Gelombang
manusia bergerak bersamaan dari lima titik yang berbeda lalu bertemu di poros
yang menyambung kelima titik tersebut, kemudian berserak ke lima arah di
seberangnya, tak berhenti hingga lampu penyeberangan berganti warna menjadi
merah. Beberapa orang masih berlari menyempatkan diri, kemudian kendaraan
bermotor dipersilakan menderu lewat sementara gelombang baru manusia kembali
berkumpul di kelima titik tadi, menunggu giliran selanjutnya.
Laras
telah mengamati gelombang demi gelombang manusia yang menyeberang itu sejak 15
menit yang lalu. Duduk di sebuah kafe waralaba asal Amerika Serikat yang
terletak di posisi strategis sehingga pelanggannya bisa melihat ke arah
persimpangan legendaris di kota Shibuya itu, Laras nyaris menghabiskan cafe latte-nya
yang terlalu manis. Ia mendesah, menyesali keputusannya untuk datang lebih
cepat dari janji dan untuk membeli latte mahal yang kemanisan itu. Sekarang,
tak hanya ia mulai habis sabar menunggu, kandung kemihnya pun protes ingin mengeluarkan
air kencing dan usus besarnya memberi sinyal ingin membuang tinja. Ia melirik
jam tangannya, 19:18. Bisa, sih, tapi pasti ia akan telat sekitar 10
menit. Dan demikianlah yang ia tulis dalam pesan singkat sembari membuang gelas
plastik di tempat yang disediakan dan dengan tergesa menuju toilet.
“Maaf,
aku sudah di tempat, tapi mau ke toilet dulu. Mungkin akan terlambat sekitar 10
menit.”
Segera
setelah pesan singkat itu ia kirim, terpikir olehnya sembari menurunkan
celananya, bahwa di sini, “pergi ke toilet” mungkin bukan hal yang biasa
diucapkan seorang perempuan kepada kekasihnya—agak saru. Perempuan itu
sepantasnya tidak kencing dan tidak buang air besar, wangi dan selalu berbedak.
Ah,
peduli amat, pikir Laras sambil memencet tombol flush
setelah membersihkan diri. Pukul 19:30. Dengan perasaan bangga karena berhasil
menyelesaikan semua urusannya dalam 10 menit, ia membetulkan riasannya melalui
cermin toilet. Sebenarnya ada ruang rias yang disediakan terpisah, tapi ia
benci menggunakan ruangan itu karena wangi semua perempuan yang berdandan di
sana menyakiti hidungnya.
Pukul
19:38, dengan riasan yang telah disempurnakan dan pakaian yang telah dirapikan,
Laras menghampiri sesosok laki-laki yang ketampanannya menarik perhatian para
pejalan kaki yang melewatinya, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan sepertinya
anjing-anjing pun.
“Maaf
sudah membuatmu menunggu.” kata Laras sambil memperlihatkan senyum terbaiknya,
satu lesung pipit di pipi kanan.
“Tidak
apa-apa,” jawab Ryosuke, juga tersenyum, “kamu cantik sekali.”
“Terima
kasih.” sahut Laras tersipu, meraih tangan Ryosuke yang terulur padanya. Dengan
bergandeng tangan, mereka berdua menembus keramaian jalanan Shibuya.
Ryosuke
tidak banyak bicara, dan Laras senang karenanya. Mereka berjalan lambat-lambat
dalam diam. Menunggu lampu penyeberangan menjadi hijau, kemudian menyeberang
bersama apa yang Laras rasa bagaikan ribuan manusia lain, mendesak dalam jarak
dan menghimpit dalam sempit. Pasangan, rombongan, sendirian. Yang bersemangat
dan yang kecapaian. Sekeliling Laras berdengung bising dalam berbagai
bahasa—Jepang, Inggris, Hindi, samar-samar juga bahasa negara asalnya sendiri.
Sesekali terdengar dengusan atau umpatan kesal orang lokal terhadap turis yang
berfoto di tengah persimpangan tanpa memedulikan derasnya arus para penyeberang
sehingga menimbulkan kemacetan sesaat. Sang turis tentu saja tidak mengerti
bahwa ia baru saja dikatai “tahi” oleh pemuda mabuk yang jalannya jadi
terhalang itu.
Saat
tadi melihatnya dari atas, gelombang manusia ini terlihat bagai kerumunan semut
yang kebingungan. Sekarang setelah Laras berada di tengah-tengahnya, kerumunan
itu bergerak pasti dan cepat, membuat Laras merasa sedang terjebak dalam invasi
robot yang keras dan dingin, yang tidak berpikir, yang tidak peduli pada apapun
kecuali tugasnya sendiri. Meskipun Laras sudah ratusan kali bersentuhan dengan
hingar-bingar ini, ia tak juga merasa familier. Dengung bising suara manusia
bercampur deru mesin, sengal napas mereka yang berjalan terlalu cepat, bau
alkohol dari mulut para karyawan kantoran, derap langkah dan kikik gadis-gadis
yang masih mengenakan seragam SMA. Semua itu tak pernah berhenti terasa ganjil,
seakan itu tidak nyata, seakan bukan itu yang seharusnya.
Laras
nyaris lupa bahwa ia tengah menggandeng tangan Ryosuke. Telapak tangan itu
menghangatkan telapak tangannya, yang ia sadari telah berkeringat sedemikian
rupa akibat jantungnya yang berdegup keras dipacu keterasingannya dalam
keramaian. Laras mempererat genggamannya, yang disambut serupa oleh Ryosuke.
Mereka
berjalan melewati gang-gang kecil yang dipenuhi pertokoan, sesekali berhenti
untuk berfoto atau melihat-lihat atas permintaan Laras. Toko-toko ini tidak
menjual barang bermerk seperti toko-toko waralaba mancanegara maupun mal besar
nan perlente yang mendominasi kota itu. Laras lebih menikmati toko-toko kecil
ini, yang variasi jualannya benar-benar tidak terduga, mulai dari komik bekas,
alat tulis imut, aksesoris gotik, sampai beraneka mainan seks. Penjaga toko di
tempat seperti ini juga tidak melayani dengan kelewat ramah seperti di toko
besar. Mereka membiarkan saja pelanggannya berseliweran—tidak disapa saat masuk
maupun keluar—dengan begitu Laras bebas melihat-lihat tanpa membeli, seperti
yang selalu ia lakukan.
Sesekali,
melalui sudut matanya, Laras mengawasi Ryosuke dan benda-benda apa saja yang
dipegangnya. Tentu saja, hanya karena ia memegangnya bukan berarti ia tertarik,
tetapi kemisteriusan Ryosuke selalu mengusik rasa ingin tahu Laras. Tentu saja
ia bisa bertanya secara langsung, namun—mengikuti intuisinya—itu mungkin bukan
pilihan bijak.
Kacamata
hitam, sarung tangan, dan perhiasan logam. Entah pilihan itu adalah sekelumit
kepribadian Ryosuke yang merembes keluar atau sekadar sandiwara demi menyesuaikan
selera Laras—karena ketiga benda itu juga adalah kesukaan Laras. Dia tidak
bertanya dan Ryosuke tidak menjelaskan.
Selepas
pukul 21:00, Laras mulai merasa lapar. Susu dan kopi yang tadi memenuhi perutnya
telah menguap dan rahangnya rindu mengunyah sesuatu.
“Mau
ngemil?” tanyanya sambil menunjuk sebuah kafe, lagi-lagi waralaba asal Amerika
Serikat, di dekat mereka.
Ryosuke
mengangguk sambil tersenyum, “Boleh.”
Mereka
masuk dan mengantre untuk memesan. Ryosuke membeli segelas es kopi sementara
Laras membeli roti lapis isi tuna dan teh buah persik—menu khusus musim semi.
“Bahasa
Jepang pacar Anda bagus sekali.” puji penjaga kasir basa-basi saat mereka
membayar, mengatakannya pada Ryosuke seakan-akan berkat dialah Laras fasih
berbahasa Jepang. Keduanya tidak menjawab dan hanya tersenyum. Tidak ada
gunanya menjawab pujian itu, pikir Laras. Penjaga kasir itu tidaklah serius dan
segala asumsinya salah. Pertukaran pembicaraan di antara mereka tidak akan
menguntungkan siapapun.
Ryosuke
membawakan nampan mereka dan memilih kursi di sudut belakang, posisi favorit
Laras saat berada di restoran.
Mereka
duduk dan selama beberapa saat menyeruput minuman dalam diam. Laras mengawasi
orang-orang yang duduk di sekitar mereka. Dua orang pria karyawan
kantoran—terlihat dari setelah hitam mereka—mengisi dua meja di samping Laras
dan Ryosuke, masing-masing sibuk dengan laptopnya. Di meja di belakang Ryosuke,
seorang perempuan yang tampaknya mahasiswa sedang menghafalkan kosakata dalam
bahasa Inggris, meskipun sepertinya desakan untuk bermain media sosial terlalu
kuat sehingga akhirnya buku Bahasa Inggris itu tergeletak sia-sia. Di samping
mahasiswi itu, seorang laki-laki necis bermain telepon genggam sambil
mendengarkan musik. Laras meluaskan pandangannya dan mengedarkannya
mengelilingi ruangan. Hampir semua orang yang ada di situ memang duduk
sendirian, hanya ada satu-dua meja selain mereka yang diduduki dua orang. Tak
ada yang duduk dalam rombongan, dan memang begitulah lazimnya.
Sama
halnya dengan lautan manusia di persimpangan legendaris Shibuya, Laras tak juga
merasa intim dengan kesendirian yang tak berujung itu. Tempat itu dipenuhi
manusia, semuanya sendiri, belajar dan bekerja hingga menjelang tengah malam.
Bagi Laras, keberadaan mereka seakan menyerukan rasa kesepian yang menyesakkan,
yang menggema memenuhi udara dan menyeruak masuk ke dalam hati siapa saja yang
tak terbiasa. Laras tidak masalah menjadi sendirian, tapi merasa kesepian itu
lain cerita. Sendirian itu memberikan ketenangan, kesepian itu menghadirkan
kegelisahan.
Maka,
ia sangat bersyukur ada Ryosuke di hadapannya malam ini. Ia mengalihkan
pandangannya kepada lelaki itu, yang ternyata tengah mengawasinya dengan
tatapan penuh ketertarikan.
“Apa
kamu ingin kita mengobrol?” tanyanya.
“Hm...
tidak juga,” jawab Laras sambil membuka bungkus roti lapisnya, “mungkin nanti.”
“Oke.”
sahut Ryosuke, kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela kaca. Laras
melakukan hal serupa sambil mengunyah.
Mereka
menghabiskan waktu hingga menjelang pukul 23:00 di tempat itu, melamun dan
menyeruput minuman. Keduanya sama sekali tidak menyentuh telepon genggam
mereka, dan itu menyenangkan bagi Laras. Sesekali Laras melemparkan pertanyaan
ringan, yang juga dijawab dengan ringan oleh Ryosuke. Satu atau dua kali Laras
tertawa, tapi senyum tak pernah hilang dari wajah Ryosuke. Dia memang lelaki
idaman, pikir Laras.
Pukul
22:50, Ryosuke berdeham, “Sudah hampir waktunya.”
Laras
melirik jam tangannya, “Baiklah.”
Lalu
mereka bergerak. Ryosuke dengan sigap menaruh kedua gelas dan plastik bungkus
roti Laras di atas nampan, meletakkannya di rak pengembalian nampan, kemudian
mengulurkan tangannya kepada Laras tepat saat Laras berdiri dari kursinya.
Bergandengan tangan, mereka keluar dari kafe.
Di
luar ternyata dingin. Laras yang tidak mengenakan jaket bergidik sedikit, yang
dengan cepat ditanggapi oleh Ryosuke dengan cara melampirkan jaketnya sendiri
ke atas bahu Laras. Meskipun Laras menganggap perlakuan semacam itu agak
ketinggalan zaman, tetap saja tak bisa dipungkiri bahwa itu menguntungkannya.
“Akan
kuantar kau sampai rumah.”
Laras
mengangguk, membiarkan Ryosuke setengah berlari menarik tangannya, mengejar pintu
kereta yang—berdasarkan pengumuman dari kondektur—sebentar lagi menutup.
Seperti lumrahnya malam hari di akhir pekan, kereta itu penuh sehingga mereka
harus berdiri. Laras terdesak oleh orang-orang yang masuk belakangan—semuanya
berisik dan bau alkohol—hingga ia terhuyung dan membentur dada Ryosuke, tapi
dengan cepat ia menegakkan dirinya kembali. Ada jarak yang harus ia jaga.
Seperti ini—dengan jemari tangan keduanya terjalin satu sama lain, bahu
bersentuhan—adalah kedekatan yang tepat bagi Laras.
Kereta
berguncang maju. Tiga layar di atas pintu kereta memperlihatkan tiga iklan yang
berbeda, kesemuanya sama membosankannya. Pandangan Laras beralih ke jendela
kaca di depannya. Pemandangan malam berupa warna-warni lampu kota dan papan
iklan menyerbu matanya. Lampu-lampu, papan iklan, apartemen yang tinggi, dan
sesekali langit gelap—begitu terus berganti-ganti. Laras mendadak merasa muak
kemudian akhirnya menyalakan telepon genggamnya, memeriksa foto-foto yang
mereka ambil di gang-gang kecil Shibuya tadi. Tempat-tempat itu memang
fotogenik—pernak-pernik berwarna cerah di dalam toko yang kumuh, mural absurd
dengan tulisan bahasa Inggris yang ngaco, sudut temaram yang dipenuhi
sampah kaleng bir dan puntung rokok—semuanya memuaskan hasrat membangkang Laras
terhadap budaya pop impiannya di masa lalu itu.
“Lihat,
yang ini bagus.” ujar Laras, memperlihatkan swafoto berdua yang tadi mereka
ambil di tengah-tengah gang.
Ryosuke
mengintip melalui bahu Laras, tersenyum, “Syukur, ya.”
Segera
saja Laras mengunggah foto tersebut melalui akun instagram-nya. “Quality
time sama pacar.” tulisnya di bawah foto, sebelum ia hapus dan ganti
menjadi “Jumat dahsyat.”
Merasa
puas, ia menyimpan kembali telepon genggamnya ke dalam saku. “Satu stasiun
lagi.” ujarnya kepada Ryosuke, yang membalasnya dengan senyum. Sisa perjalanan
mereka habiskan dalam diam.
Ryosuke
masih menggandeng tangan Laras sampai mereka tiba di depan pintu kamarnya.
Apartemennya kecil dan hanya terdiri dari dua lantai. Beruntung Laras bisa
mendapatkan kamar di lantai dua. Kalau tidak, ia harus menutup gorden sepanjang
waktu karena lantai satu berbatasan langsung dengan jalan.
Laras
perlahan melepas tangan Ryosuke kemudian mengembalikan jaketnya, “Terima
kasih.”
“Tidak
apa.”
Entah
untuk menutupi kecanggungan, atau karena rasa panas yang tertinggal di
tangannya setelah lepas dari tangan Ryosuke, tercetus dari bibir Laras, “Mau
masuk?”
Ryosuke
tidak terlihat kaget, malah, ia tersenyum—senyuman kecut tanda menyesal, “Maaf,
tapi... kamu tahu, ‘kan?”
Ya,
Laras mengerti dan memang tidak seharusnya ia mengusulkan itu, karena apabila
Ryosuke menyanggupi, kemungkinan antara Ryosuke yang berkompromi atau Laras
yang memberi kompensasi, dan kedua pilihan tidak memungkinkan pada saat itu.
“Baiklah,”
desah Laras, “terima kasih untuk hari ini.”
Ryosuke
mengecup kening Laras, “Terima kasih karena selalu menggunakan layanan kami.”
Tepat
pukul 23:30. Setelah membungkuk singkat sebagai salam profesional, Ryosuke
melangkah pergi. Laras mengawasinya hingga hilang dari puncak tangga, kemudian
menyalakan telepon genggamnya. Melalui sebuah aplikasi, ia mengonfirmasi bahwa
servis yang ia terima hari ini sudah selesai dan menandai lima bintang untuk
“Ryosuke”. Sambil menimbang-nimbang apakah “Ryosuke” layak dipertahankan
ataukah ia perlu memikirkan spesifikasi lain untuk kencan minggu depan, ia
membuka kunci pintu dan masuk ke dalam kamarnya yang dingin.
(selesai)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar