Suatu hari, seorang pengelana berjalan di tengah padang pasir di bawah terik matahari. Ia telah berjalan dari kota selama hampir dua hari, dan kampung halaman yang ditujunya masih berjarak separuh perjalanan lagi. Saat ini, sang pengelana sedang mengalami kesulitan: persediaan airnya sudah habis. Ia harus mencari sumber air di tempat yang tidak memungkinkan ini agar bisa tetap bertahan hidup.
Beruntungnya ia, tak lama kemudian, seorang penggembala berpapasan dengannya. Sebelah tangan penggembala itu memegang seutas tali yang melingkari leher kambingnya yang kurus.
"Maaf," ujar pengelana, "bolehkah saya meminta air?"
Sang penggembala mengernyit memandangnya. "Kau tidak lihat bedebah ini!?" katanya, mengangguk berang pada kambingnya, yang balas memandangnya malas. "Aku harus membagi airku dengannya dalam perjalanan ini. Kau pikir masih ada bagian untukmu!?"
Sang pengelana memandang memelas, tapi penggembala hanya mendengus pergi. Pengelana pun kembali berjalan.
Menjelang sore, pengelana berpapasan dengan seorang kakek tua. Menolak gagal untuk kedua kalinya, sang pengelana memutuskan untuk bersikap lebih sopan.
"Selamat sore, Tuan." sapanya sambil tersenyum. "Jenggot Anda begitu panjangnya, pastilah umur Anda pun sama panjang. Namun, betapa gagahnya Anda terlihat. Siapakah gerangan Tuanku yang gagah ini?"
Kakek tua itu terlihat senang... mungkin. Entahlah, sang pengelana kesulitan membaca ekspresi yang tertutup terlalu banyak rambut, kerut, dan kutil itu.
Setelah mengulang kalimatnya beberapa kali karena rupanya kakek itu sudah mulai tuli, sang kakek menjawab, "Oooh, betapa santunnya kau, anak muda. Aku adalah seorang pengembara. Namaku Bijak."
"Salam kenal, Tuan pengembara Bijak yang gagah." balas pengelana nyaris berteriak. "Maafkan ketidaksopanan saya, tapi bolehkah saya meminta sedikit air untuk bekal perjalanan saya?"
"Tidak." jawab Bijak singkat, dan berlalu tanpa berkata apa-apa lagi.
Sang pengelana melongo. Tidak hanya kesopanannya sia-sia dan permintaannya ditolak, usahanya berteriak-teriak tadi membuatnya menjadi semakin haus. Setelah mengumpat sekeras mungkin ke arah punggung si kakek tuli yang sikapnya tidak sebijak namanya, ia pun melanjutkan perjalanan.
Hari mulai gelap diiringi suhu yang juga semakin dingin. Namun suhu itu tidak berhasil mendinginkan hati pengelana yang terbakar kemarahan. Persetan dengan sopan santun. Ia punya pisau lipat. Ia akan mengancam orang berikutnya yang ia lihat.
Dan orang malang itu adalah seorang wanita paruh baya dengan baju serba hitam dan tas tangan besar. Tidak mungkin tak ada air dalam tas tangan itu. Pengelana berjalan mendekat, pisau lipatnya terhunus.
"Berhenti!" teriak wanita itu saat sang pengelana--yang menuruti perintah dan berhenti--berjarak lima meter di depannya. "Aku adalah peramal. Aku sudah mengetahui kedatanganmu."
Sang pengelana meludah sebagai tanda bahwa ia tak peduli dan mulai maju, saat wanita itu tiba-tiba mengeluarkan sebuah bola kristal besar dari tas tangannya.
Bola kristal itu berpendar begitu indahnya di bawah cahaya bulan, hingga sang pengelana yang terkesima tanpa sadar menghentikan langkahnya, dan seketika mengetahui bahwa bola kristal itu ternyata tidak terlalu indah saat mendarat di kepalanya.
Ia nyaris dapat merasakan bintang-bintang bermunculan di matanya saat ia terjatuh bersama bola kristal itu. Tentu saja sang peramal--atau mungkin nenek sihir yang mengaku peramal--itu sudah lari terbirit-birit. Pening dan haus, pengelana hanya bisa mengumpat di dalam hati.
Sekarang sudah benar-benar gelap dan dingin. Dalam keadaan haus, pusing, menggigil, dan kening benjol, sang pengelana memutuskan untuk tetap berjalan. Kalaupun ia harus mati di padang pasir ini, setidaknya ia mati dalam usaha.
Namun rupanya keberuntungan masih berpihak padanya. Tak berapa lama, ia melihat sebuah gubuk. Meskipun yang terlihat hanya satu gubuk, pastilah ia telah sampai di sebuah perkampungan. Sekarang ia tinggal mencoba mengetuk semua pintu gubuk yang ia temukan dan berharap masih ada orang baik yang mengasihaninya dan keningnya yang benjol.
Merasakan sedikit percikan semangat, ia mendekati gubuk itu dan baru saja mengangkat tangan untuk mengetuk pintu saat pintu itu menjeblak terbuka di depannya.
Seorang pria besar yang memelihara terlalu banyak otot dan bekas luka berdiri di hadapannya. Dalam satu detik yang terlalu lama, sang pengelana melihat orang lain di belakang pria besar itu. Seorang pemuda yang sepertinya tidak baik-baik saja karena ia terbaring pucat, dan juga karena cairan merah yang keluar dari kepalanya ada banyak sekali. Masih dalam satu detik yang terlalu lama, ia juga melihat sekantung kecil emas di tangan kanan si pria besar dan sebilah golok di tangan satunya.
Satu-satunya hal positif dari semua ini adalah sang pengelana takkan haus lagi, karena sebentar lagi mungkin tenggorokannya akan putus.
"Mau apa kau?" tanya si pria besar dingin.
"Air." jawab sang pengelana datar.
"Apa itu cukup untuk menutup mulutmu?"
"Kalau ada satu kendi, ya."
Si pria besar berbalik, melangkahi kepala si pemuda, mengambil kendi besar di atas rak, lalu menyerahkannya pada sang pengelana.
"Terima kasih." ujar sang pengelana sungguh-sungguh.
Si pria besar mengerang dan menggaruk kepalanya yang juga besar, lalu tanpa diduga mengambil sekeping emas dari kantong dan melemparkannya pada si pengelana.
"Air itu untuk tutup mulut." kata pria besar. "Emas itu untuk ucapan terima kasihmu. Sudah, jangan bilang terima kasih lagi."
Sang pengelana mengangguk mengerti.
Pria besar menutup pintu gubuk lalu menghadap sang pengelana lagi. Bekas-bekas luka berpesta pora di wajahnya saat tertimpa cahaya bulan. "Apa yang kau lihat di gubuk ini?" tanyanya.
"Seorang pemuda yang sedang tidur." jawab sang pengelana.
"Bagus." kata pria besar. "Sekarang pergilah. Aku akan pergi ke kota."
Kota adalah tempat sang pengelana memulai perjalanannya. "Perjalanan Anda cukup jauh, Tuan. Tidakkah Tuan akan membutuhkan air?" tanya sang pengelana.
"Tak perlu." sahut pria besar sambil mengibaskan tangannya yang juga besar. "Ada sungai di pertengahan jalan. Aku bisa bertahan sebelum itu."
Sang pengelana juga melewati sungai itu dalam perjalanan kemari. Dan kecuali sungai adalah kosakata untuk sebuah kerukan tanah yang berisi batu, rumput layu, dan ikan mati, si pria besar salah besar. Sungai itu sudah kering sejak berbulan-bulan lalu.
Tapi, biarlah pria besar itu bermimpi. Tak usahlah ia menghancurkan mimpi pria baik yang menyelamatkan nyawanya. "Selamat jalan." kata sang pengelana sambil melambai pada si pria besar.
Kemudian sang pengelana melanjutkan perjalanan dengan sekendi air di tangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar