sedang menghabiskan waktu. Who cares?

Aku sedikit terganggu dengan penggunaan kata 'tapi' dalam beberapa kondisi. Menurut KBBI offline, 'tetapi' adalah kata penghubung intrakalimat untuk menyatakan hal yang bertentangan atau tidak selaras. Bertentangan atau tidak selaras. Masalahnya, bertentangan atau tidak selaras itu sangat subjektif. Dan ketika aku menemukan subjektivitas dalam penggunaan kata 'tapi' yang melibatkan satu atau sebagian fakta sosial yang kemudian mengarah pada penghakiman terhadap satu kelompok sosial tertentu, itu membuatku tergelitik untuk sekadar mengangkat sebelah alis.

Contoh paling sederhana dan sering kita dengar/katakan: "cowok tapi pake baju warna pink", "cewek tapi makannya banyak" (nggak, aku nggak sedang membicarakan diri sendiri), "lulusan psikologi UGM tapi jadi karyawan pom bensin", "tukang parkir tapi bajunya bagus banget", "anak pejabat tapi ngonthel", "udah umur 35 tapi belum nikah", "udah gede tapi masih suka komik dan kartun" (oke, kalo ini tentang diriku sendiri). Dan ada juga contoh yang sebelum menyebutkannya aku perlu minta maaf dulu. Maaf, aku menyebutkan hal-hal yang memang pernah aku dengar. "Cina tapi miskin", "Panggabean (marga Batak, yang kebetulan juga margaku, yang mana di daerah asalnya, mayoritas pemiliknya beragama kristen) tapi jilbaban", dll percayalah kita mendengar dan mengatakannya setiap saat. 

Setiap mendengar hal-hal seperti di atas, aku selalu bilang, "HA MBOK BEN!". Lha mbok biarin aja. Dari mana timbulnya semua komentar ini? Kenapa kita harus menentang-nentangkan dua hal yang--lepas dari bertentangan atau nggak menurut norma sosial--sebenarnya sama sekali bukan urusan kita? Memang, beberapa bisa sekadar untuk lucu-lucuan, tapi hati-hati, beberapa yang lain bisa menjadi sangat ofensif.

Kata 'tapi' yang muncul dari stereotip. Generalisasi. Ekspektasi. Ketika satu fakta tidak sesuai dengan ekspektasi kebanyakan orang, muncul kata 'tapi'. Ketika satu orang dianggap tidak sama dengan orang lain dalam golongannya, muncul kata 'tapi'. Ketika kita merasa sesuatu tidak cocok dengan apa yang biasanya terjadi, muncul kata 'tapi'. Atau kadang-kadang kata 'tapi' muncul begitu saja dari mulut orang-orang yang nyinyir, yang sukanya mengurusi urusan orang lain.

Sudahlah. Santai saja. Berhentilah membebani kata 'tapi' dengan tugas yang berat seperti itu. Kenapa kita tidak lebih sering menggunakan kata 'dan'? Lagi-lagi menurut KBBI offline, 'dan' adalah penghubung satuan bahasa (kata, frasa, klausa, dan kalimat) yang setara, yang termasuk tipe yg sama serta memiliki fungsi yang tidak berbeda. Coba baca lagi contoh-contoh kalimat yang kusebutkan di atas dan ganti 'tapi' dengan 'dan'. Sekalipun mungkin tidak sesuai dengan apapun itu yang kita anut, rasanya segalanya jadi jauh lebih mudah diterima. Melihat manusia hanya sebagai manusia, melihat A hanya sebagai A, tidak perlu melihat segala perangkat latar belakang yang mengiringinya. Buang saja ke laut. 

Bukan lantas kita menjadi kelewat maklum terhadap segala sesuatu. Hanya saja, sekarang ini memang zaman edan, dimana segala sesuatu terus berjalan cepat, berkembang sedemikian rupa di luar kuasa siapapun kecuali Sang Pencipta. Di zaman edan ini, kita perlu saling menopang untuk tetap dapat berdiri dengan waras. Dan sementara kepala kita dipenuhi ekspektasi akan segala sesuatu sehingga menimbulkan berbagai prasangka, tanpa kita sadari kaki kita sudah tidak menjejak di tanah yang sama dengan saudara-saudari kita yang lain. Sesulit itukah?

Yah, pada akhirnya ini hanya sebuah pemikiran yang numpang lewat di kepalaku, yang entah benar atau tidak, yang entah bermanfaat atau tidak. Setidaknya, aku akan mulai berhati-hati ketika mengomentari sesuatu. Mungkin mengurangi penggunaan kata 'tapi' yang terlalu subjektif. Mengurangi kecenderungan untuk menghubung-hubungkan segala sesuatu. Kalian boleh ikut, boleh nggak.


Selamat malam. =)     

  

Mei 11, 2013

Huruf-huruf Gemetaran


Selambang huruf h membuka matanya, dengan antusias memandang sekeliling, penasaran di medan seperti apa ia berada sekarang. Tak lama berselang, selambang huruf a muncul di sampingnya.

“Ya ampun!” seru h kaget, “jelek sekali bentukmu!”

a, merasa tersinggung, membalas, “Kau sudah melihat bentukmu sendiri belum?”

spontan h memandang ke bawah, ke badannya yang tak karuan garisnya. Meskipun ia selambang h, tapi ia terlihat seperti b.

Sekejap kemudian teman-teman huruf yang lain bermunculan, berjejer di samping mereka. Ketika semua berpandangan, komentar mereka sama, “Jelek!”

“Siapa Penggubah kita kali ini?” tanya selambang huruf y yang tampak seperti t. Mereka semua mendongak ke atas, dan menemukan manusia laki-laki yang sepertinya baru beranjak dari masa kanak-kanak, sedang membubuhkan tinta dengan ekspresi tegang luar biasa. Beberapa huruf bahkan garis tubuhnya sedikit pudar karena terkena tetes air yang berasal dari wajah Penggubah itu.

Serempak terjadi protes di sana-sini.

“Padahal sudah besar, tapi kenapa Ia membuat kita sejelek ini!?”

“Lakukan yang benar, dong!”

“Belajar lagi, sana!”

“Betul, betul!”

“Berisik sekali, sih!”

Semua pemrotes memandang ke arah sumber suara barusan. Ternyata selambang huruf k yang sudah sangat tua. Begitu tua sampai ia harus memakai tongkat untuk membantunya berdiri. Ah, tapi k memang memakai tongkat sejak kecil.

“Dasar amatiran,” lanjut kakek k lagi, “menurut kalian apa yang membuat Sang Penggubah membuat kita sejelek ini?”

Para huruf yang tak karuan bentuknya itu berpikir sebentar, mengingat pelajaran mereka bertahun-tahun silam, ketika nenek moyang mereka yang mengendap indah menghiasi dinding-dinding batu menyerahkan tugas mulia membantu manusia itu pada mereka, generasi huruf.

“Kalau tidak salah ada tiga penyebab Sang Penggubah tidak becus dalam pembuatan kita.” ujar selambang huruf g yang kakinya kelewat panjang hingga ia jadi kembar dempet dengan huruf n di sebelahnya.

“Hm...apa ya, aku tidak ingat.” timpal selambang huruf z malas, beberapa baris di bawah g tadi. z memang terkenal acuh. Ia tak pernah mendengarkan ketika para nenek moyang mengajari mereka dulu, akibatnya para Penggubah pun jarang memanggilnya dalam misi. Tapi kelihatannya ia sama sekali tak peduli.

“Beliau masih anak-anak!” tebak selambang u.

“Beliau sedang merasa sedih!” tebak selambang m, “satu lagi...”

“Beliau sedang jatuh cinta!” seru j, o, dan d bebarengan.

Kakek k menghela napas tidak sabar, “Terlambat sekali baru menyadarinya sekarang,” ia menggeleng-gelengkan kepala, “amatir...amatir...aku sudah berkelana jutaan tahun dari satu kertas ke kertas lain, untuk menjalankan misi yang sangat populer di kalangan manusia muda ini.”

Menyebalkan sekali lagaknya kakek ini. Seandainya bukan karena mengasihani bentuknya yang menyedihkan karena garis tubuhnya yang seperti nyaris mau jatuh itu, huruf-huruf di sekelilingnya pasti sudah memukulinya.   

“Tapi, lihat!” seru selambang p di baris kedua, menunjuk ke beberapa baris di bawahnya. “Yang di sana sepertinya sudah jadi lebih bagus.”

Benar saja. Beberapa baris di bawahnya, bentuk para huruf mulai membaik. Mereka mendongak ke atas, dan menyadari bahwa ekspresi Sang Penggubah telah berubah. Kecepatannya menggubah pun bertambah, ia nyaris mencapai baris paling bawah.

“Ayoo!” seru selambang huruf c menyemangati.

“Untuk apa? Dia tidak bisa mendengar kita.” kata b heran.

“Tidak apa-apa,” jawab c, “sudah turun temurun kami keluarga c selalu menyemangati Penggubah sepanjang penggubahannya.”

Tapi sorak sorai mulai bermunculan dari seluruh penjuru.

“Ayo, ayo!”

“Selesaikan!”

“Berusahalah!”

Akhirnya sampailah Sang Penggubah di baris terakhirnya, dimana ia menggubah selarik untaian huruf yang sempurna, bagaikan si cantik dan si buruk rupa apabila bersanding dengan larik huruf di baris pertama tadi.

Semuanya bertepuk tangan ketika Komandan suruhan Sang Penggubah akhirnya muncul di baris paling akhir. Komandan berbeda dengan para huruf. Ia hanya ada satu untuk setiap Penggubah, tidak ada yang sama. Tugasnyalah untuk menyampaikan misi kepada para huruf dalam sebuah gubahan. Entah apakah mereka bertugas menyampaikan sebuah curahan perasaan, tantangan, tagihan, maupun pernyataan cinta.

“Apa misi kita kali ini, Komandan?” tanya selambang huruf t yang sempurna di baris akhir.

“Menyatakan cinta! Ya, kan? Ya, kan?” sambar i usil.

“Ehem,” deham Komandan, berusaha menarik perhatian semua hadirin. Ketika semuanya mulai tenang, ia melanjutkan, “Mungkin kalian tidak ingat, tapi Tuanku ini telah berkali-kali memanggil kalian dalam misi yang sama sebelumnya. Hanya saja, ia tak pernah berhasil menyelesaikannya, sehingga misinya selalu dibatalkan.”

“Tapi hari ini, akhirnya ia berhasil menurunkanku. Hari ini, akhirnya, bersama kalian aku akan menjalankan misi pertamaku untuk menyampaikan perasaannya kepada lawan jenis.”

Terdengar siulan dan sorakan riuh rendah dari para hadirin. “Bagus, anak muda!” teriak kakek k.   

“Maaf, komandan!” teriak selambang huruf di baris paling atas. Huruf-huruf lain menoleh. “Kalau Beliau memang telah berhasil menggubah hingga akhir, kenapa Beliau tidak memperbaiki bentuk kami? Lihat, kami masih jelek begini!”

Komandan tersenyum, “Tidak apa-apa. Bagaimanapun kalian muncul karena Tuanku sedang mengumpulkan keberaniannya pada awal gubahan. Sekarang, lihatlah keseluruhan barisan ini. Tuanku tidak ingin menghapus prosesnya. Keberadaan kalianlah yang menunjukkan usahanya yang sesungguhnya.”

Huruf-huruf gemetaran berpandangan, kemudian berdiri dengan dada lebih membusung. Misi ini pasti akan mereka selesaikan.

Seiring dengan hormat singkat dari Komandan, seluruh penghuni kertas memandang sekilas ke atas, ke arah wajah puas yang bahagia, hingga wajah itu hilang dari pandangan karena mereka telah dimasukkan dalam pesawat tempur, siap menjalankan misi.


-selesai-

April 23, 2013

Kalo Mau Request Komik Mbok Dipikir Dulu

Halo semua.

Sebelumnya kuingatkan bahwa postingan kali ini mungkin mengandung banyak istilah atau kata atau hal yang tidak kalian mengerti kalo kalian bukan penggemar manga. Tapi kalo mau tetep baca ya silakan, toh inti isinya tetap pendapatku tentang sesuatu. 

Jadi belum lama ini, karena satu dan lain hal, aku harus nge-like fan page salah satu penerbit komik terbesar di Indonesia yang kebetulan menerbitkan manga favoritku seumur hidup (yang kebetulan juga nggak terkenal =P): Tomo'o. Berkat itu, aku jadi tahu informasi tentang komik apa saja yang mereka terbitkan setiap minggu dan minggu lalu aku menemukan wall post yang menyatakan bahwa setiap hari selasa (kalo nggak salah), mereka menerima request komik yang ingin pembaca terbitkan. Aku pribadi sangat menghargai aktivitas ini, dan dengan segera mengusulkan seinen manga berjudul Uchuu Kyoudai (bagus banget, sumpah. coba baca scanlation-nya deh kapan2). Di wall fan page itu, kita yang ingin request harus menulis sesuai format yang telah mereka tentukan, yaitu judul disertai data komik lengkap termasuk sinopsis dan komentar kita terhadap komik tersebut. Setelah aku menuliskan dengan lengkap semua yang perlu ditulis sesuai format, dan setelah dengan agak setengah mati mengurangi dorongan untuk menulis sinopsis yang kelewat detail karena aku-nya kelewat semangat, aku iseng melihat-lihat komik2 lain yang di-request oleh orang2 lain. Dan menurutku, beberapa request sedikit mengejutkan.

Aku menemukan beberapa request judul manga yang tidak kubayangkan bakal bisa terbit secara resmi di Indonesia. Nggak perlu kutulis apa saja judulnya, yang jelas manga2 ini benar2 sarat dengan konten seksual (baik yang normal maupun yang kelainan, sampe yang ekstrim macam seks dengan mayat ato hantu, ato nge-seks terus pasangannya dimakan hidup2) dan kekerasan (bukan sekedar pedang2an ato jotos2an level One Piece, tapi yang ekstrim macam merobek manusia pake tangan kosong sampe kebelah dua, terus ususnya dimakan, dan potongan tubuh sisanya dihancurkan sampe jadi bubur organ tubuh), dan konten2 lain yang melibatkan penyimpangan2 sosial khas Jepang seperti ijime (bullying), hikikomori (semacam NEET), dll. Intinya, manga yang penuh disturbing image dan ideologi, yang kalo kita mau baca di situs2 mangascan, bakal ada peringatan "warning, categorized as 'mature', therefore may contain bla bla bla don't read if you under 18" tapi tetep bisa di-klik jadi ujung2nya siapa aja bisa baca -_-. 

Kenapa aku bisa tahu konten2 manga seperti itu? Karena aku memang membaca beberapa di antaranya. Beberapa yang tidak kubaca pun, akhirnya jadi kucari tahu karena penasaran. Dan ada, memang, satu atau dua manga yang--lepas dari isinya yang penuh manusia telanjang dan organ2 yang beterbangan--dari segi cerita memang bagus, diakui di Jepang, populer, sampai dibuat film. Aku sendiri juga lumayan suka. Tapi tetap, menurutku TIDAK SEMUA manga (atau apapun) bisa diterbitkan secara resmi dan terbuka, dijual untuk umum, bisa dibaca siapa saja--di Indonesia.

Mungkin kita semua sudah tahu, bahwa di sini orang masih menganggap "komik" itu konsumsi anak2. "Udah gede kok masih baca komik" kata mereka. Masalah ini sungguh klise, tapi nyatanya ini memang jadi masalah. Berkat (atau akibat?) Naruto dkk yang ceritanya meledak luar biasa di kalangan anak2, aku yakin banyak anak sudah mulai membaca komik sejak SD atau SMP. Beberapa dari mereka mungkin sudah bisa membacanya di internet, kalo nggak keberatan dengan teksnya yang berbahasa Inggris. Tapi sebagian besar pasti--karena uang jajan anak2 yang nggak seberapa--menjadikan rental komik (atau yang selalu disebut sebagai Taman Bacaan di Jogja--meskipun dibilang taman bacaan juga, yang disewain cuma komik doang -_-) sebagai destinasi mereka untuk bisa baca komik secara murah--gratis, malah, kalo baca di tempat.

Bagi kalian yang nggak tahu, Taman Bacaan (biasa disingkat TB) menyewakan segala jenis komik, nggak pandang bulu. Komik2 porno bajakan tanpa sensor--dan tanpa cerita--pun beredar tanpa basa-basi di situ. Beberapa penjaga TB mungkin masih peduli dan dengan sabar menasehati anak2 di bawah umur yang coba2 pinjam komik yang tidak sesuai dengan usia mereka. Tapi yang lain aku rasa nggak bakal peduli, yang penting ada yang pinjem komik, bayar, balikin, beres.

Nggak cuma anak2 yang patut dikhawatirkan, melainkan juga orang2 dewasa yang berpendidikan kurang sehingga wawasan dan pemikirannya belum terbuka (eh tunggu, kedua hal ini mungkin nggak selalu berbanding lurus ya, bisa jadi berpendidikan tinggi tapi pikiran sempit). Masih dalam konteks konsumen komik, pasti orangnya bermacam2 dan dari lingkungan yang berbeda2. Melepaskan manga2 ekstrim tadi ke khalayak umum--ke toko2 buku, ke rental2 komik--sama aja kayak jual bir di toko permen. Nggak layak, meskipun dengan embel2 tulisan "Dewasa" di covernya dan hasil sensoran kasar yang saking banyaknya editornya sampe monjrot.

Untungnya, sang penerbit dengan bijak menolak sebagian besar permintaan manga2 yang semacam itu. Gilanya, udah jelas ditolak mentah2--nggak jarang sang admin mengeluarkan kata2 yang ketus dan dingin sebagai penolakan yang tegas--tapi si peminta masih juga ngeyel maksa dan memohon2 agar komik itu diterbitkan, beberapa malah minta sampai berkali2 -_-. Belum lagi banyak dari mereka yang menulis request tidak sesuai format, atau yang melampirkan sinopsis sekenanya copy-paste dari situs mangascan, jadi masih pake bahasa Inggris -_-. Aku ngerti banget perasaannya si admin. Sabar ya, min.

Begitulah, aku suka banget manga, bahkan yang ekstrim psyco apapun itu, aku tetap menikmati semuanya, sekadar sebagai hiburan. Hanya saja, menurutku beberapa jauh lebih baik tetap menjadi konsumsi para pengguna internet. Nggak perlu lah diterbitin cetak legalnya. Kalo bener2 pengen versi cetaknya, online shopping aja terus terjemahin sendiri. Be wise of what you read, mates. Kalo sekiranya akan berpengaruh buruk terhadap dirimu, nggak usah dibaca.

Baca Tomo'o wae.

Tomo'o 16 (yang terakhir terbit di sini, status masih ongoing) by Oda Tobira.


Maaf ya kalo postingan ini geje. Aku cuma agak geregetan.



Sampai ketemu lagi =)       
    

Maret 28, 2013

Kucing Loncat


Ulin adalah seorang gadis kecil yang agak gila, kata orang-orang.

Ia sering berbicara sendiri, tiba-tiba bernyanyi, tiba-tiba marah. Orang-orang di sekitarnya tak pernah mengerti apa yang ia katakan. Pada awalnya, mereka masih memperlakukannya dengan baik, namun kelamaan mereka muak dan mulai mengacuhkannya. Toh tak ada bedanya bagi Ulin, karena dia selalu hidup dalam dunianya sendiri, kata mereka.

Belakangan Ulin sering memanggil-manggil orang di sekitarnya, menarik-narik tangan mereka, menjambaki rambut, menampar-nampar pipi. Karena telah sepakat untuk mengacuhkannya, semua orang diam saja diperlakukan begitu. Tapi ulah Ulin semakin menjadi-jadi. Ia berteriak meraung-raung sambil memukul-mukul siapapun yang bisa diraihnya. Semua orang menjadi habis sabar.

"Apa, sih?!" hardik salah satu dari mereka.

"Kucing loncat!" jawab Ulin keras, tangannya menunjuk-nunjuk liar entah ke mana, matanya yang besar membulat, napasnya putus-putus.

Semua orang mengernyitkan dahi, tapi tidak ada yang membalas ucapannya lagi. Mereka semua beranjak meninggalkan Ulin.

"Kucing loncat! Kucing loncat! Kucing loncat!" teriak Ulin berulang kali, entah frustasi, entah senang, entah apa, tak satupun dari mereka yang tahu, tak satupun dari mereka menanggapi.

"...kucing loncat..." ujar Ulin lirih, mengawasi semua orang pergi meninggalkannya. Air menggenang di sudut matanya. 

--------------------------------------------------------------- 

Beberapa hari setelah itu, Ulin nyaris tidak pernah terlihat. Ia hanya terlihat berlarian di suatu tempat selama beberapa saat, lalu menghilang. Memanjati pohon-pohon di taman, lalu hilang. Memainkan ayunan yang berderit-derit, lalu hilang. Semua orang merasa lega karena tak harus menghadapi kenakalan Ulin lagi. 

Tapi tidak demikian halnya dengan Nala, gadis 20 tahun yang baru pindah ke daerah itu. Ia mengkhawatirkan Ulin, yang mungkin sendirian dan entah berada di mana. Mungkin kesepian dan kelaparan. Mungkin merasa tidak diinginkan dan bisa jadi berpikiran untuk kabur.

Maka Nala pergi mencari Ulin. Ia mencari di rumah-rumah, taman, sungai, pepohonan, tanah lapang. Ia mencari ke segala tempat di daerah itu yang mungkin didatangi Ulin. Tapi ia tak juga menemukannya. Langit mulai gelap, membuat firasat Nala tidak enak. Ia merasa harus menemukan Nala malam ini, atau segalanya akan terlambat. 

Tiba-tiba tertangkap oleh matanya, sebuah pohon di atas bukit tak jauh dari sana, tempat yang belum ia lihat. Jalan naik ke bukit itu cukup terjal, maka tadi ia langsung mengeliminasinya dari daftar. Tapi kalau dipikir lagi sekarang, mungkin sekali Ulin berada di sana. Mungkin mudah saja bagi badan Ulin yang mungil untuk memanjati bebatuan itu.

Maka Nala pun pergi ke sana, mendaki setapak demi setapak. Bajunya robek-robek, tangannya luka, seluruh tubuhnya lecet, peluhnya bertetesan. Tapi akhirnya ia berhasil memanjat sampai ke atas, dimana pohon yang besar dan rindang telah menantinya. Dan bersandar di bawah pohon itu--Ulin.

Menghembuskan napas lega, Nala mendekati Ulin dan duduk di sampingnya. Tepat di bawah mereka, rumah-rumah mulai menyalakan lampu, dan matahari menghilang dari pandangan.

Lalu terlihatlah oleh Nala, siluet yang terbentuk oleh lampu-lampu di bawah mereka, berwarna-warni membentuk lengkungan yang indah.

"Kucing loncat." bisik Ulin.

Ya, siluet kerlap-kerlip lampu itu memang terlihat seperti bentuk kucing yang sedang melompat. Sekarang Nala sudah mengerti. 

"Iya, bagus, ya." ujar Nala, memandang Ulin, yang balas memandangnya dengan mata berbinar-binar.

Tiba-tiba Ulin melonjak berdiri. "Orang tidur!" katanya sambil menunjuk bukit-bukit di kejauhan, yang setelah diperhatikan bentuknya seperti orang sedang tidur telentang.

"Dinosaurus!" teriaknya sambil menunjuk bayangan reruntuhan sebuah gedung yang diterangi cahaya lampu jalan. Meskipun butuh waktu, Nala dapat melihat maksud Ulin yang melihat siluet bayangan itu seperti bentuk Tyrannosaurus.

"Payung! Bebek! Kuda! Tangan!" seru Ulin girang sambil menunjuki gugusan-gugusan bintang yang menggerombol di beberapa tempat di atas mereka.

"Kucing loncat!" teriak Ulin dengan nada mantap, kembali menunjuk kota di bawah mereka, mengakhiri perjalanan imajinasinya. Matanya membulat bersinar-sinar memandang Nala.

"Iya," jawab Nala, tersenyum. "Bagus, ya."

Lalu Ulin kembali duduk di samping Nala, kepalanya bersandar. Di dekat mereka, seekor kucing tiba-tiba muncul.

"Kucing loncat!" teriak Nala dan Ulin bebarengan.


-selesai-