Agustus 15, 2012

Yang Mana?

Di suatu Kerajaan di belahan bumi bagian selatan, hidup seorang pemuda bernama Karim. Ia tampan dan rupawan. Baik dan budiman. Gadis-gadis mengidolakannya dan ibu-ibu menginginkannya menjadi menantu mereka. Puja-puji dari semua orang diterimanya setiap hari, namun ia tak lantas menjadi tinggi hati. Ia tetap seorang Karim, yang tampan, budiman, dan rendah hati.


Karim sangat senang mengunjungi sebuah museum lukisan di tengah kota. Ia datang ketika sedang senggang, sedih, senang, dalam keadaan dan perasaan apapun. Ia datang setiap hari, setiap waktu. Tujuannya tak lain dan tak bukan hanya untuk melihat sebuah lukisan. Lukisan seorang pemuda yang memancarkan aura begitu terang hingga Karim merasa silau tiap kali melihatnya. Tak bosan-bosan ia pandangi lukisan itu setiap hari, mengaguminya seakan-akan itu adalah sebuah mahakarya bernilai jutaan keping emas.



Suatu hari, Karim menyadari bahwa ia sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa yang sederhana dan lemah lembut. Ia sering melihat gadis itu berjualan kentang di pasar. Tak jarang mata mereka saling berselisih pandang, namun Karim tidak berani mendekat bahkan sekedar menyapa gadis itu. Maka ia berusaha untuk cukup puas hanya dengan mencuri-curi pandangannya setiap pagi.



"Sudahlah, sapa saja dia." saran seorang penjual rempah-rempah yang menangkap basah Karim ketika diam-diam memandangi si gadis. "Kau ini kan Karim. Tak ada yang perlu kau takutkan."



Mendengar itu, Karim pun tersadar, bahwa ia adalah lelaki yang dipuja-puja. Tak ada alasan baginya untuk takut menghadapi seorang perempuan. Mendapatkan sebuah kepercayaan diri baru, ia pun berjalan mendekati si gadis.



"Selamat pagi," sapanya, sedikit gugup.



Si gadis membalas tatapan matanya, dengan seulas senyum simpul dan anggukan samar. Itu saja sudah membuat hati Karim berdebar girang tak terkira, ia takut debarannya dapat membangunkan seorang kakek penjaja peralatan dapur bekas yang tertidur lelap di sebelah tumpukan kentang jualan gadis itu. 



"Maaf, apakah Tuan hendak membeli kentang?" tanya gadis itu setelah beberapa saat.



Karim terkejut, lalu membeli beberapa buah. Ia pun berlalu sambil tersipu malu. Sudah ditanya begitu, tak mungkin ia tidak membelinya. Tak apalah, toh ia jadi mendapatkan beberapa buah kentang dan sebuah senyum manis dari si gadis. Terlebih lagi, ia mendapatkan keberanian untuk menyapa gadis itu setiap pagi, sejak kala itu dan seterusnya hingga menjadi sebuah kebiasaan.



Perkembangan ini sangat menggembirakan hingga ia tak sabar untuk menceritakannya pada lukisan kesayangannya. Ya, ia sering bercerita kepada lukisan kesukaannya itu tentang hari-hari yang ia alami bak menulis di sebuah buku harian. Entah bagaimana, Karim merasa lukisan itu sangat mengerti dirinya. Ketika ia menceritakan keberaniannya menyapa si gadis pujaan pun, makin terang saja cahaya yang dipancarkan pemuda dalam lukisan itu. 



Karim jadi sangat sering makan kentang. Karena setiap pagi ia ke pasar untuk bertegur sapa dengan si gadis, ia merasa harus membeli kentang. Sebenarnya ia mulai merasa bosan, tapi apa boleh buat. Tak apa lah ia mabuk kentang, asalkan bisa terus melihat senyum gadis yang dicintainya.



"Kenapa tidak kau katakan saja perasaanmu yang sebenarnya?" tanya seorang penjual sayuran yang entah bagaimana sepertinya bisa membaca pikiran Karim. "Kau ini kan Karim. Tak ada yang perlu kau takutkan."



Betapa benarnya perkataan orang ini, pikir Karim, kenapa pula aku masih harus takut.



Maka dengan segenap kepercayaan diri, ia pun menyatakan perasaan cintanya kepada sang gadis di depan khalayak ramai yang sedang melakukan transaksi jual beli di sana-sini.



"Maaf, Nona. Sesungguhnya aku sangat mencintaimu." katanya lantang, matanya memandang lurus mata si gadis. "Dan aku sudah bosan makan kentang, jadi tolong terimalah pernyataan cintaku ini."



Si gadis terkejut bukan kepalang. Kakek penjaja peralatan dapur bekas yang tidak laku terbangun dan menyimak. Orang-orang berhenti berbelanja dan memperhatikan. Suasana senyap ketika semua orang, terutama Karim, menunggu.



"Maaf." kata si gadis, menyesal.



Seketika muka Karim merah padam karena malu. Ia dapat mendengar suara beberapa lelaki tertawa terbahak-bahak di belakang punggungnya, diiringi kikik pelan tertahan ibu-ibu dan desis gunjing para pedagang di sekitarnya. Ia pergi tanpa mengucap sepatah kata pun, meninggalkan orkestra tawa di belakangnya dengan hati pilu penuh dendam dan amarah. Tanpa pikir panjang ia berlalu ke museum untuk mencurahkan kekesalannya pada sang lukisan.



Seperti biasanya, pemuda dalam lukisan seakan mengerti apa yang ia rasakan. Cahayanya meredup, nyaris hilang. Karim bahkan berani bersumpah ia dapat melihat air mata mengalir di pipi penghuni lukisan itu. Memang hanya sang lukisan tempat ia bisa percaya, yang tak akan mengkhianatinya sampai kapanpun. Ia pun semakin tenggelam dan tenggelam dalam kesedihan.



Sementara itu, di kota, telah datang seorang pengembara Bijak. Bukan, bukan seorang pengembara yang bijak, melainkan seorang pengembara yang bernama Bijak. Entah apakah sifatnya sebijak namanya, tak ada yang tahu.



Sang pengembara Bijak hanya seorang paruh baya yang sedang mengembara tanpa tujuan. Ia berpindah dari satu kota ke kota lain, dari satu kerajaan ke kerajaan lain, untuk sekedar singgah dan mencari makan. Syukur-syukur kalau ada wanita yang bisa dilamar, tapi ia terbiasa untuk tak terlalu berharap.



Ketika pengembara Bijak sedang berjalan-jalan di pasar, ia tak sengaja mendengar bisik-bisik para pengunjung. Rupanya, tak lama sebelum ia datang, terjadi sebuah peristiwa menarik. Konon katanya ada seorang pemuda yang menyatakan cinta pada gadis penjual kentang di depan banyak orang, tapi sayangnya si gadis menolak cintanya. Bijak tak kuasa menahan tawa. Pria bodoh macam apa yang melakukan itu? pikirnya.



Setelah puas berjalan-jalan di pasar, Bijak beristirahat di sebuah bangunan megah di tengah kota. Tempat yang sangat besar dan mewah, dengan pilar-pilar menyangga atapnya yang kedung dan sekitar puluhan undakan tangga yang berhenti di depan sebuah pintu yang untuk meraih kenopnya saja, sang pengembara harus berjinjit.



Di tengah kesibukannya mengagumi bangunan itu, ia mendengar suara isak tangis. Merasa berhalusinasi, ia memastikan pendengarannya. Benar saja, ada seseorang menangis di dalam bangunan tersebut. Penasaran, ia pun masuk, dan setelah berjalan beberapa langkah, menemukan seorang pemuda yang terduduk sambil menunduk, air mata bercucuran jatuh di atas karpet.



"Kenapa kau, nak?" tanya Bijak. "Seorang pria tidak boleh menangis. Sini, angkat wajahmu."



Pemuda itu mengangkat wajahnya, dan Bijak pun terkesiap.



Pemuda itu, istilah kasarnya, buruk rupa. Matanya juling, hidungnya besar dengan kedua lubang hidung menganga ke depan seperti hidung babi, dan kedua ujung mulutnya seakan menyangga beban berat hingga tertarik turun ke bawah. Semuanya terlihat semakin parah karena ia menangis.



Sang pengembara Bijak membisu sambil menahan napas selama beberapa saat, sebelum akhirnya dapat berkata-kata lagi. "Ehm, apabila tak keberatan, sudikah engkau menceritakan alasanmu berurai air mata seperti ini?"



Tanpa-ragu-ragu, pemuda itu langsung menceritakan apa yang terjadi. Rupanya ia adalah lelaki yang digosipkan, yang ditolak cintanya oleh gadis penjual kentang.

Pantas saja, pikir Bijak, mengawasi dengan khawatir kedua ujung mulut pemuda itu yang semakin lama semakin turun saja.


"Siapa namamu, Nak?" tanya Bijak setelah pemuda itu selesai bercerita.



"Karim." jawab Karim. Ia sedikit tersentuh dengan lelaki misterius yang tiba-tiba mau tahu urusan orang lain ini. Entah kenapa, ia merasa aman untuk menceritakan masalahnya pada lelaki itu. "Dan siapakah Anda?"



"Aku seorang pengembara. Namaku Bijak" jawab lelaki itu tersenyum.



"Pengembara Bijak." sahut Karim geli, lalu mereka berjabat tangan.



"Jangan menangis, Nak. Apa yang kau lakukan itu membutuhkan keberanian."



"Aku pun tadinya tak berani, tapi seorang penjual rempah-rempah dan seorang penjual sayuran mengatakan padaku bahwa tak ada hal yang perlu kutakutkan."



"Dan kenapa pula bisa begitu?"



"Karena aku adalah Karim. Mereka semua selalu memuji-muji ketampananku."



Karim dapat melihat Bijak terang-terangan terkejut mendengar perkataannya. "Mereka memuji ketampananmu?" ulang sang pengembara.



"Ya." angguk Karim, hidungnya yang seperti hidung babi kembang-kempis.



Ada kilatan mencurigakan dalam mata sang pengembara yang tidak dimengerti Karim. "Kau tahu," ujar Bijak, "empat dari lima perkataan manusia adalah kebohongan."



Karim memiringkan kepalanya, tak mengerti.



"Empat dari lima perkataan manusia adalah kebohongan." ulang Bijak. "Kau telah lama dibohongi."



Karim tersentak, keras dan menyakitkan, seperti terkena cambuk. Mungkinkah itu? Mungkinkah semua orang di sekitarnya telah menipunya? Selama bertahun-tahun seumur hidupnya sampai saat ini? Kalaupun iya, untuk apa? Mempermainkannya?



Merasa semakin sengsara, Karim membelai pigura lukisan kesayangannya, yang terlihat sama menderitanya. "Untung ada lukisan ini, yang selalu menemaniku tanpa pernah berkhianat."



Pengembara Bijak mendesah iba sambil menggeleng, "Karim, Karim...lihat dirimu, bahkan menipu dirimu sendiri."



Kali ini Karim benar-benar tidak mengerti, "Maksud Anda?"



"Nak, itu bukan lukisan." sahut Bijak, "itu cermin."



Merasakan sentakan yang lebih keras dari sebelumnya, seketika Karim memandang lukisan itu, yang balas memandangnya kaget. "Bukan!" seru Karim, seluruh sarafnya menegang penuh penolakan.



"Lihat baik-baik, anak muda, lihat baik-baik."



Karim memandangi lukisan itu dengan seksama, meneliti setiap guratan warnanya, gelap dan terangnya, ekspresi pemuda di dalamnya.



Dan ia menemukan bentuk wajah seorang yang buruk rupa, dengan mata juling, hidung besar yang kedua lubangnya menganga ke depan seperti hidung babi, dan kedua ujung mulut yang seakan menyangga beban berat hingga tertarik turun ke bawah. 



Pemandangan itu mengamuk dalam pikirannya. Kekecewaan berkecamuk dalam dadanya. Rasanya ia ingin menghancurkan seisi museum, meluluhlantakkan segenap kerajaan beserta penduduknya. Tapi ia sungguh tak berdaya saat ini. Ia patah hati, marah, dan kecewa. Terlalu banyak emosi dalam satu waktu.



"Hei, pengembara," ujar Karim letih, sampai pada sebuah keputusan, "bawa aku pergi bersamamu. Kemanapun, terserah. Asal bukan di sini."



Sang pengembara menimbang-nimbang sebentar, "Yah, tak ada salahnya mengembara dengan anak muda. Baiklah. Kau pulanglah dulu, kemasi barang-barangmu, lalu kembali ke sini nanti ketika matahari mulai terbenam. Saat itu adalah saat paling tepat untuk melakukan perjalanan."



Karim mengangguk lesu, memaksakan diri untuk mengangkat tubuhnya, yang terasa berat luar biasa sampai bisa berdiri, lalu menggumam, "Terima kasih. Sampai nanti."



"Sampai nanti." jawab sang pengembara sementara Karim melangkah gontai dan berlalu.



Sesuai janji, tepat ketika matahari berada di batas cakrawala, Karim menapakkan kakinya di depan pintu museum, tempat mereka berjanji untuk bertemu. Tapi ia tak melihat Bijak. Ah, mungkin sedang pergi makan, pikirnya. Lalu ia pun duduk dan menunggu.



Beberapa waktu berlalu, tapi masih tak terlihat batang hidung sang pengembara. Ah, mungkin setelah makan, ia ke kamar kecil dulu, pikir Karim lagi sembari mengawasi beberapa pria kekar yang bermain kartu sambil menenggak arak di sebuah kedai tak jauh darinya.



Ia masih mengawasi ketika kedai itu tutup, diikuti kedai-kedai lain yang berderet di sampingnya. Angin dingin berhembus kencang tanpa halangan, ketika nyaris semua pengguna jalan kembali ke rumah masing-masing, menyisakan sepi yang mencekam. Yang dinanti tak juga datang. Kemanakah ia gerangan?



Sekarang Karim benar-benar sendirian di situ, bersandar lesu di depan pintu museum. Lapar dan kedinginan. 



Tiba-tiba saja sebuah kenyataan menamparnya keras, menoreh luka baru pada luka-luka tadi yang masih basah. Ia teringat perkataan sang pengembara tadi.




"Empat dari lima perkataan manusia adalah kebohongan."     






-selesai-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar