Juni 30, 2011

When Your Mind's Made Up

Hello, there..
Akhirnya besok aku KKN! 
bener2 nggak kerasa, kukira aku masih bisa santai dan maen2 eh ternyata udah harus KKN..oh, FYI, aku KKN di Bima, NTB.
aku hafal reaksi orang2 setiap kali mendengar pernyataan tersebut:
1. Hah?? NTB?? ya oloh jauh bangeeeeeeet~~~
lalu aku harus menjelaskan bahwa aku ikut KKN tematik, dimana KKN tematik itu artinya kita bisa milih sendiri mau kemana, dan bahkan penjelasan ini mengundang pertanyaan lain
2. Kenapa NTB?? jauh bangeeeeeeeeet~~~
- - ya ini baru mau dijawab udah ditanyain lagi..lalu aku harus menjelaskan bahwa aku tadinya mau KKN reguler (artinya pasrah mau ditempatkan di mana) tapi kalopun ada tawaran tematik, aku maunya sekalian yang jauh. pernyataan itu pun masih mengundang pertanyaan lain
3. Naek apa kesananya?
naek bus.
4. Wow. berapa hari tuh?
tiga hari dua malem
5. Hah lama bangeeeeeeet~~~
= = iya, aku tau. ngapain kamu ngasih tau lagi (tentu saja aku gak bilang gitu). nggak apa2, kan rame2..lagian emang pada mau naek bus.

Aku tau pada awalnya beberapa orang bertanya hanya sekadar untuk basa-basi ketika kami berpapasan di suatu tempat atau tanpa sengaja berpartisipasi dalam satu kegiatan yang sama, tapi semua pertanyaan lanjutan yang mereka nyatakan selalu sama dengan 5 poin yang kutulis di atas, dan tak urung lama2 jadi bosan dan agak annoyed juga ="=  
Tapi aku nggak menyalahkan orang2 yang tanya kok, shoganai ne (apa boleh buat). Namanya juga sebuah interaksi sosial, kau seringkali menemukan pola yang sama dalam setiap pembicaraan. 

It's not over yet. Here's the final question (or maybe statement?):
6. Berapa orang timnya? Ati2 lho, NTAR CINLOK *muka dan nada ngegodain, nggak nyadar kalo sininya mulai sebel*

see? see?
bahkan pertanyaan (ato pernyataan) nomor 6 itu juga seringkali merupakan final question sebelum akhirnya kami berpisah jalan atau melanjutkan dengan topik yang laen, yaitu cinlok. 
aww c'mon..aku sampe bosen ngebahasnya. - -

akibat rentetan pertanyaan yang seragam antara orang satu dengan lainnya itu, aku jadi sedikit lebih berhati2 saat menanyakan hal yang sama, misalnya tiba2 aku ketemu dengan orang yang KKN di Papua (dan memang ada) mungkin aku nggak akan memburunya dengan pertanyaan2 klise yang berulang2 setiap hari. Daripada banyak bertanya, mungkin lebih bagus memberikan apresiasi. Misalnya begini:

aku: .....betewe, besok KKN di mana?
sample A: Hehe, Jauh nih (apabila dia lebih dulu mengatakan ini, ada indikasi dia mungkin dah sering dibilang "jauh bangyeeett~~" sama orang2 laen) di Papua
aku: wah, hebat ya..*terkagum2*
sample A: ah, nggak juga..*garuk2 belakang kepala*
aku: ya hebat dong! kamu kan KKN di tempat yang iklimnya dan budanyanya dan bahasanya dan semua2nya beda banget! Berani banget lah, sumpah
sample A: *malu2 senang* haha..ya gitu deh..

Nah, kalo gitu kan dia senang, kita senang, semua senang!
yah, nggak penting juga sih..haha..aku cuma bingung aja nih mau nulis apa..

Eniwei, besok aku berangkat KKN ke Bima naek bus. Perjalanan 3 hari 2 malam, nyeberang laut mungkin 3 kali (ato jangan2 4). Dan seperti orang yang mau menikah (kayak pernah nikah aja =P), second toughts-- keraguan yang berujung pada pemikiran akan adanya opsi lain--selalu muncul di saat2 terakhir sebelum keberangkatan. 
"repot banget nih, nyiapin barang2nya..coba dulu kkn reguler aja..=( "
"aaah malasnya nyiapin program..tau gitu milih tempat yang deket2 aja...=( "
and so on and so on.

Keraguan2 semacam itu sangat wajar untuk muncul..malah, in my case, selalu muncul di detik2 sebelum pelaksanaan hal2 besar. Misalnya, dulu aku mengisi psikologi sebagai pilihan pertama formulir ujian masuk UGM. Sastra Jepang--tempatku berguru saat ini--kutulis sebagai pilihan kedua.
Nah, ajaibnya, setelah sholat isya' di malam penentuan (jam 12 malamnya dah bisa tahu aku keterima di mana --ato gak keterima sama sekali), tiba2 aku jadi sangaaaaaat ingin keterima di sastra jepang. Aku malah jadi takut dan penuh dengan keraguan. duuh gimana kalo keterimanya di Psikologi (gaya banget - -). Lalu aku berdoa agar diberi yang terbaik. Meskipun aku setengah mati pengen masuk sastra jepang juga, kalo Tuhan berkehendak lain, aku percaya itulah yang terbaik untukku. 

Eh, pas jam 12 tepat aku sms, ternyata beneran masuk sastra jepang. 
Alhamdulillah puji Tuhan. Memang kekuatan yang luar biasa, yang tidak ada tandingannya.

Nggak cuma sekali itu, sebenarnya kalo aku lebih peka, banyak kejadian semacam itu, dimana ketika kita telah memutuskan sesuatu tanpa pikir panjang, di satu titik yang sangat krusial tiba2 kita menyesal dan ingin mengubahnya, berharap dengan sangat seandainya kita bisa memutar ulang waktu. Tapi itu tidak masuk akal dan sia-sia. Bagaimanapun, keputusan sudah diambil. When your mind's made up, there's no point try to change it. 
Saat keraguan2 itu datang, pikirkanlah, bahwa keputusan itu adalah keputusan kita sendiri. Tidak ada yang perlu disesali ato diragukan. Bulatkan niat. Pertebal tekad. Kuatkan hati. Perbanyak doa.
Sisanya adalah percaya. Kepada diri kita sendiri, kepada Tuhan. 

Insya Allah, dengan kuasa Tuhan, segalanya akan baik2 saja. Kalaupun bertemu dengan kesulitan, pasti ada jalan. Insya Allah. Allahuakbar.

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Dengan niat yang tulus, hamba dan teman2 menjalankan misi ini ya Allah. Dengan kuasa-Mu, kami memohon segala yang terbaik bagi kami; kelancaran selama perjalanan dan jalan keluar dalam menyelesaikan segala kesulitan. Kami mohon bimbingan-Mu, ya Allah, sekarang dan sampai kapanpun. Hanya pada-Mu kami berdoa dan hanya pada-Mu kami memohon pertolongan. 
Rabbana atina fiddunya khasanah, wa fil akhiroti khasanah waqina azabannar..
amin yaa rabbal 'aalamiin.


see you when i see you. =]

good night 'n sweet dream.  

Juni 11, 2011

Diary Cinta Empat Musim Chapter 4: Musim Gugur

Akhirnya kami berciuman.

Sepanjang musim panas aku berusaha keras menanamkan benih di hatinya. Benih yang sama dengan yang ia tanamkan di hatiku.

Jadilah saat itu, suatu hari di musim gugur, kami berciuman. Sepertinya cukup lama, karena untuk beberapa saat aku tak menyadari daun-daun kering yang berguguran, yang kadang mendarat di kepalaku.

Kami berjalan-jalan di taman. Langkah kami berkemeresek menginjak daun-daun kering. Pohon-pohon yang tadinya rimbun mulai rontok dan jalanan dipenuhi daun kering hingga tukang sapu taman pasti kewalahan. Hawa mulai terasa tak jelas, tapi cenderung dingin. Gadis itu masih sama luar biasanya seperti dulu, tak terlihat seperti baru saja melewati musim panas yang membakar.

Dan kini aku tahu bagaimana ia berbicara, bagaimana ia tertawa, apa saja yang disukainya, dan segalanya tentang dia yang ingin kuketahui.

Lebih dari semua itu, aku tahu siapa lelaki yang dicintainya.

Kini hatiku telah dipenuhi kebun bunga yang ditanamnya. Aku selalu berharap ia juga merasakan hal yang sama. Namun beberapa hari menjelang musim dingin wajahnya mulai terlihat sedih.

”Sebentar lagi.” katanya.

Aku terlalu takut untuk menyimpulkan maksud kata-kata itu. Aku menyesal karena sekarang, setelah kami begini dekat, meskipun banyak yang telah kuketahui tentangnya, ia masih menyimpan banyak misteri.

Betulkah ia bidadari?
Mungkinkah ia malaikat?
Sejujurnya aku mulai yakin bahwa ia wanita salju.



-to be continued-

Juni 09, 2011

Diary Cinta Empat Musim Chapter 3: Musim Panas

Jalanan masih sama indahnya seperti saat musim semi. Hanya saja suhu yang meninggi dengan cepat ini menandakan bahwa sekarang telah memasuki musim panas. Para pengangguran berinisiatif menjadi penjaja kipas di pinggir jalan, dan mereka selalu pulang cepat dengan dagangan habis terjual.

Namanya juga musim panas, tentu saja terasa panas. Orang-orang mulai memakai baju yang terbuka, tak terkecuali gadis itu. Ia memakai baju yang sedikit lebih terbuka dari biasanya, tak merasakan banyak pandangan-tanpa-kedip ke arahnya di setiap gerak-geriknya. Kulitnya yang putih mulus terlihat semakin terang diterpa sinar matahari. Rambut indahnya dikuncir, memperlihatkan leher dan tengkuknya yang—jujur saja—berkali-kali membuatku tergoda.

Sebetulnya aku tak setuju ia berpakaian terbuka begitu. Sepertinya ia bisa meleleh kapan saja.

Lepas dari itu, bunga-bunga di dalam hatiku semakin banyak, membentuk sebuah kebun bunga. Hal ini, ajaibnya, mendorongku agar memberanikan diri untuk mendekati gadis itu. Bila ia memang rapuh seperti kaca, berarti harus ada yang menjaganya agar tidak pecah. Harus ada yang senantiasa membersihkannya agar kaca itu tetap mengkilat dan tidak kotor.

Sungguh, aku ingin menjadi orang yang melakukannya. Aku ingin menjadi orang yang dapat menjaganya.

Aku mulai dekat dengannya, namun masih tak berani bertanya,
Ia adalah bidadari,
Ataukah malaikat.
Entah kenapa, aku ingin meyakinkan diri bahwa ia wanita salju.



Juni 06, 2011

Diary Cinta Empat Musim Chapter 2: Musim Semi

Tumpukan salju perlahan mencair. Jalan-jalan yang tadinya putih kembali pada warna aslinya. Pemanas di rumah-rumah mulai kehilangan pekerjaan dan orang-orang memilih untuk menanggalkan mantel dan syal mereka. Rupanya musim dingin yang menyenangkan telah berlalu.

Suhu yang cenderung naik ini menunjukkan bahwa sekarang memasuki musim semi, dimana tumbuhan di sepanjang jalan mulai berbunga dan seluruh kota tampak indah berwarna-warni.

Aku berhasil melewati musim dingin dengan sukses, mengingat sebetulnya sempat ada niat bunuh diri kemarin, saking putus asanya aku dengan hidup yang dipenuhi kekosongan ini. Keberhasilanku mengurungkan niat itu tak lepas dari kehadiran seorang gadis pada suatu malam di awal musim dingin. Dan bukan hanya itu, ia juga telah menanam sebuah benih dalam hati ini, semacam perasaan yang hangat, yang baru kukenal.

Gadis itu telah menanam semacam benih di hatiku. Aku merawat benih itu dengan baik, hingga—bersamaan dengan datangnya musim semi—berhasil mekar. Selanjutnya, aku perlu menyiraminya setiap hari dan merawatnya dengan kasih sayang. Mungkin benar kata orang, cinta adalah makhluk hidup yang harus dirawat dan dijaga baik-baik. Bila tidak, lama kelamaan ia akan menghilang.

Aku menghabiskan sepanjang hari di musim dingin hanya untuk memandanginya, namun tak berani mendekatinya. Ia terlalu bersih, bercahaya, terlihat tak pantas berada di tempat yang sangat kotor ini. Namun di sisi lain, aku juga merasa ia bagaikan kaca; rapuh, rentan, mudah pecah, bahkan bisa hancur berkeping-keping.

Ada banyak alasan mengapa aku tak bisa mendekatinya, meskipun aku ingin. Selain itu, aku juga belum tahu,
Apakah ia bidadari,
Atau malaikat.
Tapi aku tetap merasa ia wanita salju.




-to be continued-




ps: masih cerita bikinan jaman SMA...chapter 1: Musim Dingin bisa di lihat di post sebelumnya.
terima kasih sudah membaca. =]

Juni 02, 2011

Diary Cinta Empat Musim Chapter 1: Musim Dingin

~ Musim Dingin ~

Aku adalah seorang lelaki yang kesepian. Kesendirian adalah sahabatku dan kesunyian adalah kekasihku. Selain dua hal itu, tak ada lagi yang menemaniku. Di dunia ini, aku hanyalah seonggok bayangan yang tak berarti.

Malam ini tak terlalu dingin, tapi tubuhku gemetaran. Aku sedang berdiri sendirian, perapian hangat dalam ruangan pun tak dapat menghangatkanku, maka aku disini, menunggu turunnya salju pertama.

Orang bilang salju pertama adalah salju yang paling putih dan cantik. Ia belum tahu bahwa tempat yang sedang ditujunya adalah bumi yang kotor, ia belum tahu. Ia hanya turun dengan polosnya, tanpa mengetahui apapun. Kenapa sampai hari ini tak ada yang memberitahunya?

Sekelilingku betul-betul sepi. Malam semakin larut dan udara semakin dingin. Suara orang-orang disekelilingku perlahan menghilang, meninggalkanku, menyisakan desahan kering angin malam.

Gigiku mulai bergemeretak. Tangan dan bibirku nyaris mati rasa, tapi aku masih menunggu salju pertama. Seharusnya ia datang hari ini. Mungkin salju pertama juga kesepian sepertiku, karena ia harus datang ke tempat yang sama sekali tak dikenalnya sendirian, sementara teman-temannya menyusul bersama-sama. Itu tak adil, kan? Seharusnya mereka datang saja bersamaan.

Aku meniup tanganku yang nyaris beku, berharap itu dapat menghangatkannya barang sedikit, lalu aku mendongak ke arah langit malam, dan—akhirnya—aku menemukan sesosok siluet putih kecil yang jatuh perlahan, dengan suatu gerakan indah di setiap udara yang ditembusnya saat ia jatuh.

Aku terus memandang gerakan turun salju itu, terus, hingga akhirnya ia mendarat dramatis di atas tanah, dan tiba-tiba—detik berikutnya—di hadapanku ada seorang gadis.

Aku tertegun. Kurasa aku hanya berkedip sekali tadi, sesaat setelah salju itu menyentuh tanah, dan tiba-tiba di tempat salju tadi ada seorang gadis?! Sekarang salju kedua, ketiga, dan seterusnya sudah berjatuhan. Kemana hilangnya salju pertama tadi?! Tapi aku tak peduli pada hal itu lagi. Mungkin salju itu tertiup angin dan mendarat di tempat lain, atau mungkin ia tiba-tiba mencair, atau hilang begitu saja, aku tak peduli lagi. Sekarang, setelah aku benar-benar memandang gadis itu, ia telah sepenuhnya menyita perhatianku.

Gadis itu memiliki sepasang mata hijau jernih yang luar biasa. Rambutnya hitam berkilau, panjang bergelombang, berdesir indah tertiup angin.. Tubuhnya semampai dibalut gaun putih panjang. Kulitnya sangat putih, terlalu putih, malah. Dan lebih dari semua itu, ia memancarkan aura yang begitu hangat dan bercahaya, bahkan aura itu serasa merasuki tubuhku, melumerkan organ-organ dalamku, keluar melewati kakiku, dan mencairkan salju disekitarku.

Ia bukan manusia.

Aku masih terpana menatapnya, tak sadarkan diri. Tiba-tiba bibirnya melengkung membentuk seulas senyum yang sangat manis.
“Selamat malam.”
Dua kata yang diucapkannya bagai nyanyian merdu di telingaku. Dan, ajaibnya, aku tak kedinginan lagi.

Mungkin ia bidadari.
Bisa juga malaikat.
Tapi kurasa ia wanita salju.

-to be continued-


ps: ini adalah cerpen yang kutulis waktu kelas 1 SMA..pas lagi liat2 isi dokumen, tiba2 nemu!! haha~ jaman labil..