Desember 30, 2010

Suatu Saat Nanti, Pasti.

Hello there,,

Sudah jutaan taun aku nggak menulis blog.

Mengingat koneksi internetku yang kelewat lambat, aku memang menghindari segala bentuk hubungan dengan dunia maya, termasuk facebook dan bahkan membaca manga scan yang sangat aku sukai.

Tapi kali ini aku sangat sangat sangat ingin menulis. Ada satu hal yang begitu mengusik pikiranku, sampai aku rela mengorbankan waktu dan kesabaran menghadapi koneksi internet yang jalannya bagaikan keong-hamil-sembilan-bulan-anak-kembar-lima ini.

I’ts all about The one and only 2010 AFF Cup.

Memang sudah jutaan kali dibahas dimana-mana—di TV, koran, majalah—bahkan kau mungkin sudah bosan mendengarnya menjadi pembahasan di lingkungan sekitarmu, tapi aku nggak peduli.

Aku sudah membaca sebagian bahasan dari koran dan televisi, tapi aku tetap ingin menuliskannya, pendapatku sendiri tentang segala hingar-bingar AFF yang semalam telah berakhir.

Aku menonton pertandingan final tadi malam tanpa absen sedetikpun. Aku melihat Indonesia mengalahkan Malaysia dengan skor 2-1, tapi tetap kalah agregate 4-2.
Aku sudah nggak peduli dengan skornya.
Ada satu hal yang aku yakini setelah menonton pertandingan itu: Tim Indonesia bermain dengan SANGAT BAGUS.

Sungguh. Serius.
Terlepas dari tendangan penalti sang kapten Firman Utina, yang lemah dan berhasil ditangkap sama kiper Malaysia, dan kesalahan pemain belakang yang membiarkan si Safee Sial (anggap aja salah tulis) itu menambah gol satu lagi buat negeri tetangga kita itu, tim garuda bermain dengan luar biasa.
Di luar ekspektasiku, setidaknya.

Pembangunan serangan yang mereka lakukan, passing2 pendek dengan sentuhan one-two dan diakhiri dengan crossing yang indah.
Banyak sekali kesempatan yang mereka ciptakan. Aku nggak ngitung sih, tapi kira2 ada lebih dari 10 deh. Seandainya, seandainya, paling nggak separuh dari kesempatan itu berhasil mereka selesaikan, pasti Indonesialah yang memegang piala itu.

Aku sangat suka menonton sepak bola.
Aku merasakan badai emosi yang sedemikian rupa setiap kali melihat bola itu bergulir di lapangan, dari satu kaki ke kaki yang lain, menciptakan sebuah irama dalam permainan sepak bola yang indah.

Itulah yang kurasakan semalam. Aku begitu terkesan. Aku terharu sampai hampir menangis ketika menyaksikan perjuangan mereka, dari awal hingga akhir tiada henti berusaha menggempur pertahanan lawan.

Oke, mungkin aku terlihat agak lebay.
Apa boleh buat, jujur saja, selama ini aku tidak begitu memperhatikan perkembangan sepak bola dalam negeri. Tidak untuk PSSI, apalagi yang klub2 daerah. Ditambah lagi banyaknya berita buruk tentang dunia persepakbolaan kita, mulai dari penonton lokal yang mau nonton bola pada bawa clurit sama kerikil, sampai skandal koruptor Nurdin Halid sang ketua PSSI, yang dengan tidak tahu malu sampai hari ini menolak untuk mundur.

Aku baru benar2 mengikuti sepak bola kita tahun ini, dalam perhelatan AFF Cup ini.
Dan jangan salah—aku TIDAK tiba2 tertarik dengan timnas karena ada si ganteng Irfan Bachdim yang sensasional itu. Jangan salah paham.

Sekarang, setelah aku melihat dengan mata kepala sendiri potensi para pemain yang kita miliki, aku sangat sangat sangat menyesali keadaan kepengurusan PSSI yang kurang tanggap terhadap perkembangan ini.

Seperti artikel yang ditulis oleh Anton Sanjoyo dalam kolom olahraga KOMPAS hari ini:
”PSSI tak perlu malu untuk mengakui bahwa selama ini abai terhadap youth development. Ratusan miliar tiap tahun berputar dalam persepakbolaan nasional, tetapi nyaris tak ada yang menetes ke pembinaan usia dini. PSSI terlalu asyik masyuk mengurusi kompetisi paling top: Liga Super indonesia, yang memang seksi, bergelimang uang, berlimpah sponsor, bermewah dengan liputan media.”

Like this.
Uang, sponsor, dan media mungkin memang telah membutakan kita, sampai2 menjelang pertandingan final yang penting, para pemain timnas sempat diajak berpolitik dengan makan siang bersama Abu Rizal Bakrie dan para petinggi golkar, lalu makan malam bersama menteri ini dan itu, lalu istighosah bersama Nurdin Halid dan para kyai. Riedl sang pelatih tidak setuju karena menurutnya pemain perlu waktu lebih untuk mempersiapkan diri, tapi orang2 politik itu mana mau dengar. Kuasa Riedl tidak cukup untuk menghentikan ambisi bodoh mereka ikut2an nyumbang nama sebagai orang-yang-mempengaruhi-keberhasilan-timnas.

Hasilnya? Kita dibabat 3-0.
Mampus.
Penonton kecewa.
Pemain tegang.
Pasar taruhan rugi.
Riedl ngamuk. (nggak ding)

Makan tuh tanah pemberian Bakrie dan istighosah Nurdin.

Sumpah aku sebel banget kemarin pas kita kalah. Bukan sebel sama pemainnya, bukan juga sama suporter Malaysia yang nyorot2in laser dan nyumet petasan di tengah pertandingan.
Laser dan petasan tidak akan mengganggu seandainya pemain kita cukup persiapan hingga bisa konsentrasi penuh dalam pertandingan. Menurutku, laser dan petasan suporter Malaysia cuma jadi kambing hitam atas alasan yang sebenarnya: kurangnya persiapan pemain karena kebanyakan acara-nggak-penting-tapi-melelahkan.

Sebenarnya petasan itu malah bisa jadi inspirasi bagi suporter Indonesia. Bisa aja kita nyumet petasan ditengah2 pertandingan, bukan buat pemain Malaysia, tapi lempar aja ke kursi para pengurus PSSI. Haha.

Anyway, semuanya sudah berakhir sekarang. Perjalanan timnas kita masih panjang. Setelah ini masih ada ajang2 lain yang menanti. Aku percaya dan berharap, kalau permainan kita seindah tadi malam, dengan jam terbang yang semakin banyak dan tak pernah berhenti belajar dari setiap pertandingan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti, entah kapan, timnas kita bisa ikut World Cup. (amiiin)

Maafkan aku karena selama ini meremehkan kalian dan terlalu sibuk memuja Barcelona. Mulai sekarang aku akan mulai memperhatikan perkembangan kalian dan terus mendoakan keberhasilan kalian.

Karena itu jangan menyerah. Boleh saja koruptor semakin merajalela, para penjilat semakin menjilat-jilat, dan media massa semakin ngawur. Tugas kalianlah untuk senantiasa menjaga kesucian dan keindahan sepak bola—tugas yang sama berlaku bagi para suporter. Tidak perlu ada pertengkaran, pertaruhan, atau segala bentuk kegiatan apapun yang bisa menodai dunia persepakbolaan kita yang tengah berkembang menuju arah yang bagus.
Aku berdoa. Aku memohon kepada kita semua.


Suatu saat nanti, aku akan mendengar lagu Indonesia Raya berkumandang di kancah dunia.
Suatu saat nanti, aku akan melihat seragam merah putih dengan lambang garuda itu kalian kenakan di tanah rantauan.
Suatu saat nanti, aku akan menjagokan kalian—Indonesia—dan bukannya Spanyol atau Belanda atau Jerman atau Argentina.
Suatu saat nanti, pasti.



Happy New Year.