Sesuatu menggelayuti dadaku.
Berat dan sakit.
Aku mengenang kepada waktu ketika semua tak jadi seperti ini. Ketika hubungan dua manusia masih begitu suci dan penuh ketulusan, tak bersyarat dan tak menuntut. Ketika apa yang ia perdengarkan adalah sebuah wahyu indah hanya untukmu. Ketika apa yang ia perlihatkan adalah sebuah karya seni terelok yang hanya kau yang bisa nikmati. Ketika semua yang terjalin berdasarkan keikhlasan, bukan keharusan, seperti yang kulihat sekarang ini.
Waktu tidaklah kejam, ia hanya selalu berjalan. Ia bak anak kecil, polos dan tidak peduli. Namun ia tahu apa yang harus ia lakukan; berjalan tanpa bernah berhenti. Tak usah lah kau salahkan ia.
Takdir pun tidaklah kejam. Ia hanya sebuah skenario yang tak menyenangkan dan tak terhindarkan, namun memang itulah tugas yang diembannya. Aku mempercayai Sang Sutradara, bahwa sesungguhnya Ia jauh lebih mengetahui segala sesuatu daripada kita para aktornya. Tak usah lah kau salahkan ia.
Aku tahu bahwa kau maupun dia selalu mencari pertanggungjawaban kepada siapa yang bersalah. Manusiawi. Aku sendiri sungguh tak tahu. Pusing kepalaku hanya memikirkan di mana letak kesalahannya sehingga waktu dan takdir terlihat begitu jahat. Terbuang semua air mataku menyesali kepergian sebuah keikhlasan, yang semakin hari semakin tipis saja bak seutas benang terbagi tujuh. Mengeras sudah perasaanku seiring kuejawantahkan kewajiban-kewajiban yang kau syaratkan, kelelahan mengartikan setiap kode-kode bisu yang ia layangkan, muak dengan segala kepura-puraan yang menari-nari telanjang di atas permukaan ini.
Hei kau!
Tahukah kau betapa dangkalnya dirimu, melenggak-lenggok sombong di atas panggung mewah itu, menyandiwarakan sebuah drama yang hanya kau sendiri yang bisa nikmati? Kau seenaknya menarik dia untuk memainkan drama ini bersamamu, berharap bisa mendapatkan pengakuanku.
Bukan. Aku sama sekali tidak sedang mencari pertunjukan. Aku menantangmu untuk datang pada kenyataan ini, padaku dan padanya yang menunggumu sebanyak entah berapa juta tetes air hujan telah turun. Rasakan jalan yang harus kau lalui untuk mencapainya yang telah jatuh dan terinjak-injak, berulang kali dan berulang kali. Aku ingin melihatmu datang, terseok dan tertatih, pucat dan berlumur lumpur, sambil menggendong sekarung besar berisi keping-keping keikhlasan yang telah kau lempar ke dalam sumur kebahagiaan semu milikmu. Aku ingin kau bawa pecahan itu, lalu susun kembali di sini di depan mataku.
Sudah begitu pun, aku tak yakin kau akan mendapatkan pengakuannya.
Aku bahkan tak yakin bahwa kau menginginkannya.
Mungkin kau sudah jatuh terlalu jauh dalam sumur itu, terlena akan kecantikan palsunya, dimabukkan oleh semerbak semunya. Tak pelak kau terlalu lemah untuk mendaki ke atas, ketakutan membayangkan rasa sakit pada jemari tangan dan kakimu seiring tiap langkah yang kau ambil. Kau terlalu naif untuk menyadari betapa pengecutnya dirimu.
Kau lihat? Kepercayaanku yang telah tergerus ombak-ombak besar kebohonganmu ini hanya tinggal berupa lembaran yang terbuat dari pasir. Pun dia yang selalu menantimu dalam diam, menghaturkan doa-doa setiap hari agar kau mau kembali ke sini, ke tempat ini.
Sudah terlalu jauh, berlarut-larut. Tidakkah kau lelah? Tidakkah kau ingin pulang?
............
Aku ragu kau bisa menjawab.
Aku bahkan ragu apakah kau mengerti maksudku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Entah ada di mana sekarang keihklasan. Entah ia utuh ataukah tercerai-berai. Entah apakah manusia sadar akan kehadirannya.
Kalau kalian masih memilikinya barang secuil saja, simpan ia bak sekotak perhiasan. Sungguh kita tidak tahu akan jadi seperti apa dunia ketika kita tak lagi memilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar