Julie sangat mahir bermain piano sejak kecil. Ia mempelajarinya dengan sangat cepat, dan memenangkan banyak penghargaan dari berbagai kompetisi musik. Ia diakui oleh semua orang. Namanya bahkan tersohor sampai ke seluruh penjuru dunia. Namun ia tidak lantas menjadi sombong. Hidupnya begitu sempurna, hingga ia menapaki usia 30 tahun.
Julie memendam sebuah rahasia. Ia sangat mencintai grand piano-nya, lebih dari apapun. Lebih dari uang, lebih dari sahabat, lebih dari keluarga, lebih dari laki-laki. Ia bahkan menamai pianonya Romi, agar serasi dengan namanya bagaikan dalam sastra roman karya William Shakespeare; Romeo and Juliet.
Ia pertama kali menyadari perasaan ini adalah ketika suatu hari di usia 15 tahun, seorang pianis selain dirinya memainkan piano kesayangannya di rumah. Ia merasakan gelegak kemarahan yang luar biasa, darahnya mendidih dan menderu cepat ke kepala, pelipisnya berdenyut menyakitkan, telinganya hanya dapat mendengar suara dering yang sangat nyaring. Namun akal sehat masih dapat menemukan celah untuk menyusup, maka dalam tiga tarikan napas panjang, ia berhasil mengendalikan diri.
Sayangnya, pengendalian diri ini tidak dapat berlangsung selamanya. Semakin hari, semakin banyak teman dan kerabat yang berkunjung, semakin banyak pula yang menyentuh piano kesayangannya. Lama kelamaan ia habis sabar. Pada awalnya ia hanya menegur. Lalu memperingatkan dengan lebih keras. Kemudian ia mulai membentak. Setelah itu ia tak lagi sungkan untuk memarahi. Tak lama kemudian, ia mulai melakukan kekerasan fisik. Puncaknya adalah ketika suatu hari serombongan kerabat datang. Salah seorang dari mereka membawa gadis kecil manis berkuncir kuda. Sebelum dapat diperingatkan, gadis kecil itu keburu membuka tutup piano dan memainkannya, tentu saja dengan ngawur. Urat saraf Julie langsung putus. Ia menjatuhkan nampan minuman yang sedang dibawanya hingga jatuh dan pecah berkeping-keping, dan--disaksikan oleh semua tamu yang datang hari itu--ia melintasi ruang tengah dalam tiga langkah besar, merenggut kasar gadis kecil itu dari kursi pianonya, dan melemparnya melintasi ruangan.
Seluruh penghuni ruangan terkesiap dan si gadis kecil malang mulai menangis keras, tapi Julie benar-benar sudah kehilangan dirinya. Di bawah tatapan terkejut semua orang, ia kembali melintasi ruangan, siap melancarkan serangan kedua. Sang ibu dari gadis kecil tadi pun tersadar dari rasa terkejutnya, dan buru-buru memeluk anak gadisnya hanya sepersekian detik lebih cepat daripada 12 senti hak sepatu Julie yang entah akan melakukan apa tadi apabila sang ibu terlambat sedikit saja.
Wajah Julie sepucat tembok. Ia membuka mulut, suaranya bergetar memancarkan kemarahan yang luar biasa, "Beraninya sampah kecilmu menyentuh Romi-ku. Minggir!"
Sang ibu balas melotot memandang Julie. "Kau. Gila."
Lalu, tanpa berkata apa-apa, sang ibu tadi langsung pergi sambil menggendong anaknya yang tak juga berhenti menangis. Seisi ruangan masih membisu, sepertinya bernapas pun mereka lupa.
Julie terdiam beberapa saat, lalu menghela napas, dan menoleh kepada para penonton sambil tersenyum, "Maaf, maaf. Sekalian kuperingatkan saja, ya, piano itu milikku. Kalian boleh main ke sini kapan saja, asal tidak menyentuhnya. Yah, kita punya satu-dua benda yang kita sayangi, jadi wajar, kan?"
Tapi rupanya waktu telah kembali berjalan. Satu persatu para hadirin meninggalkan ruangan. Ada yang pergi sambil ketakutan, ada yang menggeleng-geleng, ada yang melemparkan pandangan menghina, ada yang mengerutkan alis, macam-macam.
Julie mengawasi dalam diam ketika semua orang meninggalkannya. Ia sama sekali tidak merasa sedih atau menyesal. Malah, ia merasa sedikit senang. Mungkin, mereka tidak akan datang lagi. Mungkin, ia bisa menikmati sorenya berdua saja dengan Romi, sekarang dan seterusnya.
Dan memang itulah yang terjadi. Berita mengenai insiden pelemparan anak gadis itu sudah menyebar melalui mulut-mulut produser gosip. Sekarang seluruh kota mengetahui rahasianya. Bahkan mungkin seluruh dunia juga sudah tahu. Tapi Julie tak peduli. Asalkan Romi selalu ada di sampingnya, ia sanggup melalui apapun.
Rumah Julie yang bagai istana terletak di suatu tempat terpencil di atas gunung, tanpa satu pun tetangga. Jadi ketika tak ada orang yang datang, ia betul-betul sendirian. Pengantar susu dan koran pun--melihat tumpukan koran selama entah berapa hari yang dibiarkan di luar sampai menguning, dan botol-botol susu yang masih penuh hingga dihinggapi lalat dan berulat--akhirnya memutuskan untuk tak lagi datang. Julie hanya sesekali menelepon groceries dan makanan pesan-antar, karena ia tetap harus makan. Tentu saja ia memesan dua porsi; untuknya sendiri dan untuk Romi. Tapi selain itu, ia benar-benar sendirian di istananya, seiring dunia melupakan keberadaannya.
Bagi Julie, ini bagaikan surga. Hanya ia dan Romi. Berdua menghabiskan waktu. Pagi, siang, sore, malam. Ia makan bersama Romi. Ia tidur bersama Romi. Di antara dua kegiatan itu, ia hanya mengobrol bersama Romi. Romi pendengar yang sangat setia, ia tidak pernah mengeluh dan selalu ada untuk Julie. Romi adalah cinta sejati Julie, seperti dua keping puzzle yang menyatu, seperti warna merah dan jingga pada pelangi, seperti garis horizon tempat bertemunya langit dan laut.
Julie dan Romi hidup bahagia berdua, selama satu, tiga, lima, tujuh, hingga sepuluh tahun. Ketika Julie menapak usia 40 tahun, entah bagaimana, ia merasa sering melihat sesuatu.
Sejak beberapa hari terakhir, listrik dan air tak lagi mengalir di rumahnya. Tapi siapa peduli, Romi tidak butuh listrik, dan Julie tidak butuh apapun bila ada Romi. Ia juga tak butuh bergeser dari ruang tengah tempat Romi berada. Romi-nya yang putih mengilat karena ia mandikan setiap hari itu terlihat bersinar saat malam, cahaya yang ia berikan hanya untuk Julie. Saat itulah ia mulai melihat hal-hal yang tak pada tempatnya.
Pada awalnya, ia melihat sesosok laki-laki tampan berdiri di sudut ruang tamu. Sekilas, lalu hilang. Ah, cuma perasaan, pikirnya.
Namun, sejak hari itu ia semakin sering melihat sosok laki-laki itu, selalu berdiri di tempat yang sama. Ketika selama dua hari penuh sosoknya tak juga hilang dari sana, Julie mulai takut.
"Siapa kau!?" teriaknya gemetar pada sosok laki-laki itu. "Ada urusan apa kemari!?"
Laki-laki itu bergeming.
"Kutanya, siapa kau!?"
Laki-laki itu masih bergeming. Suasanya sunyi senyap.
Bulu kuduk Julie meremang. Ia meraih vas bunga kecil yang ada di dekatnya, lalu melemparkannya tepat ke tubuh laki-laki itu sambil menjerit, "PERGI!!"
Vas itu melayang, kemudian jatuh dan pecah, seakan tanpa mengenai apa-apa. Julie terkesiap. Warna tubuh laki-laki itu terlihat tipis, berpendar di tengah kegelapan. Matanya terpaku pada Julie, menatap kosong.
Sebuah ingatan menyeruak dalam kepalanya. Seorang laki-laki di masa lalu, muda dan tampan. Julie tahu laki-laki ini berusaha mendekatinya. Tanpa diminta, ia memamerkan keahliannya bermain piano di depan Julie, dengan menggunakan Romi. Julie masih bisa menahan amarahnya. Laki-laki itu kemudian menyatakan cinta dengan lagu yang ia mainkan. Julie menolak, namun laki-laki itu terus memaksanya. Tubuhnya dipepet ke tembok, napas laki-laki itu menderu di telinganya. Dalam usaha terakhir, Julie membenturkan kepalanya sekuat tenaga ke wajah laki-laki itu, berkali-kali, hingga darah mengucur dari hidungnya. Memanfaatkan kelengahan beberapa detik itu, Julie mendorong laki-laki itu sampai pintu depan, dan menghempaskannya ke teras, tanpa ampun, sebelum ia membanting pintu menutup dan menguncinya.
Napas Julie mendadak terengah-engah. Pandangan mata yang kosong itu seperti dua lubang hitam besar yang menariknya perlahan, menyedotnya ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Ia takut, ia ingin menangis. Kemudian terlihat olehnya sebuah kilatan. Romi!
Julie menghambur ke arah Romi dan mulai menekan tuts-tutsnya. Sekilas ia melihat ke sudut ruangan. Hei, laki-laki itu hilang! Begitu rupanya, kalau ia bermain piano, sosok itu pergi! Romi yang mengusirnya! Romi yang menyelamatkannya! Haha, rasakan kau!
Julie lanjut bermain piano, rasa senang memenuhi dadanya. Tak disangka ternyata Romi bisa cemburu juga, ada laki-laki lain datang satu saja, dia usir. Maaf, ya, Romi, bagiku hanya ada kau, kok, batinnya sambil mengusapkan pipinya di tuts piano yang mengilat.
Namun ketika ia berhenti bermain, tak saja laki-laki tadi kembali berdiri di tempatnya semula, Julie juga melihat sosok lain: seorang wanita tua gemuk yang duduk di sofa.
Ingatan lain kembali menyeruak masuk dengan kurang ajar. Seorang wanita tua dari masa lalu. Wanita itu seorang janda yang juga menyukai permainan piano Julie. Hampir setiap hari ia datang membawakan makanan untuk Julie. Wanita itu menganggap Julie seperti anaknya sendiri. Selama bertahun-tahun, ia tidak pernah menyentuh piano Julie, sehingga Julie pun tidak merasa terancam akan kehadiran wanita itu. Namun suatu hari, wanita tua itu datang tepat ketika Julie sedang mandi. Karena entah sejak kapan Julie sudah tak menganggapnya tamu, sudah menjadi kebiasaan bagi wanita itu untuk langsung masuk saja seperti di rumah sendiri. Ketika menyadari bahwa Julie sedang mandi, ia letakkan saja makanan yang ia bawa di atas piano, kemudian sambil menunggu, menekan pelan tuts-tuts piano itu. Dari kamar mandi, Julie dapat mendengarnya. Darahnya yang meluap serasa meledak di kepalanya. Masih dengan shampoo menempel di rambutnya dan tanpa berusaha mengenakan apa-apa, ia menghambur keluar dari kamar mandi ke ruang tengah. Wanita tua itu terkejut ketika melihatnya. Belum habis rasa terkejutnya, Julie melempar piring makanan yang ada di atas piano hingga piringnya menabrak tembok, pecah, dan isinya berserakan di bawahnya. Seakan belum cukup terkejut, Julie menarik wanita tua itu hingga jatuh terlentang di lantai.
"Keluar!" perintahnya dingin. Wajahnya merah padam karena murka. Wanita tua yang selama ini ia anggap ibunya sendiri, ternyata menunggunya sampai lengah, kemudian--sama seperti orang lain--berusaha mendekati Romi-nya. Kurang ajar. Tidak bisa dimaafkan.
Wanita yang merasakan patah hati luar biasa karena diperlakukan seperti itu oleh orang yang ia anggap anaknya sendiri itu tidak sanggup berdiri. Ia melihat Julie berdecak kesal dan tidak sabar, sedetik kemudian ia merasakan sebuah hentakan, ketika Julie mulai mendorong tubuhnya dari samping, dan menggelindingkannya sampai keluar pintu depan, sebelum Julie menutup dan menguncinya.
Sekarang wanita tua gemuk itu ada di sini, matanya menatap Julie kosong. Julie berusaha menenangkan diri. Tidak apa-apa, ada Romi. Ia kembali memainkan pianonya, dan seketika sosok laki-laki di sudut dan wanita tua gemuk di sofa kembali menghilang.
Ia tahu sekarang, bahwa agar mereka tidak kembali lagi, ia harus terus memainkan pianonya. Rupanya Romi posesif sekali, ia ingin Julie hanya melihat kepadanya. Senang karena merasa cintanya berbalas, Julie memainkan pianonya, tanpa henti. Pagi, siang, sore, malam, ia terus bermain piano. Tanpa makan, tanpa tidur, ia bermain piano. Jari-jarinya menari lincah menggerayangi seluruh permukaan tuts. Ia yakin Romi pasti menikmatinya. Ia memainkan semua lagu yang sudah dipelajarinya, ia bahkan menggubah lagu-lagu baru dengan spontan. Pokoknya ia harus terus bermain, terus, terus.
Tapi bagaimanapun sesekali ia harus berhenti karena kelelahan. Pada saat itu, selalu ada sosok baru yang muncul, diiringi pecahan demi pecahan ingatan dari masa lalu yang bagai listrik menyengat masuk ke kepalanya. Sosok-sosok itu berdiri di samping jendela, di dekat lampu hias, di bawah meja, di atas kursi, perlahan semakin banyak, hingga tak ada tempat kosong lagi di ruangan itu bagi mereka.
Julie ketakutan, tapi ia tahu, asalkan ia mencurahkan perhatiannya pada Romi seorang, semua sosok itu akan menghilang. Ia kembali bermain, bermain, bermain, bermain. Tubuhnya sangat kurus karena berhari-hari tidak makan. Kulitnya pucat dan kering, lingkaran hitam mengendap di bawah matanya yang menonjol karena berhari-hari tidak tidur. Seluruh bagian tubuhnya selain tangan dan kaki mati rasa. Tapi ia tak peduli, karena ia harus bermain.
Setelah bermain selama entah berapa hari, atau berapa minggu, atau berapa bulan, atau bahkan mungkin berapa tahun, beberapa tuts mulai ngadat, tak bisa berbunyi. Romi rupanya ikut sekarat merasakan keadaan Julie. Julie berhenti sebentar, dan tiba-tiba merasakan sebuah kehadiran tepat di sebelahnya. Ia menoleh, dan menemukan seorang gadis kecil kuncir kuda balas memandangnya kosong. Namun ada yang berbeda dari anak ini, dibandingkan sosok-sosok lain sebelumnya. Ada air mengalir dari kedua mata kosongnya. Gadis itu sedang menangis.
"PERGI KALIAN SEMUAAAA!!!" jerit Julie, dan dengan segenap kekuatan terakhirnya, kembali menekan tuts-tuts yang masih berfungsi. Ia harus bermain dengan cepat, dengan intensitas yang tinggi, tanpa berhenti sama sekali. Biarpun ia harus mati, ia ingin mati dengan Romi di sampingnya.
Bernafsu dan tanpa ampun, ia terus bermain seperti kesetanan. Selama ia bermain, hanya ada ia dan Romi di ruangan itu. Hanya berdua, seperti biasanya, seperti yang seharusnya. Kuku-kukunya mengelupas, terpental lepas dari jemari, berjatuhan ke lantai, menghasilkan suara seperti kacang tumpah. Darah mengalir keluar dari jari-jarinya, mengucur turun ke bawah, membasahi lantai, perlahan menggenangi seluruh ruangan. Entah sejak kapan, air mata bercucuran ke atas tuts-tuts yang ia mainkan, menetes turun ke bawah, membentuk lapisan baru di atas genangan darah.
Ia sudah tak bisa berpikir lagi. Ia tak bisa lagi merasakan jari-jarinya. Ia tak tahu lagi apa yang sedang terjadi. Ia sudah sampai pada batasnya. Begitu pula dengan Romi, yang nyaris semua tutsnya sudah tak dapat berbunyi lagi.
Tak kuat lagi, kepalanya terjatuh ke atas piano. Tangannya terkulai lunglai di samping tubuhnya. Seperti headphone yang tiba-tiba dilepas dari telinga, semua sosok di ruangan kembali muncul. Pendar tipis yang menguar dari tubuh mereka seakan berbisik. Ruangan penuh dengan suara bisikan. Entah mencaci-maki, entah membisikkan rasa simpati. Yang jelas, gadis kecil kuncir kuda yang duduk di sampingnya masih menangis. Berpasang-pasang mata yang ada di situ menatap kosong pada Julie, seperti lubang hitam. Julie merasakan sisa-sisa kesadarannya tersedot oleh kegelapan dalam lubang itu. Ia membiarkannya, ia sudah tak punya tenaga.
Tidak apa-apa, ia bersama Romi. Ia telah bersatu dengan Romi. Julie dan Romi tidak terpisahkan sampai mati, seperti biasanya, seperti yang seharusnya.
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar