Bagaimana
seandainya kata-kata tidak memiliki makna? Seandainya jalinan sejumlah huruf
yang membentuk sebuah kata tidak merupakan penanda bagi sebuah benda atau kata
lain? Apa yang akan terjadi apabila layaknya memilih baju, kita bisa memilih
kata apapun untuk menandakan benda apapun? Tentunya takkan terjadi komunikasi
yang setara, manusia takkan bisa memahami satu sama lain.
Tapi,
bukankah dengan kata-kata yang telah dilekati makna definit pun, dua orang
manusia tak juga bisa saling mengerti? Kesalahpahaman, perdebatan, diskusi,
negosiasi—betapa banyak cara bagi manusia untuk gagal melakukan koneksi,
kemudian berusaha untuk menyambungnya kembali, hanya untuk mendapati kegagalan
yang sama lagi, dan seterusnya proses yang berulang-ulang. Betapa banyak waktu dan
tenaga yang manusia habiskan dalam hidupnya untuk bermain-main dengan definisi,
dalam berbagai usahanya untuk membuat hidup ini lebih dari sekadar makan dan
buang tahi.
Bayangkan
seandainya kemampuan berbahasa manusia terbatas layaknya hewan, mungkin kedua
spesies itu takkan menjadi banyak bedanya—membunuh dan mencuri sebagai ganti
komunikasi. Lho, bahkan dengan kemampuan berbahasa yang tinggi dan konon
kecerdasan yang melebihi segala makhluk di muka bumi, bukankah manusia memang
sudah melakukan itu semua tanpa perlu mengubah spesifikasi diri menjadi seperti
hewan? Lalu, apa gunanya?
Pikiran
Maya masih mengembara lebih jauh lagi seiring gulir air dari keran wastafel membasuh
kedua tangannya lalu mengalir ke lubang pembuangan setelah berubah warna menjadi
merah. Tanpa ia sadari, di belakangnya sebuah sosok datang mendekat.
“Wah,
pantas ada bau amis.”
Terkejut,
Maya menoleh dan melihat kucing betina belang tiga miliknya, Mina, telah duduk
manis di belakangnya. Ekornya bergoyang-goyang tanda senang.
“Diam,
kau, Cing!” bentak Maya, menggosok-gosok telapak tangannya lebih kuat dan
mencungkil sisa-sisa kotoran dari bawah kukunya, “kenapa tadi kau tidak
membantuku!?”
“Memangnya
aku bisa apa?” jawab Mina manja, menggesekkan tubuhnya ke kaki-kaki meja makan,
lalu berjalan mengitari Magenta yang terkapar di antara meja makan dan meja
dapur, berhati-hati agar kaki kecilnya tidak menginjak genangan darah segar
yang mengalir dari perut laki-laki itu. Ia lalu menggesekkan lagi tubuhnya,
kali ini ke kaki Maya, “tapi, akhirnya, kau bisa melakukannya. Aku bangga
padamu.”
Maya
mendesah lalu mengangkat Mina dan mendudukkannya di atas meja dapur di samping
wastafel, tempat ia kini sedang mencuci pisau dapur ukuran besar yang biasanya
ia gunakan untuk mengiris daging rendang. Beberapa menit lalu, entah karena
sengaja atau kecelakaan, sepertinya pisau itu menancap di tempat yang tidak
biasanya, yaitu sisi sebelah kanan perut Magenta, dan sebelah kiri, dan juga
mungkin dadanya—setelah tusukan pertama, yang lain jadi tidak terlalu berarti.
Mencuci
pisau itu membawa ingatan Maya pada saat-saat ia mengiris daging untuk memasak
rendang kesukaan suaminya. Masakan itu begitu rumit, menyita banyak sekali
waktu dan tenaga. Mulai dari berbelanja bahan-bahan di pasar, mengiris dan
menghaluskan bumbu, memeras santan, mencampur ke dalam kuali, dan mengaduk
semua bahan sampai kering mungkin membutuhkan waktu dari sejak ayam jago keluar
kandang untuk berkokok sampai saatnya ia dimasukkan kandang lagi oleh
pemiliknya yang keburu berangkat salat magrib. Tentu saja Maya melakukan
semuanya sendirian, karena suaminya yang jebolan keluarga patriarkat garis
keras itu haram hukumnya untuk sekadar memegang wajan, apalagi mengaduk kuah
santan—meskipun pada akhirnya dialah yang akan memakan semua hasil jerih payah
istrinya itu.
“Dari
lidah turun ke hati.”
Begitulah
selalu ia katakan dengan penuh wibawa setiap kali Maya mengeluhkan seluruh
tubuhnya yang pegal-pegal setelah seharian memasak—belum lagi ditambah berbagai
macam pekerjaan rumah lain.
Mengingat
itu membuat kemarahan kembali menggelegak dalam diri Maya yang sedang mencuci
pisau. Ia berbalik menatap mayat suaminya lalu dengan cekatan membuka mulutnya,
memotong lidahnya, dan menjejalkan potongan lidah itu ke salah satu luka
tusukan di dada tempat hati berada.
“Dari
lidah turun ke hati,” ujar Mina khidmat, “betapa sederhananya kalimat itu
apabila diterjemahkan secara harfiah.”
Maya
mendengus puas dan kembali mencuci pisaunya yang kembali berlumuran darah,
namun ingatannya soal rendang tidak berhenti sampai di situ. Pada kesempatan
lain, Maya memberikan sepotong daging rendang kepada Mina, karena ia selalu
melakukan itu—memberikan sepotong dari apapun yang ia masak kepada kucing
kesayangannya. Ia tak keberatan sekalipun kucing itu menghabiskan semua yang
ada di atas meja makan, tapi rupanya Magenta berpikiran sebaliknya. Ia
benar-benar tidak terima makanan kesukaannya—yang sebetulnya keseluruhannya
dimasak sendirian oleh Maya—diberikan pada makhluk bodoh tak berguna yang dulu
setuju ia pelihara sebagai salah satu syarat yang diberikan Maya agar mau
menikahinya.
Keputusan
Maya memberikan sepotong daging rendang pada Mina itu menghadiahkan beberapa
luka memar di pahanya setelah Magenta menyeretnya jatuh dari kursi makan, dan
lebam di pipi dan matanya setelah Magenta mendaratkan beberapa pukulan dan
tamparan. Itu bukan kali pertama Maya dipukuli suaminya, dan jelas bukan pula
yang terakhir. Maya tak pernah membalas, hanya menangis sambil memeluk Mina
setelah kemarahan suaminya mereda dan ia menemukan kegiatan lain yang lebih
menarik daripada memukuli perempuan yang dulu ia janjikan kebahagiaan sampai
mati itu.
Magenta
selalu pintar berbicara—mungkin kelebihan itu juga lah yang dulu melemparkan
Maya ke dalam jurang bernama cinta. Pada masanya, Magenta adalah apa yang
dikatakan orang sebagai “pria romantis”—menghujani Maya dengan puisi dan
frasa-frasa puitis nan eksotis tanpa memberi kesan gombal atau murahan. Tapi,
tentu saja, Maya pada saat itu juga hanya seorang gadis muda yang naif, yang
berkeyakinan bahwa seorang lelaki yang pintar menggunakan mulutnya tentu takkan
dengan mudah mengayunkan tinjunya. Apa ada hubungannya? Menurut Maya muda,
manusia yang telah berevolusi secara genetik dan empiris melalui berbagai macam
asupan gizi dan jejalan pendidikan itu seharusnya tahu lebih baik daripada
binatang—bahwa melakukan kekerasan dalam bentuk apapun tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan, yang apabila dilakukan, akan menurunkan derajat seseorang sebagai
manusia. Kenaifan itu dikritik oleh tak lain kucingnya sendiri, yang beberapa
bulan terakhir Maya sadari bisa berbicara dengannya.
“Kau
tahu, suamimu itu bodoh.” kata Mina suatu hari sambil menjilati luka memar di
pipi Maya, kali ini karena ia sedikit teledor mencampur satu kain berwarna
dengan kemeja putih suaminya, mengakibatkan kemeja itu akhirnya tak lagi putih,
melainkan merah pudar yang sesungguhnya cukup indah.
Maya
terkejut bukan kepalang, karena ini pertama kalinya ia mendengar Mina berbicara
dalam bahasa yang ia mengerti. Mereka berpandangan sesaat.
“Kau
bisa bicara?” tanya Maya.
“Tentu
saja,” jawab Mina, “tapi cuma kamu yang mengerti.”
“Kenapa?”
tanya Maya lagi, bingung, “kalau kau bisa bicara bahasa manusia, bukankah
artinya semua manusia bisa mengerti?”
“Ck,
ck, Maya,” sahut Mina sambil menggeleng, “diperlukan lebih dari sekadar
kesamaan bahasa untuk bisa mengerti satu sama lain. Lihat saja,” ia mengedikkan
kepalanya ke arah Magenta yang sedang mengetik di ruang kerja, “kalian bicara
dengan bahasa yang sama. Kau sudah menjelaskan keteledoranmu sendiri, meminta
maaf, bahkan berjanji untuk membelikan kemeja baru. Apa dia bisa mengerti?”
Maya
tidak menjawab.
“Kalau
dia mengerti, kenapa dia memukulimu?” lanjut Mina.
“Karena
dia marah.” jawab Maya.
“Benar,”
sahut Mina, “dan ada banyak cara untuk marah. Saat dia mencintaimu, dia
mendeklarasikan puisi. Tapi kenapa saat dia marah, dia tidak melakukan hal yang
sama?”
“Mana
ada orang marah baca puisi.” gerutu Maya.
“Tentu
saja ada,” kata Mina, “seperti halnya ada orang yang mencintai dengan cara
memukul.”
“Mana
ada orang cinta memukul.” gerutu Maya lagi.
“Jadi
menurutmu Magenta tidak mencintaimu?” tanya Mina. Maya tidak menjawab. Mina
melanjutkan, “Aku menyaksikan saat Magenta dengan lihai menjeratmu dengan
banyak bujuk rayu, juga saat ia dengan dramatis menyatakan cinta padamu dan
melamarmu, juga saat kalian saling bertukar janji cinta sehidup semati. Juga
sekarang, saat ia mengingkari itu semua dan lebih banyak menggunakan tinjunya
daripada mulutnya. Kau tahu, seandainya kau lebih cerdas sedikit, menurutku kau
bisa melihat kecenderungan ini sejak dulu.”
“Oh,
jadi sekarang kamu lebih tahu daripada aku!?” sindir Maya.
“Tentu
saja. Seperti kata mitos, nyawaku ada sembilan. Setiap nyawa kuhabiskan dalam
20 tahun, dan ini adalah nyawaku yang ke-8. Hitung sendiri umurku sekarang
berapa. Aku kucing, tak perlu lah belajar perkalian.”
“Setiap
aku mati, aku akan terlahir kembali di tempat lain dengan tubuh lain,” lanjut
Mina, “tapi, ingatan kehidupan sebelumnya masih ada. Aku mengenal manusia,
Maya, mungkin lebih daripadamu.”
“Kau
tahu, salah satu senjata terkuat manusia adalah kata-kata. Bagi kau yang masih
muda, Magenta terlihat begitu memesona dengan kelihaiannya menjalin kata.
Kata-kata itu menjerat perhatianmu begitu kuat, kau hanya bisa melihat mereka
sebagai pembawa kebaikan. Kau lupa, bahwa sama halnya dengan puisi dan nyanyian
romantis, penipuan dan manipulasi pun adalah jalinan kata-kata. Penggunaan
mereka, sama halnya dengan cara seseorang mengartikannya, sungguh tidak
terbatas, Maya.”
“Sekarang,
setelah Magenta bukan lagi sang raja yang bisa memuaskan kepekaan telingamu,
bukankah lebih baik ia dijadikan sunyi?”
“Maksudmu?”
tanya Maya.
“Saat
ini kau lebih berharga daripada dia, Maya,” lanjut Mina, “kau tahu apa yang
kami lakukan kepada makhluk yang derajatnya lebih rendah dari kami?”
Maya
diam.
“Tenang
saja, aku akan membantumu.”
Tapi,
tentu saja dia tidak membantuku, pikir Maya dongkol setelah pisau dapurnya
kembali kinclong dan ia letakkan di rak cuci piring. Satu-satunya hal yang Mina
lakukan adalah secara abstrak mencetuskan satu gagasan yang kemudian Maya
tanamkan sendiri dalam kepalanya dan sisanya adalah hasil keputusan dia
sendiri.
Maya
dan Mina sama-sama memandang mayat Magenta sejenak. Maya tidak merasakan
apa-apa. Tidak senang, tidak juga sedih. Sedikit lega, mungkin. Tapi, seperti
yang ia pikirkan tadi, bagaimana seandainya tidak diperlukan kata-kata untuk
melabeli tiap perasaan? Senang, sedih, marah, cinta, benci—tentu saja ia
memiliki semuanya, dan kali ini ia tidak memiliki semuanya. Mungkin label-label
perasaan pun hanya sebuah permainan kata, seperti yang Magenta lakukan selama
ini terhadapnya.
“Sunyi,
ya.” kata Maya.
“Memesona,
ya,” sahut Mina, “kau tahu, aku sudah mati tujuh kali. Kurasa mati itu hanya
sebuah kesalahpahaman besar. Siapa tahu yang mati itu sebenarnya hidup, dan
kita yang hidup ini sebenarnya sedang mati.”
“Mungkin.”
sahut Maya.
“Jadi,
kematian Magenta ini pun hanyalah salah satu dari kesalahpahaman yang kalian
miliki sepanjang perkawinan kalian.”
“Mungkin.”
“Kata
‘mungkin’ itu memang sangat praktis, ya.”
“Mungkin.”
Mina
tertawa. Matahari di luar sedang terbenam, warna kuningnya menerobos jendela
dapur dan memantul di genangan darah Magenta, membaur dan menghasilkan warna
yang begitu indah, Maya merasa tidak dapat menemukan kata-kata untuk itu.
Tersenyum,
Maya mengangkat Mina lalu keduanya pergi menghilang untuk selamanya.
(Selesai)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar