Maret 28, 2013

Kucing Loncat


Ulin adalah seorang gadis kecil yang agak gila, kata orang-orang.

Ia sering berbicara sendiri, tiba-tiba bernyanyi, tiba-tiba marah. Orang-orang di sekitarnya tak pernah mengerti apa yang ia katakan. Pada awalnya, mereka masih memperlakukannya dengan baik, namun kelamaan mereka muak dan mulai mengacuhkannya. Toh tak ada bedanya bagi Ulin, karena dia selalu hidup dalam dunianya sendiri, kata mereka.

Belakangan Ulin sering memanggil-manggil orang di sekitarnya, menarik-narik tangan mereka, menjambaki rambut, menampar-nampar pipi. Karena telah sepakat untuk mengacuhkannya, semua orang diam saja diperlakukan begitu. Tapi ulah Ulin semakin menjadi-jadi. Ia berteriak meraung-raung sambil memukul-mukul siapapun yang bisa diraihnya. Semua orang menjadi habis sabar.

"Apa, sih?!" hardik salah satu dari mereka.

"Kucing loncat!" jawab Ulin keras, tangannya menunjuk-nunjuk liar entah ke mana, matanya yang besar membulat, napasnya putus-putus.

Semua orang mengernyitkan dahi, tapi tidak ada yang membalas ucapannya lagi. Mereka semua beranjak meninggalkan Ulin.

"Kucing loncat! Kucing loncat! Kucing loncat!" teriak Ulin berulang kali, entah frustasi, entah senang, entah apa, tak satupun dari mereka yang tahu, tak satupun dari mereka menanggapi.

"...kucing loncat..." ujar Ulin lirih, mengawasi semua orang pergi meninggalkannya. Air menggenang di sudut matanya. 

--------------------------------------------------------------- 

Beberapa hari setelah itu, Ulin nyaris tidak pernah terlihat. Ia hanya terlihat berlarian di suatu tempat selama beberapa saat, lalu menghilang. Memanjati pohon-pohon di taman, lalu hilang. Memainkan ayunan yang berderit-derit, lalu hilang. Semua orang merasa lega karena tak harus menghadapi kenakalan Ulin lagi. 

Tapi tidak demikian halnya dengan Nala, gadis 20 tahun yang baru pindah ke daerah itu. Ia mengkhawatirkan Ulin, yang mungkin sendirian dan entah berada di mana. Mungkin kesepian dan kelaparan. Mungkin merasa tidak diinginkan dan bisa jadi berpikiran untuk kabur.

Maka Nala pergi mencari Ulin. Ia mencari di rumah-rumah, taman, sungai, pepohonan, tanah lapang. Ia mencari ke segala tempat di daerah itu yang mungkin didatangi Ulin. Tapi ia tak juga menemukannya. Langit mulai gelap, membuat firasat Nala tidak enak. Ia merasa harus menemukan Nala malam ini, atau segalanya akan terlambat. 

Tiba-tiba tertangkap oleh matanya, sebuah pohon di atas bukit tak jauh dari sana, tempat yang belum ia lihat. Jalan naik ke bukit itu cukup terjal, maka tadi ia langsung mengeliminasinya dari daftar. Tapi kalau dipikir lagi sekarang, mungkin sekali Ulin berada di sana. Mungkin mudah saja bagi badan Ulin yang mungil untuk memanjati bebatuan itu.

Maka Nala pun pergi ke sana, mendaki setapak demi setapak. Bajunya robek-robek, tangannya luka, seluruh tubuhnya lecet, peluhnya bertetesan. Tapi akhirnya ia berhasil memanjat sampai ke atas, dimana pohon yang besar dan rindang telah menantinya. Dan bersandar di bawah pohon itu--Ulin.

Menghembuskan napas lega, Nala mendekati Ulin dan duduk di sampingnya. Tepat di bawah mereka, rumah-rumah mulai menyalakan lampu, dan matahari menghilang dari pandangan.

Lalu terlihatlah oleh Nala, siluet yang terbentuk oleh lampu-lampu di bawah mereka, berwarna-warni membentuk lengkungan yang indah.

"Kucing loncat." bisik Ulin.

Ya, siluet kerlap-kerlip lampu itu memang terlihat seperti bentuk kucing yang sedang melompat. Sekarang Nala sudah mengerti. 

"Iya, bagus, ya." ujar Nala, memandang Ulin, yang balas memandangnya dengan mata berbinar-binar.

Tiba-tiba Ulin melonjak berdiri. "Orang tidur!" katanya sambil menunjuk bukit-bukit di kejauhan, yang setelah diperhatikan bentuknya seperti orang sedang tidur telentang.

"Dinosaurus!" teriaknya sambil menunjuk bayangan reruntuhan sebuah gedung yang diterangi cahaya lampu jalan. Meskipun butuh waktu, Nala dapat melihat maksud Ulin yang melihat siluet bayangan itu seperti bentuk Tyrannosaurus.

"Payung! Bebek! Kuda! Tangan!" seru Ulin girang sambil menunjuki gugusan-gugusan bintang yang menggerombol di beberapa tempat di atas mereka.

"Kucing loncat!" teriak Ulin dengan nada mantap, kembali menunjuk kota di bawah mereka, mengakhiri perjalanan imajinasinya. Matanya membulat bersinar-sinar memandang Nala.

"Iya," jawab Nala, tersenyum. "Bagus, ya."

Lalu Ulin kembali duduk di samping Nala, kepalanya bersandar. Di dekat mereka, seekor kucing tiba-tiba muncul.

"Kucing loncat!" teriak Nala dan Ulin bebarengan.


-selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar