Hello, there.
Baru kusadari ternyata sudah sekitar tiga bulan sejak post terakhirku. Kalo ibarat kamar, blog ku ini sudah penuh sarang laba-laba, jadi aku akan membersihkannya dengan cara kembali menulisinya.
Apa kabar kalian? Banyak hal terjadi dalam waktu-waktu belakangan ini. Sebagian menyenangkan, sebagian menggelisahkan. Aku benci perasaan gelisah, susah dijelaskan. Seperti sesak napas karena sesuatu mengaduk-aduk perut, panas. Seperti mata dan kepala yang terasa berat. Seperti seluruh serabut saraf yang menumpul. Seperti semua anggota badan yang enggan untuk bergerak--atau malah sebaliknya, bergerak di luar kendali.
Kadang ada penyebab jelas di balik perasaan gelisah. But in my case, sometimes it just comes out from nowhere. I suddenly started to imagining things. I hate it when it happens but need a lot of efforts to make it stop. Ketika perasaan itu datang melanda, tidak ada hal yang ingin kulakukan. Mungkin melamun saja.
Kegelisahan bisa bermacam-macam meliputi berbagai standar. Ada orang yang gelisah luar biasa hanya karena di wajahnya muncul jerawat atau berat badannya naik dua kilo. Ada orang yang gelisah memikirkan sekolah, kuliah, dan pekerjaan, sementara orang lain sama sekali tak ambil pusing dan hanya main game setiap hari. Ada orang yang gelisah karena masalah dengan kekasih, sahabat, atau keluarga, sebaliknya pula ada yang tidak terusik oleh masalah-masalah tersebut dan hanya memikirkan tentang dirinya sendiri.
Apa yang biasanya kita lakukan ketika hal-hal itu muncul? Mengeluh.
Semua manusia pasti pernah mengeluh, pun aku. Namun aku menyadari bahwa dengan standar masalah yang berbeda-beda, keluhan satu orang belum tentu sederajat dengan keluhan orang lain, belum tentu dapat diterima orang lain. Ketika orang temperamen marah-marah di jejaring sosial karena ia baru saja diperlakukan tidak adil oleh seseorang, orang lain bisa jadi setuju, bisa jadi hanya geleng kepala sambil berpikir, "cuma kayak gitu aja kok diambil pusing". Sama halnya ketika seorang gadis mengeluhkan sifat kekasihnya dengan imbuhan stereotip "emang cowok itu begini begitu" kepada sahabatnya yang laki-laki, sangat memungkinkan sahabatnya tidak memaknai masalah tersebut sama dengan yang ia maksud.
Menurutku, ada banyak faktor yang perlu dipikirkan sebelum mengeluhkan sesuatu, begitu banyaknya hingga kau menyadari bahwa sebenarnya tidak ada yang perlu dikeluhkan. Tentu saja kita tak mungkin sama sekali tidak mengeluh. Ketika lapar atau lelah, misalnya, dengan spontan aku akan langsung mengeluh, "uh..lapar" atau "uh..capek". Keluhan-keluhan ringan seperti itu sebenarnya diiringi dengan solusi yang ada di depan mata. Lapar? Ya makan. Capek? Ya istirahat. Ngantuk? Ya tidur. Kadang kita mengeluhkannya sambil lalu saja. Tidak masalah selama tidak terlalu sering. Yang kupikirkan adalah keluhan tentang sesuatu yang besar, masalah yang sebenarnya mungkin tidak perlu diekspos. Aku memperhatikan beberapa orang (bukan teman dekat kok, jadi kalau kau merasa teman dekatku, tenang saja, aku tidak sedang membicarakan kalian) selalu dengan mudah mengeluhkan berbagai hal yang sebenarnya bukan konsumsi publik namun ia gembar-gemborkan di mana-mana. Tidak hanya ia tidak menjaga privasinya sendiri, ia juga menyebarkan aib pihak lain. See? Aku sedang mengeluhkan orang yang suka mengeluh. Ironi.
Aku tidak sedang menasihati. Aku hanya menyadari bahwa alangkah menyenangkan apabila aku bisa menjadi lebih dewasa dan dapat menyikapi kegelisahanku dengan lebih baik, dan dapat mengeluh dengan baik pula. Apabila mengeluh itu tidak bisa dicegah, maka solusinya adalah mengemas dengan baik keluhan tersebut agar tetap rapi dan aman untuk dikatakan dan diketahui orang lain. Akan lebih bijaksana lagi apabila aku dapat selalu berpikir positif dan kegelisahan itu bahkan tak sempat muncul.
Lebih lagi, lebih lagi, aku ingin memperbaiki diri lagi, menjadi lebih dewasa lagi. Do you hear that, me?
Yes, challenge accepted.
Good night 'n sweet dreams. =)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar