Juni 10, 2012

Diary Cinta Empat Musim Chapter 5 (End): Musim Dingin

Previously:

Diary Cinta Empat Musim Chapter 1
Diary Cinta Empat Musim Chapter 2
Diary Cinta Empat Musim Chapter 3
Diary Cinta Empat Musim Chapter 4

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rumah-rumah mulai mengaktifkan kembali perapian dan penghangat ruangan mereka. Mantel tebal dan syal mulai dikeluarkan dari lemari pakaian dan menjadi seragam wajib setiap hari. Para penjaja kipas alih profesi menjadi pedagang sarung tangan wol dan topi hangat. Semua suasana ini menunjukkan bahwa sekarang telah memasuki musim dingin.


Aku memanfaatkan waktuku dengannya sebaik mungkin sepanjang sisa musim gugur. Hari berganti hari, aku makin sedih dan takut. Berbagai perasaan melandaku, bergulung bertubi-tubi, semakin hari terasa semakin berat. Aku tak cukup kuat untuk membiarkannya menghabisiku dari dalam, tapi perasaan itu sungguh tak terhindarkan.


Akhirnya, tibalah saatnya.


Aku berusaha tegar dan tenang ketika ia mengajakku keluar menyambut salju pertama yang turun. Ia terlihat biasa saja, tanpa beban. Mungkin segala keresahan itu telah mencapai batasnya hingga tak ada lagi yang dapat dikatakan maupun dilakukan.


Kami berdiri berdua di tempat kami bertemu pertama kali. Beberapa pasangan berjalan mesra, dengan riangnya membicarakan rencana-rencana indah mereka di malam tahun baru sementara anak-anak berlarian kesana-kemari, sesekali merayu orang tua mereka agar membelikan berbagai macam hadiah. Aku memandangi orang-orang itu dengan iri, membayangkan seandainya kami pun bisa bersama lebih lama lagi, menjalin ikatan yang lebih dalam, membentuk kehidupan yang hanya milik kami. Sungguh, aku menginginkannya lebih dari apapun.   


Kami terus berdiri dalam diam, mengawasi orang-orang yang perlahan semakin berkurang, suara-suara yang perlahan menghilang, suasana menjelang larut malam yang sunyi dan dingin.


Tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur dari mulutku, "Kenapa aku?"


Ia tersenyum, manis sekali. "Karena kau yang menungguku."


Hening, lalu ia melanjutkan, "Malam itu sangat dingin, tapi semua orang terlihat begitu hangat, sementara kau, begitu dingin. Hatimu bagaikan gurun es, dingin dan gersang. Kau sama sekali tak memiliki cinta."


Jawaban itu menyulut kegelisahanku ke permukaan. Bermacam pertanyaan dan jerit ketidakpuasan berkecamuk dalam kepalaku, namun lagi-lagi aku hanya dapat bertanya, "Kenapa aku?" 


Ia sejenak meniup tangannya yang dingin. "Untuk memperkenalkan perasaan itu kepadamu. Bahwa ia pasti datang, namun ia juga bisa pergi. Bahwa ada yang bisa kau pertahankan, tapi ada juga yang tidak."


Aku menggigiti bibirku. "Kau datang. Dan aku ingin mempertahankanmu."


Ia menggandeng tanganku--tapi tak kubalas menggandengnya. Ia menatap mataku lekat-lekat. Aku melihat sekelebat penyesalan dalam matanya, namun tidak ada keraguan. 


"Kau tidak boleh mempertahankanku."


Aku balas menggandeng tangannya, nyaris menangis tapi kutahan-tahan. 


"Kau tidak boleh mempertahankanku." ulangnya, "Salju akan mencair."


Aku tahu. Aku tahu itu, tapi aku tak merasa cukup kuat untuk menerimanya. Mataku terasa panas, kakiku sekonyong-konyong terasa lemas, tak kuat menahan beban tubuhku. Perutku bergolak, seakan seekor ular menggeliat di dalam situ. 

"Tenang saja," lanjutnya tiba-tiba, tersenyum simpul. "Kau telah mengenalinya, maka kau akan kembali merasakannya, cepat atau lambat."

Ia mempererat genggaman tangannya. "Dan saat itu, pertahankanlah."

Aku balas mempererat genggaman tanganku. Seluruh tubuhku bergetar. Dapat kurasakan tangannya yang semakin lama semakin dingin. Aku menyadari kebenaran dalam setiap perkataannya, maka setengah mati kuanggukkan kepalaku.


"Terima kasih."


Seiring aku mengucapkan dua kata itu, aku dapat merasakan samar-samar bahwa saatnya telah tiba. Salju pertama yang telah dijanjikan, muncul di sudut mataku. Aku tahu ia telah hadir, turun berayun lembut, menembus udara di sekelilingnya dengan elegan. Ia akan segera menyentuh tanah.


Kami berpandangan, serasa berada dalam area gerak lambat. Kutelusuri wajahnya dengan mataku yang berbingkai air mata, melukiskan setiap inci guratan kecantikannya dalam benakku. Memori akan semua mimik wajahnya muncul berkelebatan, kupatri dalam-dalam di ingatanku. Suaranya, gerak-geriknya, kelembutannya, dan segalanya tentang dia, kurekam cepat dan kukemas dalam sebuah kotak emas.


Senyumannya adalah hal terakhir yang kulihat sebelum akhirnya tanganku tiba-tiba menggenggam udara kosong. Salju pertama telah menyentuh tanah.


Air mataku yang jatuh seakan merayakan diriku yang terbangun dari mimpi indah selama satu tahun ini. Ya, mimpi indah.


Karena aku telah bertemu bukan dengan bidadari.
Bukan pula malaikat.
Melainkan seorang wanita salju.


Yang juga telah mengajariku sesuatu.






-Selesai-






Tidak ada komentar:

Posting Komentar