Hari ini aku kedatangan tamu. Seorang profesor kece asal Florida, Ben, bersama anak perempuannya, Kyra, kelas 3 SD dan seorang mahasiswa S3 (yang nggak kalah kece) dari Korea, Park (yeah just like Park Ji Sung from MU), yang sedang belajar bahasa Indonesia di Jogja.
Setelah seharian cukup ribet karena kami (ibuku, aku, ayahku, dan adikku--urutan penyebutan menandakan banyaknya kontribusi kerja) harus masak rendang (yang, percayalah, masaknya lebih lama daripada jam tidur siang seorang pemalas doyan tidur), urap (yang beberapa bahan dasarnya, misal daun ubi dan pepaya, musti ngambil dulu dari pohon sendiri dan--uhuk--pohon orang), dan perkedel kentang, sambil nyapu, ngepel, bersih-bersih, dan menjemur baju. Ya, cukup ribet. In fact, kami selalu ribet tiap ada tamu. Karena nenekku mengajarkan sebuah prinsip bahwa tamu harus dimuliakan. Jadi, alih-alih membelikan makanan dan memanggil rewang (pembantu) untuk mengerjakan semuanya, kami terlanjur terbiasa ribet sendiri. Begitulah.
Anyway, semua tamu yang datang hari ini sangat friendly. Mereka adalah orang2 berpendidikan tinggi yang mengerti tata krama dan terlihat jelas bahwa terbiasa dengan multikultur. Ben mengucap Assalamu'alaikum ketika datang, meskipun dia bukan seorang muslim. Waktu makan, Ben dan Park terlihat sangat lihai makan pakai tangan. Park bahkan nambah sampai tiga kali, dan selesai makan langsung mengucapkan, dalam bahasa Indonesia, "Terima kasih, masakannya enak sekali." kepada ibuku.
Tapi yang paling menjadi sorotanku adalah Kyra, seorang gadis kecil berumur 8 tahun yang sangat cerdas. Ia ekspresif dan banyak bicara. Dari kata2nya terlihat bahwa ia bukan anak biasa, berbicara dengannya tidak terasa seperti bicara dengan anak2--kalau kau mengerti maksudku. Apparently, ia memang anak pintar yang selalu merasa bosan di sekolah karena merasa pelajarannya terlalu mudah sampai2 para guru akhirnya memberikan ia pelajaran untuk anak kelas 7. Ia memang jenius dari sisi akademik. Tapi tak cuma itu, ia memang cerdas. Ia kritis terhadap sekeliling dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Ia membicarakan ketidakpuasannya dan ketertarikannya terhadap banyak hal, sedemikian rupa hingga aku lupa kalau sedang berbicara dengan anak umur 8 tahun. Bagiku, ini pertama kalinya aku bertemu anak kecil seperti dia. Mengesankan. =)
Hal menarik lainnya adalah, meskipun Kyra tidak bisa berbahasa Indonesia, tapi Ben dan Park berbicara bahasa Indonesia dengan luar biasa lancar. Park sedikit terbata, tapi kelihatan bahwa mereka memang sudah belajar untuk waktu yang cukup lama. Aku cukup terkesan, karena malam ini, di meja makanku, bahasa internasional adalah bahasa Indonesia. =))
Aku tiba2 jadi sangat bersyukur masuk FIB (Fakultas Ilmu Budaya, sebagian besar jurusannya mempelajari bahasa asing), dimana kau terbiasa mendengar bahasa apa saja di mana saja tanpa merasa tergelitik untuk make fun of it. Mengerti maksudku? Aku membicarakan kejadian misalnya kalau kau mendengar seorang Korea mengatakan "Songsengnim" (guru) lalu kau tertawa sambil mengatakan "hahahaha..tongseng! tongsengnim! hahaha" hanya karena ada beberapa huruf yang mirip. Misalnya lagi kalau kau mendengar seorang Jepang mengatakan "Tabetai" (ingin makan) lalu kau tertawa sambil mengatakan "hahahaha..tai! tai!". Atau sekedar ketika kau berpapasan dengan seorang bule pirang lalu kau iseng menyapanya, "Hello, miss. You are beautiful. I love you." dengan aksen medok sambil ketawa-ketiwi. Atau ketika kau berpapasan dengan orang Asia--yang tidak bisa kau bedakan apakah ia Cina, Korea, Jepang, Taiwan, atau mungkin malah Cino Suroboyo--lalu kau tiba2 teriak "Aishiteru! suzuki, honda, toyota, mitsubishi, (dan merk jepang lainnya), wo ai ni! (kau bahkan mungkin tidak tahu kalau ini bahasa Mandarin)".
Aku melihat buanyak sekali fenomena seperti ini. Buanyak. Dan aku sama sekali tidak menyukainya. It's not funny, dude. Not funny AT ALL. Kalau kebetulan aku sedang jalan sama orang asing manapun dan ada orang macam itu, langsung kupendeliki. Please deh, menjadi orang ndeso itu nggak harus bersifat ndeso.
Nah, berada di FIB, mempelajari bahasa dan budaya lain, dan bersentuhan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda, membuatku jadi sedikit lebih luwes. Nggak nggumunan. Siap mendengar dan menerima perbedaan apapun. Setidaknya sampai saat ini sih. Pengalamanku memang belum banyak, tapi setidaknya aku berusaha agar bisa membawa diri dengan lebih baik ketika berada di antara orang2 dengan kebudayaan berbeda. Seandainya aku nggak masuk FIB, mungkin aku nggak akan menyadari pentingnya hal2 tersebut. Aku sungguh bersyukur. =))
Jadi, dalam kasus Kyra, yang sering dibawa bapaknya kemana-mana sejak kecil, dan dengan kecerdasannya, pasti takkan sulit baginya untuk mengerti keadaan dan beradaptasi. Ia akan menemukan banyak hal menarik dan bahkan sebelum ia bisa menyadarinya, ia telah bertukar dengan banyak budaya, memaklumi banyak perbedaan. Ia akan menjadi dewasa oleh keberagaman. Mungkin, sih.
Postingan kali ini fokusnya agak nggak jelas, aku sendiri bingung. Tapi yang jelas, aku ingin bertemu lagi dengan anak itu di masa depan. Mungkin aku yang akan mengunjunginya di sana? Semoga ada kesempatan. =))
Good night and sweet dream. =)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar