Belum lama ini aku mendapat pengalaman baru yang cukup berharga dan ingin kuceritakan sedikit.
Jadi belum lama ini aku dapat tawaran kerjaan menjadi penerjemah orang Jepang (selanjutnya akan kutulis Nihonjin) yang sedang melakukan penelitian di Jogja. Kontrak kerjanya cuma seminggu, jadi kuambil aja, itung2 dapat duit tambahan.
Kali itu adalah pertama kalinya aku menjadi penerjemah, secara profesional. Memang, aku sudah beberapa kali menemani Nihonjin dalam berbagai kesempatan, tapi ini pertama kalinya aku melakukannya sebagai sebuah pekerjaan. Biasanya sih cuma--uhuk--volunteer seadanya yang kadang dialog2nya sudah dipersiapkan dalam naskah lebih dulu, jadi aku tinggal cuap2 sesuai naskahnya. Tapi kali ini berbeda. Selama 6 hari penuh dari pagi sampai sore, otakku rasanya tak berhenti bekerja mengalihkan bahasa Jepang-Indonesia dan sebaliknya. Kadang2 malah harus switch ke bahasa Inggris juga gara2 bahasa Jepang-ku yang pas2an. Benar2 sebuah pencapaian lah pokoknya, capek banget. Tapi jelas pengalaman dan pelajaran yang berharga.
Nihonjin yang kutemani kemarin ada 3 orang; 1 perempuan muda bernama Marie, 1 bibi2 cantik bernama Tomoyo, dan 1 kakek (dibilang kakek juga, masih terlihat bugar kok) bernama Junichi. Marie dan Junichi mewakili sebuah stasiun radio di Kobe, dan Tomoyo adalah kepala bagian Disaster Management di JICA (Japan International Cooperation Agency). Mereka di sini dalam rangka menjalankan program pengenalan dan pembentukan tim siaga bencana mandiri berbasis komunitas desa. Fokus mereka sementara ini adalah beberapa desa di sekitar gunung Merapi yang pada erupsi 2010 lalu terkena dampak cukup besar. Tujuan utamanya adalah agar masyarakat di desa2 tersebut memiliki kesadaran dan awareness yang lebih sebagai penduduk kaki gunung dan agar mereka dapat membentuk tim siaga mandiri yang tidak bergantung pada pemerintah untuk take action. Karena--as we know already--kita orang Jawa yang alon2 waton kelakon ini kebanyakan masih bertindak sesuai perintah atasan dan memiliki keawasan yang kurang karena banyak faktor, salah satunya anggapan "nek ncen wes takdire mati yo uwis" tanpa diiringi kegiatan pencegahan. Dan hal ini hanya dua faktor kecil dari banyak hal lain yang menyebabkan masih kurangnya kesiagaan kita sebagai masyarakat yang hidup di negara kepulauan rawan bencana alam ini.
Pada proyek yang direncanakan akan dibangun selama 2 tahun ke depan ini, Tomoyo mengusung kegiatan tim siaga bencana mandiri (selanjutnya disingkat TSBM aja ya) yang berbasis di Kobe, yang dibentuk setelah gempa besar Hanshin-Awaji tahun 1995. Ia menceritakan latar belakang pembentukan tim tersebut, yaitu karena penduduk Kobe kecewa akan ketidakmampuan mereka melindungi diri sendiri dan orang2 yang disayangi akibat ketidaktahuan mereka tentang siaga bencana. Jadi atas kesadaran sendiri, mereka membentuk TSBM di banyak tempat di perfektur Hyogo.
Tim ini melakukan kegiatan tahunan antara lain berbagai macam pelatihan--bukan hanya pelatihan evakuasi, tapi juga latihan pemadaman api, first-aid, pertolongan terhadap orang2 berkebutuhan khusus, latihan memasak di dapur umum tempat evakuasi, dsb. Selain itu mereka juga membuat event2 kerjasama dengan sekolah, seperti memadukan latihan membuat tandu atau estafet ember (untuk saat terjadi kebakaran) dengan acara tahunan festival olahraga sekolah. Ada juga kegiatan pelatihan tim siaga junior, dimana pesertanya adalah anak SD-SMP. Semuanya telah menjadi kegiatan yang terstruktur dan kontinyu dilaksanakan setiap tahun. Berikut ini beberapa foto kegiatan mereka yang kuambil dari slide presentasi Tomoyo. (Semoga nggak masalah ya, anggap saja aku berbagi ilmu =P)
Latihan pertolongan pertama |
Latihan tali-menali. Yang ikut anak2 dan lansia. Haha |
Tempat penyimpanan barang2 keperluan evakuasi milik bersama (sekop, ember, dll). Kalo di sini mungkin udah dijebol orang. |
Latihan menginap di tempat evakuasi. Aku tau apa yang kau pikirkan: tempat evakuasinya bagus banget -_- |
Latihan evakuasi khusus untuk lansia |
Latihan memadamkan api dalam acara festival olahraga |
Latihan evakuasi sambil membawa tandu |
Latihan pernafasan buatan |
Latihan penyelamatan orang2 berkebutuhan khusus |
Latihan membuat tandu lalu dilombakan dalam festival olahraga |
Peresmian Tim Siaga Junior |
Lomba cepet2an memilih benda yang tepat untuk dimasukkan dalam emergency bag |
Mereka sangat detail mempersiapkan semuanya. Di rumah masing2 mereka sudah memiliki emergency bag untuk tiap anggota keluarga. Emergency bag ini sudah siap sedia, jadi ketika tiba2 ada gempa atau apapun, mereka tinggal ambil lalu lari. Take and run. Isinya selain benda penting dan berharga (uang, surat2 penting, makanan instan, baju, peluit, senter) juga bisa dimasukkan buku, krayon, foto keluarga, foto pacar, atau apapun yang menurut orang itu dapat membuatnya tetap waras dan kuat untuk terus menjalankan hidup di tempat evakuasi. Menurutku, ini adalah hal yang sangat Njepang sekali. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat desa kaki Merapi, mereka merasa cukup hanya membawa uang secukupnya dan surat2 penting (KK, akte kelahiran, surat nikah, dll) karena toh setelah berada di tempat evakuasi, entah bagaimana caranya mereka pasti akan hidup, saling tolong-menolong dengan yang lain, saling mendukung dengan yang lain, dan bertahan dengan memanjatkan doa, percaya akan adanya pertolongan entah dari mana, harapan bahwa segalanya akan kembali membaik.
Nihonjin, sebaliknya, tanpa kepercayaan apapun yang mendukung kekuatan hati mereka, tanpa ikatan yang begitu kuat antar manusia satu dengan yang lain, menjadi lebih realistis dan bergerak atas dasar pemikiran yang matang. Lahirlah emergency bag berisi persiapan yang sangat lengkap, bahkan sampai benda2 hiburan. Kalau sampai ada yang kurang, mungkin mereka bisa panik. Sebaliknya kita yang sejak awal tidak memiliki standar kesiapan, jadi selalu nerimo. Opo2 nerimo. Yah, ada bagus dan tidaknya tentu saja, alangkah baiknya kalau kita bisa saling belajar dan menutupi kekurangan masing2.
Aku jadi membayangkan, dalam emergency bag Hanamichi Sakuragi (Slam Dunk) pasti ada bola basket dan dalam emergency bag Koyuki (Beck) mungkin ada gitar.
Kemudian, Tomoyo juga menyatakan pentingnya keberanian untuk selalu lebih siaga daripada yang lain. Misalnya dalam keadaan gempa kecil telah terjadi berulang kali di desa kaki gunung, namun status gunung masih waspada (satu tingkat di atas normal) dan belum ada anjuran untuk evakuasi, namun si A sudah merasakan adanya bahaya dan perlu mengajak tetangga2nya untuk mengungsi. Perlu keberanian bagi A untuk itu, karena bisa jadi status gunung tidak akan berubah menjadi siaga (satu tingkat di atas waspada) dan orang2 yang terlanjur mengungsi akan menyalahkannya karena membuat mereka buang2 waktu.
Banyak sekali yang bisa dipelajari. Proyek ini masih akan mereka bangun 2 tahun kedepan, dan aku yakin tidak akan mudah. Dalam kunjungan ke beberapa desa kemarin, aku menyadari banyak perbedaan karakteristik. Desa A perangkat desanya sangat bergantung pada bantuan--mereka bahkan terang2an meminta bantuan (baca: duit) pada Tomoyo dkk karena menurut mereka pembentukan TSBM atau pembuatan emergency bag untuk semua orang butuh duit--sementara menurut mereka, desa mereka miskin. Ketika menerjemahkan bagian itu, aku sebagai sesama orang Indonesia rasanya malu sekali. Dengan agak kesal aku jadi berapi2 mengatakan balasan dari Tomoyo bahwa uang itu bukan masalah selama desa ini masih punya sumber daya manusia. Emergency bag bisa dibuat sendiri, bahkan dari taplak atau karung bekas. Dan pembentukan tim siaga bahkan sudah bukan soal uang lagi, melainkan tenaga muda yang siap belajar. Kalau ingat lagi sekarang, rasanya aku masih kesal. Huh. -_-
Di desa B, Kepala Desa-nya sangat ramah dan kooperatif, sampai rasanya aku pengen nangis. Para pemuda desanya juga--meskipun kelihatannya agak malu2 gengsi buat ikut acara seminar itu karena ada Nihonjin-nya--tetap ikut sampai akhir dan memberikan pendapat2 yang membangun. Demikian pula dengan ibu2 darma wanita yang terlihat antusias mengikuti workshop dan mengeluarkan pendapat saat diperlukan. Desa B ini bahkan kelihatannya lebih tidak mampu dibanding desa A, namun aku bisa melihat bahwa mereka punya semangat untuk belajar. Kami pun pulang dari desa B dengan senyum. Sayang seribu kali sayang, belakangan aku mengetahui bahwa orang2 yang datang ke seminar itu ternyata dapat "amplop". Astaga. Batal deh senangnya. I wonder apakah respon mereka juga akan sebaik itu seandainya di awal nggak dikasih amplop. Ato jangan2 malah nggak ada yang datang. (.__.)
Di desa C, kunjungan kami tidak lama karena terpotong jumatan--yang harus kujelaskan pada mereka bahwa jumatan itu tidak bisa ditinggal, harus dilakukan pada waktu itu juga--sehingga kami hanya sedikit berdiskusi, bukan melakukan seminar-workshop seperti di desa A dan B. Meskipun begitu, desa C sepertinya sudah memiliki kesadaran yang cukup tinggi, karena setidaknya perangkat desanya sudah tahu cukup banyak tentang kesiagaan bencana, tinggal bagaimana caranya agar penduduk desa yang amatir dan nggak minat pun memiliki kesiagaan yang sama.
Terakhir adalah desa D, yang menurutku paling stands out di antara yang lain. Desa D ini tidak hanya sudah memiliki TSBM terstruktur beserta latihan2 tahunannya, mereka juga sudah membuat tim junior dan mendirikan jaringan radio pendidikan siaga bencana untuk segala umur. Selain itu, aku bisa melihat bahwa mereka masih ingin belajar lagi, masih ingin menjadi lebih baik lagi. Senang sekali rasanya bertemu dengan Pak S (bukan bermaksud pake inisial, aku memang lupa namanya, pokoknya huruf depannya S) yang sangat cerdas dan inovatif menjadi otak dalam setiap kegiatan siaga bencana desa ini. Masalah mereka saat ini cuma satu, yaitu sepertinya semua orang masih terlalu bergantung pada Pak S, sehingga selain Pak S, yang lainnya menjadi kurang kreatif dan cenderung ingin ngikut aja. Tapi nggak apa2, they already have a good start, ke depannya pasti akan baik2 saja.
Bagiku pribadi, kunjungan ke desa2 ini pun merupakan pelajaran. Desa D--yang paling siap dan semangat penduduknya--adalah desa yang paling dekat dengan Merapi. Sementara desa A adalah yang paling jauh (dari keempat desa itu). Aku jadi menyimpulkan teori kasar bahwa semakin sulit keadaannya mungkin justru semakin besar semangatnya. Mutu mental manusia memang tidak didapatkan dengan instan. Ada proses pembangunan yang berkelanjutan, yang melibatkan banyak situasi, kondisi, lingkungan, dan orang lain. Tentunya kita sebagai manusia yang hidup di negara berkembang multikultur ini telah terjebak dalam banyak sekali situasi yang membuat kita harus belajar terus, membuka pikiran terus, agar tidak menjadi seragam. Agar tidak mampet kreatifitasnya. Agar tidak mundur kemampuan berpikirnya. Agar terbangun dengan baik harga dirinya.
Aku sangat bersyukur atas kesempatan ini. Semoga untuk selanjutnya pun akan banyak kesempatan belajar lain yang datang.
Dan jangan lupa untuk terus siap siaga. Terhadap apapun. =)
Salam hangat dan selamat berakhir pekan. =)
waahhh... senang bisa nemu blog yang mbahas tentang mitsume.
BalasHapussalam kenal...
saya nisa. belum lama mitsume menggandrungi mitsume.. hehe. mulai suka mitsume gegara teman saya cerita setelah nonton performnya mitsume di japanese whisper 2. katanya, mitsume keren banget... dan saya buktikan nonton video-video mereka di youtube :)
btw, ada kemungkinan mereka manggung di jogja lagi nggak ya mbak...? hehe
oya mbak, mau dong diposting tentang biodata masing-masing personel mitsume.. :)