Juni 25, 2013

Warna-warni Orang Tua Murid

Halo, semua.

Hari ini adikku, Irfan, terima rapor. Karena kedua orang tuaku sedang tidak di rumah, jadi terpaksa aku yang ambil. Irfan kelas 1 naik kelas 2, di salah satu SMA swasta di Jogja yang kalo pada hari terima rapor/pertemuan orang tua, jalanan di depannya selalu dipenuhi mobil. Eh, tapi sekarang jalanan di seluruh jogja dipenuhi mobil, ding. Naik mobil sekarang nggak spesial lagi, bro. Biasa aja kalik. 

Ini bukan kali pertama aku ngambilin rapor Irfan, jadi aku sudah tahu kurang lebih bagaimana prosedurnya. Yang berbeda di sekolah adikku ini adalah, selain wali kelas, ada satu guru yang bertanggung jawab terhadap satu kelompok siswa yang terdiri dari kurang lebih 10 orang, disebut SA (student advisor). Aku tidak tahu pasti apa tugas SA, tapi yang jelas seorang SA dituntut untuk dekat dengan anak2 kelompoknya. Ia bisa menjadi tempat bagi anak-anak yang ingin konsultasi soal apapun. Mungkin semacam guru BK, tapi ada banyak dan masing-masing mendedikasikan perhatiannya terutama pada anak-anak kelompoknya. Nah, dengan SA inilah kita sebagai orang tua/wali akan berhadapan ketika menerima rapor/parents meeting.

Aku kurang tahu bagaimana bentuk rapor di sekolah negeri saat ini, tapi di sekolah Irfan, bentuknya narasi. Jadi pada setiap kolom mata pelajaran, tertulis deskripsi tentang bagaimana sikap anak itu selama di kelas, kemajuan/kemundurannya, dan tentu saja juga tertera nilai akademisnya. Ngomong-ngomong, suatu hari ketika aku mengantar ibuku mengambil rapor, aku pernah mendengar obrolan beberapa ibu-ibu yang mengeluhkan bentuk rapor seperti itu, karena menurut mereka terlalu panjang dan bertele-tele, dan menyita waktu untuk membacanya. Aku langsung membatin nyinyir, setelah melirik singkat melihat mereka, "Oh please, buat nge-cat kuku tangan dan kaki, dan masang hijab-sanggul yang kayaknya butuh dibantuin 2 orang pembokatnya, aja ada waktu kok, buat ngebaca rapor anaknya aja sambat." Tapi yah, biarlah. Toh keluhan mereka tidak membuat format rapor sekolah itu lalu diganti menjadi format rapor tradisional, yang isinya angka doang, yang membuat orang begitu mudah menghakimi setelah membacanya.

Selain semua penjelasan yang telah tertera di rapor, ortu/wali juga berhadapan one-on-one dengan para SA anak mereka. Dan, aku bisa melihat dengan jelas pada setiap kesempatan, bahwa pada waktu-waktu ini adalah nightmare bagi para SA.

Pada kesempatan terima rapor, SA akan membeberkan SEGALA HAL, semuanya, yang mereka ketahui tentang sang anak selama ia berada di sekolah--yang jelas waktunya jauh lebih lama daripada di rumah. Karena sekolah adikku ini relatif baru, guru-gurunya pun masih muda-muda, jadi--berdasarkan kesaksian adikku--lebih asik dan nyambung kalo diajak ngobrol. Nah, terkadang, atau mungkin malah sering, ada benturan yang muncul antara ortu/wali dengan SA mengenai sang anak. Orang tua mengatakan bahwa anaknya demikan, sementara SA menyatakan bahwa anaknya tidak demikian. Tentu saja pendapat keduanya memiliki landasan yang berbeda, karena orang tua tidak melihat selama anak sekolah dan sebaliknya SA tidak melihat selama anak di rumah. Tidak jarang perbedaan ini lantas berujung pada perdebatan, yang mengakibatkan waktu penerimaan rapor menjadi lebih lama dari yang seharusnya, dan antrean ortu/wali murid mengular di luar kelas. Aku selalu sebisa mungkin menghindari antrean tersebut, karena--seperti bisa diduga--pembicaraan yang terjadi di dalamnya kadang memuakkan. Membangga-banggakan anak, menjelek-jelekkan anak, membanding-bandingkan anak, saling mengeluhkan banyak hal. Pernah satu ketika sementara ibuku di dalam kelas berdiskusi dengan SA, di luar kelas ramai sekali, bukan oleh antrean orang tua yang menunggu giliran, melainkan mereka yang sebenarnya sudah selesai ambil rapor, tapi masih bertahan di situ, nyerocos sampai berbusa-busa, ibu-ibu dengan ibu-ibu, bapak-bapak dengan bapak-bapak. Kepalaku langsung pusing, dan alih-alih berdiri di koridor yang sama dengan mereka, aku memilih berjalan mengelilingi sekolah. Sungguh aku tidak menyukai baik apa yang terjadi di dalam maupun di luar kelas ketika itu.

Mungkin--mungkin, ya--harga diri orang tua sedikit terusik dengan--entah kenyataan atau bukan--SA yang sepertinya lebih tahu tentang si anak daripada mereka. "Guweh orang tuanya. Tuh anak ndekem di perut guweh 9 bulan, lo siapa!? lo tau apa!?" semacam itu. Tapi sekali lagi perlu dimasukkan dalam pertimbangan bahwa 1. anak jauh lebih lama menghabiskan waktu di sekolah, 2. melihat jenis-jenis orang tua khas sekolah itu, yang entah bapaknya atau ibunya atau keduanya, sering pergi ke luar kota/negeri karena pekerjaan. Semakin jarang bertemu, semakin berkurang komunikasi, semakin jauh jarak, semakin kita menjadi orang asing satu sama lain. Nggak usah jauh-jauh, dan curcol sedikit, aku pun merasakan hal yang sama dalam keluargaku. Entah di titik sebelah mana pada garis waktu, adikku mulai jaaaauh lebih menikmati kegiatan di luar rumah yang tidak bersama dengan keluarga. Dan aku sangat maklum, karena keadaan menyebabkan jadi seperti itu. Aku yakin hal yang sama terjadi di banyak keluarga lain di sekolah itu.

Kemudian, tak jarang orang tua mengeluhkan hal tentang anak mereka, yang menurutku sebenarnya adalah hal di luar wewenang SA. Misalnya, suatu hari seorang bapak mengeluhkan anaknya yang sibuk sms-an terus di rumah. Lalu beberapa orang tua menimpali setuju, bahwa anaknya sibuk BBM-an, main iPad, main PSP, dan lain sebagainya. Aku masih ingat betul, waktu itu adalah hari parents meeting, tapi ayah-ibuku tidak bisa datang, jadi aku yang menggantikan. Dan aku masih ingat betul betapa herannya aku. Lha, yang ngasih anak-anak itu hape multimedia, pulsa berlimpah, BBM, iPad, PSP, dll itu siapa? Kan orang tuanya sendiri!? Kalo mau anak-anak itu nggak menggunakan fasilitas2 tersebut dan fokus belajar, ya dari awal jangan dikasih! Ini logika yang sederhana sekali, kan? Atau, memberi dengan diiringi pengertian, entah bagaimana aku sendiri belum kepikiran--akan kupikirkan untuk anakku kelak--sedemikian rupa agar anak tetap tahu prioritas. Sekali lagi, mungkin pemberian fasilitas terbaik dan termewah untuk anak adalah sebagai ganti waktu yang tidak dapat disediakan oleh orang tua, batinku, sebagai usaha terakhir untuk tidak terlibat dalam lomba mengeluh itu, dan hanya memperhatikan sang SA yang antara bingung, geli, kemringet, dan entah bagaimana akhirnya hanya menjawab singkat, "Begini saja, pak, bu, tolong bapak-ibu ajak lagi bicara anaknya di rumah, dan saya akan berusaha berbicara pada mereka juga." yang diamini para jamaah dengan manggut-manggut. See? it's all about communication. Kita tahu itu, hanya saja kita butuh orang lain yang mengatakannya.

Pada akhirnya, aku terpaksa menarik kesimpulan kasar bahwa beberapa orang tua itu banyak sekali mengeluh. Mungkin karena merasa memiliki, mereka mengeluh. Mungkin karena merasa berhak, mereka mengeluh. Atau mungkin juga memang dasar orangnya gemar mengeluh. Beberapa mengeluh untuk mencari solusi. Beberapa mengeluh DAN menyampaikan solusi yang terpikirkan, untuk melihat reaksi pihak ketiga, atau mungkin meminta saran. Ada yang dikasih solusi tapi tidak bisa menerima. Ada yang menyalahkan. Macam-macam sekali. Yang jelas, menurutku pada hari parents meeting dan terima rapor pasti sangat menguras mental para SA. Berapa orang tua yang harus mereka hadapi dalam satu hari? Tentu saja ada juga orang tua yang hubungan keluarganya adem ayem dan diskusi dengan SA berjalan lancar. Seandainya jadi SA, mungkin aku akan menyuguh snack dan teh manis untuk orang-orang seperti itu. 

Yah, bagaimanapun, aku belum menjadi orang tua seorang anak. Aku hanya bisa membayangkan, tapi belum bisa memahami bagaimana rasanya jadi orang tua. Tidak ada salahnya memikirkan ingin jadi orang tua yang seperti apa, kan?

Mungkin bisa mulai belajar, sambil membesarkan kucing, misalnya. Haha.



Sekian dan selamat malam. =)
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar