Kamar
itu tidak luas, tapi selalu terasa hangat dan nyaman bagi Balqis. Seluruh
permukaan dindingnya berwarna biru lembut, dihiasi sepetak jendela kaca yang
memperlihatkan pemandangan sawah hijau dan langit biru. Di atas meja kayu kecil
yang terletak persis di depan jendela itu, terpampang sebingkai foto. Seorang
wanita paruh baya dan seorang gadis cantik melambai dan tersenyum pada Balqis
dari foto itu. Ia tidak tahu siapa mereka, tapi ia menyukai suasana dalam foto
itu. Entah bagaimana, ada perasaan rindu. Seperti apabila kau menonton idolamu
melalui layar televisi setiap hari hingga suatu saat kau merasa memiliki ikatan
dengan orang itu, merasakan apa yang ia rasakan, dan kehilangan saat ia tak
muncul. Balqis memiliki perasaan khusus terhadap ruangan itu, terhadap foto
itu, tapi ia tak tahu apa nama perasaan itu.
Balqis
tidak mengetahui banyak hal. Ia menduga bahwa pada saatnya, dulu, ia mungkin
pernah mengetahui dan mengingat banyak hal, lalu mulai melupakannya satu per
satu, mungkin mengalami banyak depresi, dan perlahan mulai melepaskan semuanya.
Saat ini, hidup jadi tidak terasa terlalu istimewa bagi Balqis, kalau saja ia
tidak ditemani oleh seorang gadis yang namanya selalu sulit untuk ia ingat dan
ucapkan itu. Entah sejak kapan, gadis itu sering keluar-masuk kamarnya,
mengobrol, mengajak untuk menonton televisi bersama, kadang-kadang menggambar,
dan seringkali membawa makanan.
Balqis
senang karena ia punya teman, dan sedikit merasa bersalah karena ia selalu
melupakan namanya. Tapi, tampaknya gadis itu tidak keberatan. Gadis itu juga
sering datang hanya untuk bercerita, yang juga selalu menjadi usaha sia-sia
karena Balqis selalu melupakan ceritanya. Gadis itu bisa saja membawakan cerita
yang sama setiap hari dan Balqis takkan menyadarinya.
Ada
kalanya juga Balqis terbangun di tengah malam akibat gambaran-gambaran tidak
menyenangkan yang tiba-tiba menyerbu alam bawah sadarnya. Kalau tidak salah
ingat, gadis itu menamainya “mimpi buruk”. Pada saat seperti itu pun gadis itu
akan masuk ke dalam kamarnya dan menenangkannya, bersenandung hingga Balqis
terlelap kembali. Dan seringkali, saat terbangun keesokan paginya, ia telah
melupakan seluruh kejadian itu.
Balqis
memandangi kamarnya sekali lagi, sedikit bingung bagaimana dia tadi bisa berada
di situ. Seperti biasa, saat ia mulai merasa bingung, ia akan menjalankan
aktivitas favoritnya: melamun. Ia duduk di kursi kayunya yang nyaman dan mulai
melamun.
“Nek,”
kata sebuah suara dari balik pintunya. Ya, itu dia sebutan gadis itu padanya: Nenek.
“Ini Dafinah.” Lalu tanpa menunggu jawaban, Dafinah membuka pintu. Wajahnya
yang cantik menyembul dari sela pintu, “Ayo jalan-jalan.”Balqis
tidak begitu suka kegiatan yang mereka sebut “jalan-jalan” ini. Ia sudah tua,
kakinya cepat lelah, napasnya cepat habis, dan terlalu banyak warna dan suara
di luar sana. Ia lebih suka menikmati warna biru, putih, dan hijau yang sudah
sangat akrab dengan matanya, yang ia lihat dari kamarnya. Ia juga tidak suka
banyak suara, itu membuatnya sakit kepala. Mempertimbangkan semua alasan itu,
Balqis menggeleng.
Dafinah
tersenyum, pertanda ia belum menyerah. “Ayo jalan-jalan.” ulangnya. Kali ini ia
mendekat dan memegang lengan Balqis. “Aku akan membantu Nenek.”
Sesaat
Balqis merasa ingin menghempaskan gadis itu ke lantai dan menyuruhnya agar
berhenti mengganggunya, tapi rupanya untuk melakukan itu pun ia tak memiliki
kekuatan. Meskipun begitu, ia kukuh tetap duduk di kursinya. Dan tetap seperti
itu sampai sekitar 15 menit setelahnya, saat ia mendadak tidak mengerti kenapa
ia harus menolak ajakan gadis itu. Jalan-jalan itu, ‘kan, menyenangkan.
Dafinah
membantu Balqis berdiri, berjalan, dan memakaikan sandal bepergiannya. Ia tahu
lengan mana yang harus digamit, kaki mana yang harus disangga, ke mana saja
pandangan mata Balqis akan jatuh. Tubuh dan segala gerakan Balqis telah menjadi
begitu meresap dalam saraf Dafinah, seakan-akan ia bisa merasakan semua itu
terprogram di dalam otaknya dan ia cukup mengaktifkan beberapa tombol untuk
menjalankannya.
Bagi
Dafinah, masa-masa paling sulit dalam hidupnya mungkin sudah terlewati sekitar
10 tahun lalu, ketika neneknya dinyatakan secara resmi mengalami apa yang kita
sebut sebagai Demensia Alzheimer. Sebelumnya, Dafinah hanya mengetahui istilah
itu dari buku dan televisi. Ia mengetahui beberapa selebriti yang mengidap
penyakit itu. Ketika pada pertengahan usia 60 tahun Balqis mulai pikun, Dafinah
hanya menganggapnya penyakit tua biasa. Tak pernah terpikir olehnya bahkan
dalam satu juta tahun cahaya bahwa penyakit dengan nama rumit itu benar-benar
datang sedekat ini, bersarang di dalam sel-sel otak neneknya. Sungguh tak
disangka.
Hal
lain yang juga tak disangka adalah kenyataan bahwa sebenarnya Dafinah membenci
Balqis. Begitu membencinya hingga kebencian itu bisa membuatnya gila seandainya
ia bukan anak yang kuat. Bagaimana tidak, sejauh yang bisa ia ingat dan
ketahui, dan ia yakin ia tidak salah, Balqis adalah alasan utama kehancuran
hubungan kedua orang tuanya, yang berakibat kehancuran hubungan dengannya juga
sebagai anak satu-satunya.
Sejak
awal memang keluarga mereka tak bisa dibilang keluarga ideal yang harmonis,
hanya saja keadaan menjadi semakin buruk sejak Balqis yang menjanda karena
ditinggal mati suaminya harus tinggal dengan anak laki-laki, menantu, dan
cucunya yang saat itu berusia 10 tahun, Dafinah. Balqis sebenarnya bukan wanita
yang kejam, ia hanya terlalu menyayangi anak laki-lakinya. Ia mencintai anak
laki-lakinya dengan membabi-buta, membenarkan segala yang ia lakukan, mengamini
segala yang ia ucapkan. Dafinah yakin bahkan seandainya ayahnya mulai
mengonsumsi obat-obatan terlarang sebagai camilan pengganti rokok, Balqis
takkan keberatan, karena ia adalah anak emas satu-satunya. Balqis akan menggendongnya
dan menyusuinya hingga ke liang kubur. Cinta Balqis yang berlebihan ini membuatnya
lupa bahwa menantunya juga seorang manusia yang hidup dan memiliki perasaan. Badai
pun menerjang hari-hari mereka tanpa pandang waktu: liburan, lebaran, sarapan,
makan malam. Ketenangan yang sifatnya sementara selalu datang dan pergi, tapi
awan gelap penuh petir senantiasa mengintai dari permukaan, tak pernah
benar-benar lenyap.
Kabar
gembira datang saat Dafinah berusia 15 tahun—kedua orang tuanya akhirnya
memutuskan untuk berpisah selama-lamanya. Ia tidak merasa sedih sama sekali,
malah heran kenapa mereka tak melakukan itu sejak dulu. Lima tahun (ditambah
tahun-tahun sebelum neneknya datang) itu waktu yang sangat panjang untuk saling
berteriak, memaki, dan membenci. Entah untuk apa mereka bertahan selama
itu—bahkan setelah dipikir lagi, entah kenapa mereka dulu bisa memilih satu
sama lain untuk dinikahi. Setelah diputuskan bahwa Dafinah akan ikut ayahnya
(dan tentu saja neneknya) karena ibunya tidak bekerja, ia pun melanjutkan hidup
dan tidak pernah menoleh lagi, meskipun kebenciannya pada Balqis tak pernah
berkurang setitikpun.
Dua
tahun setelah bercerai, ayah Dafinah meninggal karena kecelakaan. Malang bagi
ayahnya, rupanya Tuhan hanya mengijinkan ayahnya menikmati hidup damai tanpa
badai selama dua tahun. Kematian itu membuat Dafinah terpaksa hidup hanya
berdua dengan Balqis, yang nyaris menjadi mayat hidup setelah Tuhan memutuskan
untuk mengambil kembali anak semata wayangnya. Tentu saja Dafinah punya pilihan
untuk menyerahkan neneknya ke panti jompo, lalu mulai hidup sendiri. Toh, ia
sudah berusia 17 tahun, tahun depan ia sudah kuliah, ia bisa mendapatkan
beasiswa untuk sekolahnya, dan ia juga mendapat harta warisan dari ayahnya yang
tidak sedikit. Tapi, Dafinah bukan orang yang cuek, yang bisa membiarkan para
tetangga membicarakannya sampai mulut mereka berbusa-busa, mengatainya anak
perempuan tak berperasaan yang menelantarkan neneknya yang malang. Ya, ia lebih
peduli pada pendapat tetangga daripada nasib nenek itu sendiri. Akhirnya,
dengan dendam yang masih bercokol di dasar hatinya, ia memutuskan untuk tetap
tinggal dan menemani Balqis. Tidak diawali dengan motif yang suci, sebenarnya,
tapi siapa peduli?
Segalanya
terasa mudah karena Balqis hidup bagai selongsong kosong. Ia tidak banyak
bicara, tidak banyak meminta, tidak banyak menampakkan dirinya di luar kamar.
Seandainya Dafinah tidak harus memasak untuknya, sesungguhnya ia praktis hidup
sendiri. Dafinah tidak keberatan dengan keadaan ini. Malah, ia cenderung senang
karena akhirnya ia bisa merasakan ketenangan yang sebenarnya.
Tapi
rupanya ketenangan itu tak berlangsung lama. Saat Dafinah berusia 19 tahun dan
sedang disibukkan oleh kuliah dan kerja sambilan, ia mulai menyadari sepenuhnya
bahwa Balqis yang berusia 65 tahun itu sudah tua. Apapun bisa dan mulai
terjadi sekarang pada neneknya. Pikun, sulit mendengar, sulit mengunyah, sulit
menyelesaikan urusan di kamar mandi, sementara malaikat pencabut nyawa mungkin
sudah mengawasi dari sudut kamar, menunggu perintah dari atasan untuk beraksi.
Fakta
yang mendadak terpikir itu membuka sebuah pemahaman baru dalam benak Dafinah:
ia perlu melakukan perawatan ekstra terhadap neneknya. Bukan hanya memasak
untuk makan tiga kali sehari, kali ini ia harus memikirkan menunya dengan lebih
baik—mengurangi daging dan santan serta memperbanyak sayuran, misalnya.
Menawarkan bantuan apabila neneknya terlihat kesulitan atau melupakan sesuatu
(sungguh, sebelumnya ia tak terpikir bahkan untuk melakukan hal sekecil ini),
membantunya berjalan ke kamar mandi, dan mungkin mengajaknya berolahraga ringan
setiap pagi. Dafinah sendiri terkejut akan kebaikan-kebaikan yang terpikir
olehnya, mengingat beberapa tahun yang lalu ia pernah sepenuh hati berharap
agar neneknya itu cepat mati. Betapa waktu yang berjalan itu bisa mengubah
apapun.
Maka,
dimulailah hari-hari saat Dafinah dan Balqis mulai berbicara lagi satu sama
lain. Mereka sarapan dan makan malam bersama, menonton televisi bersama,
sesekali Dafinah mengajak neneknya pergi ke pasar saat ingin ganti suasana.
Dalam banyak kesempatan itu, Dafinah menyadari bahwa neneknya tak sekadar pikun
karena tua. Balqis terlalu sering lupa. Awalnya ia melupakan hal-hal yang wajar
seperti nama-nama orang, peristiwa-peristiwa kecil, hari dan tanggal, dan
hal-hal kecil lainnya. Namun, lambat laun ia sering melupakan kata-kata sederhana,
tak bisa fokus saat berbicara, dan tidak mendengarkan saat orang lain bicara
padanya. Dafinah sering menemukan Balqis berdiri kebingungan di dapur atau
ruang tamu, lupa hendak kemana atau melakukan apa. Terkadang ia kehilangan
sesuatu lalu mencarinya di seluruh sudut rumah dengan tingkat histeria yang
berlebihan, padahal ternyata benda yang ia cari itu tersimpan di dalam laci
lemarinya.
Gangguan
ingatan itu terjadi begitu seringnya hingga membuat emosi Balqis bergejolak
dengan intens. Ia menjadi mudah tersinggung dan sering marah, mendadak takut
dan curiga, dan tidak bersemangat melakukan apapun. Sedikit suara keras dari
Dafinah yang membangunkannya pada pagi hari bisa membuatnya mengamuk dan
kegagalannya mencari sendok untuk makan malam bisa membuatnya menangis. Kabut
kebencian Dafinah yang tadinya mulai menipis kembali memadat. Balqis nyaris
kembali menjadi dirinya yang dulu, hanya saja kali ini ia membawa seperangkat
sifat tambahan yang ikut campur di luar kuasanya—serangan pikun dan serbuan
gejolak emosi. Dalam kekalutan akibat perasaan benci dan kasihan yang berkecamuk,
Dafinah memutuskan bahwa sikap neneknya bisa dikategorikan tidak wajar, dan
karenanya ia merasa perlu mencari tahu.
Sambil
belajar untuk ujian akhir tahun pertamanya di universitas, Dafinah pun
menjelajahi internet, bertanya pada beberapa kenalan melalui media sosial
perihal perubahan sikap Balqis yang kurang wajar. Dari situs-situs yang
berhasil ia temukan dan pendapat-pendapat yang ia kumpulkan, ia menyimpulkan
bahwa ada kemungkinan neneknya mengalami gejala Demensia yang mungkin
disebabkan oleh kerusakan sel-sel otak. Apakah neneknya terkena penyakit
Alzheimer yang terkenal itu, ia tidak terlalu yakin karena penjelasan yang ia
dapatkan dari internet terlalu banyak dan ia takut salah memilah. Akhirnya—sambil
heran sendiri kenapa tidak sejak awal saja ia melakukan ini—ia memutuskan untuk
membawa Balqis menemui dokter.
Meskipun
Dafinah dan Balqis harus melewati perdebatan panjang saat berusaha membuat
neneknya itu mengerti mengapa ia perlu menemui dokter, sang Dokter sendiri
rupanya tak memerlukan banyak waktu untuk menyatakan bahwa Balqis memang
menderita Alzheimer. Lalu, Dokter menjelaskan banyak sekali hal mengenai apa
itu Demensia Alzheimer, bagaimana penyakit itu bisa muncul, bagaimana
kemungkinan nasib penderita untuk seterusnya, dan yang terpenting, bagaimana
orang-orang di sekitar penderita sebaiknya bersikap dan apa saja yang perlu
mereka lakukan. Dafinah pun segera disuguhi menu latihan fisik ringan harian,
peraturan-peraturan mengenai makanan, cara menjaga kesehatan, jam tidur, dan
lain sebagainya.
Dafinah
tidak sempat merasa terkejut atau sedih atau apapun. Yang ia tahu hanyalah saat
ini ia tidak bisa mundur lagi. Bagaimanapun, sekian persen dari darah yang
mengalir dalam tubuh Dafinah adalah darah Balqis juga. Sekarang, ia hanya harus
mempersiapkan hati dan menyisihkan waktu untuk selalu ada saat Balqis
membutuhkannya. Dan ia bertekad akan melakukannya. Ia sudah bertahan sampai
sejauh ini—mengalami masa yang tidak menyenangkan bersama kedua orang tua yang
tidak akur, nenek yang jahat, berpisah dari ibunya, ditinggal mati ayahnya.
Kenapa tidak sekalian saja ia merawat nenek yang dulu menghancurkan hidupnya?
Ia sudah berada di lingkaran ini sejak dulu, dan ia akan melanjutkannya,
membuang semua perasaannya, membentuk yang baru. Bersama Balqis yang baru ini,
Dafinah pun akan menjadi baru.
Dan
saat ini, sepuluh tahun sejak tekad itu ia tancapkan dalam-dalam di hatinya, ia
telah mengalami proses panjang sedemikian rupa hingga ia bisa menjadi tangan
kanan Balqis, kaki Balqis, mata Balqis, pelengkap otak Balqis. Ia hampir
berusia 30 tahun sekarang, sementara Balqis telah berusia 75 tahun dan hanya
Tuhan yang tahu berapa tahun lagi yang tersisa baginya. Setelah lulus kuliah,
Dafinah tetap tinggal di kota itu dan mengambil beberapa pekerjaan sambilan
agar ia tidak kehilangan terlalu banyak waktu untuk menjaga neneknya. Ia juga
menghindari undangan teman-teman lamanya untuk berkumpul karena setiap kali ia
melakukannya, perasaan iri yang tak diinginkan itu selalu menyeruak dengan
menyakitkan. Perasaan itu membuat Dafinah merasa terlalu banyak berkorban dan
ingin menuntut kehidupan yang lebih baik, padahal ia tahu bahwa yang ia lakukan
saat ini benar. Ia menghindari banyak kesenangan yang sebenarnya bisa ia
dapatkan, dan belajar melepaskan semua perasaan yang tidak perlu, yang
membuatnya menjadi negatif. Ikhlas. Betapa mudah segala sesuatu ketika
ia menemukannya. Ikhlas adalah senjata terkuat bagi Dafinah dalam menjalani
hidup hanya berdua dengan neneknya. Bahkan, Dafinah cukup bersyukur ia memiliki
tanggung jawab merawat Balqis, karena dengan begitu ia punya alasan untuk tidak
menikah dulu. Mengingat semua kejadian yang ia saksikan selama keluarganya
masih utuh, menikah jelas berada di urutan terakhir dalam daftar hal-hal yang
ingin ia lakukan. Saat ini, Dafinah dan Balqis hanya memiliki satu sama lain.
Dan sejauh ini, itu sudah cukup.
“Ayo,
Nek.” ujar Dafinah, memegang lengan Balqis erat lalu mengayunkan daun pintu
depan sampai terbuka.
Cahaya
matahari pagi yang agak terlalu terang mengejutkan Balqis sehingga tangannya
otomatis bergerak untuk menutupi mata, tapi rupanya tangan Dafinah sudah lebih
dulu ada di sana.
“Lupa!”
teriak Dafinah seraya tertawa. Ia memasangkan topi lebar di kepala Balqis. “Pas?”
“Ya.”
jawab Balqis, mengangguk. Sebenarnya ia agak ragu untuk terus pergi karena
sepertinya hari ini terlalu panas. Tapi, gadis itu tampak menyenangkan. Mungkin
tidak ada salahnya. Ah, siapa pula namanya tadi?
“Dafinah,
Nek.” celetuk gadis itu tiba-tiba. Entah dia bisa baca pikiran atau Balqis tadi
tanpa sadar bicara keras-keras.
“Ya,
Dafi.” kata Balqis. Tiga suku kata agak terlalu banyak baginya. Gadis itu
tersenyum. Sepertinya ia tidak keberatan.
“Jalan-jalan.”
kata Dafinah riang.
“Jalan-jalan.”
ulang Balqis.
Dafinah
memantapkan pegangannya di lengan Balqis, menuntunnya keluar, lalu menutup
pintu di belakangnya. (selesai)