Pukul tujuh pagi. Dalam kesadaran setipis kertas, aku bisa
mendengar gelora awan kelabu yang berat dan penuh, siap memuntahkan seluruh
bebannya ke permukaan tanah yang tidak bersalah. Awan yang berat itu mungkin
menggantung dari kelopak mataku juga, tapi aku harus bangun.
“Sepertinya akan ada badai.” Kudengar Jun mendesah.
Aku setuju, tapi terlalu malas untuk menjawab. Kupaksa
diriku berangsut dari kasur untuk membuat kopi.
Mai meletakkan kertas-kertas tugasnya. “Mau membolos?”
Jun menimbang-nimbang. “Sebaiknya jangan. Hari ini penting.”
Suara mesin penggiling biji kopi menelan perkataan Mai
selanjutnya, tapi aku yakin bahwa ia pasti setuju. Mai dan Jun adalah mahasiswa
teladan. Satu atau dua badai tidak akan menghalangi mereka berjalan menembus
hujan selama 15 menit ke stasiun, berdesakan di dalam kereta yang lembab dan
berbau lumut, dan berlari ke kampus dengan payung yang mengembang sia-sia
karena angin terus-menerus mendesaknya untuk mengembang ke atas dan bukannya ke
bawah.
Aku menuang kopiku sementara Jun dan Mai mulai melahap
sarapan mereka, roti dan telur seperti biasa, setelah keduanya setuju untuk
tetap berangkat kuliah mumpung hujan belum turun. Mereka makan cepat sekali.
Aku baru saja hendak memanaskan sisa makan malamku ketika mereka memakai
sepatu.
Mai terkikik geli saat Jun mengecup pipinya, kemudian sambil
bergandengan tangan, mereka keluar kamar dan mengunci pintu. Di antara dengung
microwave, aku mendengar langkah mereka menjauh.
Seandainya Jun tahu, bahwa pada hari-hari tertentu, bukan
suaranya yang kudengar di pagi hari.
-