Juli 19, 2012

Berawal dari Skripsi

Hello, there.


Tak terasa besok sudah bulan puasa lagi. Waktu memang berjalan cepat sekali, secepat cowok kalo lari dikejar banci. Gila cepet banget. Berbagai kejadian pun sudah terjadi. Skripsi-ku sudah selesai, alhamdulillah. Tinggal menunggu tim penguji selesai membacanya sekitar 2 minggu lagi, lalu aku akan tahu kapan tanggal eksekusi ujian-yang-buat-ngelakuinnya-aja-butuh-waktu-berbulan-bulan. Semoga semuanya berjalan lancar. Bismillah.


Ngomongin soal skripsi, berhubung aku mahasiswa sastra Jepang, jadilah aku meneliti karya sastra berbahasa Jepang sebagai syarat kelulusanku. Memangnya apa yang bisa diteliti dari sebuah tulisan? Mungkin tidak terbayangkan oleh kalian para pembelajar ilmu eksak kenapa juga karya sastra itu musti diteliti. Toh nggak ada pengaruhnya juga buat masyarakat. Ya, mungkin memang benar seperti itu. Tapi setidaknya, melalui proses pengerjaan skripsi ini, aku merasa mendapatkan banyak hal dan kebanggaan akan diriku sendiri karena berhasil menyelesaikannya. 


Aku meneliti sebuah cerpen berbahasa Jepang berjudul "Seinen to Shi" (Pemuda dan Kematian) karangan sastrawan-kece-eksentrik-karismatik-yang-sayangnya-mati-muda bernama Akutagawa Ryuunosuke. Kalau kalian tahu novel berjudul Kappa atau film Jepang jadul super-epic-gila-bagus-banget berjudul Rashomon, itu adalah dua masterpiece dia yang paling terkenal, mungkin. Berikut ini fotonya yang paling sering beredar di internet.




Kece kan? Kece nggak sih? Aku suka foto dia yang ini. Matanya tajam menembakkan banyak pemikiran. Kelihatannya cerdas dan agak gila. Memang dia agak gila, sih. Keluarganya bermasalah waktu dia kecil. Adik perempuannya meninggal, ibunya merasa bersalah sampai jadi gila, dan bapaknya temperamen. Akhirnya dia diasuh oleh keluarga saudaranya. Keluarga barunya, untungnya, baik dan ramah. Mereka menyekolahkan Ryuunosuke sampai kuliah. Nggak sembarangan, sebagai mahasiswa pun dia sangat pintar dan eksis di dunia tulis-menulis kampusnya. Bersama teman2nya, ia mendirikan majalah kampus dan menyumbangkan karya pertamanya di situ. Nggak lama kemudian, dia menjadi semakin terkenal dan diakui karyanya sebagai legenda sampai sekarang.


Sayangnya, hidupnya tidak berakhir dengan baik. Di penghujung usianya, ia sering sakit fisik dan mental. Tidak hanya komplikasi dalam beberapa organ tubuhnya, ia juga menderita schizophrenia. Nggak tahu apa itu schizophrenia? Silakan cari di google atau tanya orang di sebelah Anda. 


Diceritakan bahwa ia merasa stress akan penyakitnya dan merasa tertekan akan kehidupannya. Ia tak bisa membedakan hidup nyata dan fiksi dalam kepalanya. Akhirnya ia bunuh diri dengan cara minum obat tidur sampai overdosis pada usia 35 tahun. 


Nah, cerpen "Seinen to Shi" karangannya yang kuteliti menceritakan dua orang pemuda bernama A dan B yang berbeda pendapat soal keberadaan "akhir hayat" atau kematian. A percaya bahwa hidup tidak abadi, sedangkan B tidak. A ingin hidup dengan baik hingga ajal menjemput, tapi B ingin hidup terus dan bersenang-senang terus, entah ajal akan menjemput atau tidak, ia tidak peduli. Pada akhir cerita, A dan B berkonfrontasi langsung dengan Dewa Kematian. Pada akhirnya, Dewa Kematian justru mencabut nyawa B yang tidak mempercayai keberadaannya dan membiarkan A hidup. A, yang ingin hidup dengan baik namun merasa dilema dengan apa yang harus dilakukannya untuk hidup, malah ingin mati dan memohon pada Dewa Kematian untuk mencabut nyawanya. Namun Dewa Kematian tidak mengijinkannya. Alih-alih, sang Dewa memberi nasihat pada A bahwa selayaknya manusia menggunakan kesempatan sebaik-baiknya ketika masih hidup. Kematian memang milik Dewa Kematian, namun kehidupan manusia adalah milik manusia itu sendiri. Adalah tugas kita untuk mengemban tanggung jawab tersebut. Wajah Dewa Kematian terlihat indah bagi A, karena ia tidak menolak keberadaannya. Kematian tidak akan terasa mengerikan bagi orang yang cukup memaknai hidupnya.


Aku selesai membaca cerpen itu dan (setelah menerjemahkannya terlebih dulu, tentu saja) sedikit tertegun. Ini adalah sebuah ironi dari akhir hidupnya. Ia membuat cerpen tersebut ketika sedang naik daun. Apakah di akhir hidupnya, ketika karirnya tak sebaik dulu, ia telah melupakan tulisannya sendiri? Apakah ia tak merasa cukup baik untuk terus hidup dan membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa menjadi A, yang meskipun sempat ingin mati namun ditolak oleh Dewa Kematian sendiri? 


Tapi setelah kupikir-pikir lagi, bisa jadi cerpen itu sama sekali bukan sebuah ironi, justru sebaliknya. Dikatakan bahwa kondisi fisik dan tekanan mental adalah alasan utama ia bunuh diri. Mungkin ia memang A, yang meskipun telah hidup dengan baik namun tidak merasa cukup kuat untuk melanjutkan perjuangannya. Mungkin, menurutnya, hidup yang sebenarnya justru dimulai setelah mati, di dunia yang lain. Ia pun mungkin sempat merasa dilema, lalu memutuskan untuk mengakhiri sendiri hidupnya. Namun, Dewa Kematian dalam kehidupan nyata Ryuunosuke tidak memberikannya kesempatan kedua seperti yang diberikan Dewa Kematian fiktif kepada A dalam cerpen buatannya. Apakah sesungguhnya ia ingin ada yang mencegahnya? Kita tak akan pernah tahu, karena ia sudah tidak ada. Mungkin baginya, wajah Dewa Kematian itu terlihat indah sekali.


Cerpen ini cukup filosofis, jadi aku memikirkan banyak sekali hal sambil mengerjakannya. Hidup, mati, bertahan hidup, bekerja, peran, fungsi, gender, status, kaya, miskin, konsumtif, hedonis, tren, tiru-tiru, primer, sekunder, tersier, ingat, lupa, roh, rumput, reinkarnasi, i-phone, android, kafe, uang, internet, dan banyak hal lain. Mungkin kelihatannya kata-kata tersebut tidak berhubungan, tapi sesungguhnya dalam kepalaku dan dalam konteks skripsiku, itu semua berada dalam satu lingkaran. 


Cerpen "Seinen to Shi" adalah salah satu jejak yang ditinggalkan Ryuunosuke yang melangkah meniti tangga hidupnya. Semua manusia pun pasti memiliki jejaknya masing-masing. Apa saja yang telah kau lakukan? Apa saja yang sudah kau hasilkan? Itulah jejak-jejakmu. Mungkin, ketika kau merasa telah melangkah terlalu jauh hingga kelelahan, tak ada salahnya menarik napas sejenak sambil melihat kembali jejakmu sebelumnya. Ingatlah, bahwa dulu, di salah satu jejakmu, kau telah menapakkan dengan keras sebuah keyakinan bahwa kau akan melaju lebih jauh lagi. Kau telah meninggalkan bekas di tanah itu, keteguhan hati bahwa kau sedang dalam perjalanan untuk meraih sesuatu. Jejak-jejak yang telah kau tinggalkan itu, adalah kekuatanmu untuk kembali melangkah lagi.


Intinya, jangan gegabah memutuskan untuk bunuh diri ketika menemui kesulitan seperti apapun. Dan kerjakanlah skripsi dengan ikhlas dan hati senang, insya Allah terasa lebih ringan.


Ngomong-ngomong, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan.




Good night and sweet dreams. =)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar