Suara desis asap dari cerobong membangunkanku.
Entah sejak kapan, sepertinya aku terlelap oleh goncangan lembut kereta ini. Pemandangan hijau berkelebat seiring mataku berkedip membiasakan penglihatan. Seorang penjaja makanan membawa kereta dorong berhenti di samping kursiku. Kugelengkan kepala sambil tersenyum sebelum ia sempat berkata apa-apa, sehingga--setelah melemparkan pandangan sengit--ia pun langsung menawarkan jajaannya ke kursi di depanku. Rupanya sudah tengah hari, saatnya makan siang.
Kuambil tas tanganku, lalu berdiri--terlalu cepat, hingga selama beberapa detik pemandangan ruangan itu terlihat berputar. Ugh, aku benci anemia. Kelainan ini menyebabkanku lebih sering jatuh pingsan daripada bermain di pantai atau taman di bawah sinar matahari yang hangat. Tapi apa boleh buat, sudah terlahir seperti ini. Sambil mendesah, aku pun beranjak menuju gerbong restoran.
Ya, sebenarnya aku lapar, tapi aku tidak suka membeli makanan di kereta dorong. Aku ingin menikmati makan siangku di tempat yang memang seharusnya untuk makan.
Gerbong restoran nyaris kosong saat aku datang, hanya ada seorang nenek sangat tua yang tangannya gemetaran menyendokkan bubur ke mulutnya. Aku mengabaikannya lalu memilih meja di sudut belakang restoran. Aku selalu suka duduk di sudut, manapun, karena itu memungkinkanku untuk melihat semua orang yang datang dan semua kejadian yang terjadi. Kadang aku menyengaja masuk ke suatu tempat sendirian dan duduk di sudut, hanya untuk melihat orang lalu lalang. Aku suka sekali, sampai-sampai kupikir kalau aku mati nanti, aku ingin dikubur di sudut kompleks makam, kalau boleh memilih.
Seorang petugas memberiku menu sambil lalu tanpa berkata apa-apa. Yah, aku tahu pelayanan di kereta ini memang payah. Tak apa lah, toh aku tidak berharap mendapat sekedar senyum dari mereka.
"Kopi dan cheese cake." kataku setelah membaca menu. Petugas tadi mengangguk bosan dan langsung pergi.
Kulayangkan pandanganku ke luar jendela. Mataku terasa kering. Oh ya, aku kan pakai softlens. Aku lupa sejak kapan dan kenapa aku pakai softlens. Seingatku, aku membencinya. Tapi ya sudahlah. Kuambil tetes mata dari tas tanganku dan kuteteskan beberapa di kedua mataku. Ah, segar kembali. Kukeluarkan sebungkus rokok, menyalakan salah satu batang, kemudian menghisapnya dalam-dalam. Ah, semakin segar.
"Maaf, apakah aku boleh duduk di sini?"
Seorang laki-laki baru saja menghampiriku. Ia tidak tampan, tapi matanya sangat menarik perhatian. Tiba-tiba saja serangan kerinduan yang luar biasa menghantamku seperti tsunami. Pandangan mata laki-laki itu bagai pusaran, menyedotku ke dimensi lain dengan sensasi hangat nan menyenangkan yang rasanya telah kukenal.
Ya, rasanya aku pernah bertemu dengan laki-laki ini.
--------------------------------------------------------------------------------
"Maaf, apakah aku boleh duduk di sini?"
Aku menoleh, dan menemukan seorang laki-laki tak dikenal--dan tak begitu tampan--berbicara padaku. Yah, toh aku sedang sendirian. "Silakan." kataku tak begitu tertarik, tapi tetap melempar senyum manis seadanya.
"Terima kasih," sahutnya sambil duduk di hadapanku. Seorang petugas memberinya menu sambil lalu tanpa berkata apa-apa. Aku melihatnya tersenyum simpul menahan tawa.
"Ada apa?" tanyaku setelah ia memesan dan si petugas berlalu pergi.
"Bukan apa-apa," jawabnya geli. "Pelayanan di kereta ini memang selalu payah."
Aku tidak menanggapinya, tidak juga bertanya bagian mana dari hal itu yang menurutnya lucu sampai menahan tawa seperti itu. Bibirnya masih membentuk senyum simpul, ujung matanya menyipit, dan pipinya memerah menahan tawa. Tanpa sadar aku jadi memandanginya. Orang ini tidak tampan, tapi kusadari matanya menarik sekali. Mata yang ramah, seakan-akan kalau aku hanya bisa melihat bagian mata dari keseluruhan wajahnya, aku akan mengira ia selalu sedang tersenyum.
Tiba-tiba ia menangkap pandanganku, tak lagi menahan tawa. Kami berpandangan dalam diam selama beberapa saat.
"Kau tidak mengalihkan pandanganmu." ujarnya. "Normalnya, kau akan mengalihkan pandangan segera setelah orang yang kau pandangi menangkap basah pandanganmu."
"Aku tidak merasa perlu melakukannya," sahutku datar, "toh kita tidak saling kenal."
Ia tersenyum geli. Kedua ujung bibirnya naik dengan indah. "Yah, memang, sih."
Aku melepas pandangan darinya dan menyeruput kopiku yang masih panas. Segera saja uapnya menyerbu lensa kacamataku, membuatku tak bisa melihat apa-apa kecuali buih-buih putih menyebalkan yang selalu muncul tiap kali aku minum minuman panas. Kulepas kacamataku dan meraih tisu untuk membersihkannya.
"Kau tahu," katanya, rupanya masih belum melepas pandangan dariku, "kau terlihat jauh lebih cantik tanpa kacamata."
-------------------------------------------------------------------------------
"Kau terlihat jauh lebih cantik tanpa kacamata."
Aku mengedip beberapa kali. Wajahnya berada beberapa senti di atas wajahku, terlihat kabur. Kudorong tubuhnya menjauh, lalu kupaksakan diriku untuk bangun. Kuambil kacamataku di meja samping tempat tidurku. "Tapi aku jadi tak bisa melihat."
Ia duduk di tepi tempat tidurku, tersenyum geli. Seperti biasa, kedua ujung matanya menyipit menyenangkan. "Kau ini hidup di jaman apa, sih?"
"Sudah kubilang aku tak suka pakai softlens!" gerutuku sembari beranjak dari tempat tidur pelan-pelan untuk mengantisipasi pusing-pasca-bangun karena anemiaku. "Harus mencuci tangan, harus membersihkan lensanya lebih dulu, tidak boleh memakainya lama-lama, dan aku tidak bisa lepas-pakai seenaknya seperti kalau pakai kacamata! Repot sekali."
"Tapi kau terlihat jauh lebih cantik tanpa kacamata." ulangnya lagi, masih tersenyum.
Aku mendengus sebal. Benci sekali dengan tingkahnya yang seperti itu, seakan-akan ia lebih tahu, seakan-akan semua yang ia katakan tidak bisa kusanggah. Lebih benci lagi karena hal itu memang benar.
Ia tertawa melihat mukaku yang kusut menggerutu, lalu beranjak membuka jendela. Angin sepoi yang sejuk menerobos masuk, membuatku ingin masuk ke dalam selimut lagi. Namun matahari yang malu-malu menampakkan dirinya itu membuatku ingin berjalan-jalan di luar.
Kudengar suara gesekan korek api ketika ia menyalakan rokoknya.
"Hei, itu rokokku!" protesku.
"Ah, tidak apa-apa, kan." desahnya santai. Asap keluar dari sela-sela mulutnya seiring ia bicara. "Punyaku habis, malas beli."
Semakin menggerutu, aku mengambil kotak rokokku dari tangannya. Tinggal sebatang. Ya sudahlah. Kusulut ujungnya dengan nyala api dari rokok yang ia hisap. Lalu kami berdiri berdampingan menghadap jendela sambil menghisap rokok yang sama, setengah melamun memandangi pemandangan kota dari kamarku.
"Kau boleh tetap pakai kacamata," ujarnya tiba-tiba sambil menatapku, serius, tak seperti biasanya. "Tapi tolong berhentilah merokok."
-------------------------------------------------------------------------------
"Berhentilah merokok."
Dengan lembut ditariknya sebatang rokok yang masih panjang dari tanganku, tapi aku mempertahankannya.
"Kau sendiri merokok. Kenapa aku tidak boleh?" protesku gusar.
Ia mendesah, "Tidak baik untuk kesehatanmu."
"Oh ya? katakan itu pada dirimu sendiri!"
Ia mendesah lagi, "Sulit sekali memberitahumu."
Aku selalu menyesal seketika setelah aku mengatakan sesuatu yang membuatnya sedih. Aku benci diriku yang membuatnya menampakkan ekspresi seperti itu. Mata yang menyenangkan itu jadi meredup, dan aku sangat tidak suka melihatnya.
Aku bergeser ke sampingnya dan menyandarkan kepala di bahunya. Selang beberapa saat, ia balas menyandarkan kepalanya di atas kepalaku. Lalu kami terdiam cukup lama.
Angin berbau garam menyapu wajahku tanpa henti. Suara desir ombak terdengar ganas tapi menggiurkan di saat bersamaan. Langit biru luas tanpa awan, membiarkan matahari memperawani seluruh permukaan bumi. Sangat terik, tapi aku tertolong oleh payung besar yang kami sewa agar aku bisa menikmati pantai tanpa harus jatuh pingsan.
"Aku punya ide bagus," katanya ketika aku sibuk mengawasi anak-anak yang tengah membangun kerajaan pasir dengan riangnya.
"Apa?"
"Aku akan berhenti merokok. Kau juga. Kita sama-sama berhenti."
"Hmm.." sahutku malas. Lalu kami terdiam lagi selama beberapa saat. Ia mulai memain-mainkan rambutku yang lengket satu sama lain akibat air dan pasir pantai.
"Aku punya ide yang lebih bagus." kataku setelah beberapa saat.
"Apa?"
"Aku akan memakai softlens, dan kita sama-sama tetap merokok."
Aku dapat merasakan gerakan tangannya yang memain-mainkan rambutku sedikit melambat ketika ia memikirkan ucapanku. Kemudian ia tertawa, mengembalikan mata yang menyenangkan itu.
"Dasar nakal," katanya, "tapi, yah, sepertinya lebih baik begitu."
Aku tersenyum lalu memejamkan mata. Suara tawa anak-anak yang sedang bermain di kejauhan, desir ombak yang ganas nan menggiurkan, gemerisik angin berpasir yang menenangkan, dan suara napasnya yang agak berat, semua bercampur di telingaku, memainkan sebuah melodi yang mengalun nyaman mengantarkanku semakin jauh ke alam mimpi.
----------------------------------------------------------------------------
"Nona? Hei, Nona?"
Aku terkesiap. Seorang laki-laki berdiri di hadapanku. Tidak tampan, namun matanya luar biasa.
"Maaf, aku hanya bertanya apakah aku boleh duduk di sini, dan tiba-tiba Anda seperti hilang kesadaran."
Aku mengatur napas sebentar. Petugas gerbong restoran yang terlihat bosan meletakkan sepiring cheese cake dan secangkir kopi di depanku, lalu langsung pergi tanpa tersenyum atau mengatakan apa-apa.
"Maaf, maaf," kataku setelah menguasai diri, "sepertinya saya deja vu. Saya merasa pernah mengenal Anda sebelumnya."
Ia tertawa, renyah. Kedua ujung matanya menyipit menyenangkan. "Mungkin saja, di kehidupan sebelumnya."
Aku ikut tertawa.
"Jadi," ujarnya lagi, masih tersenyum. "bolehkah aku duduk di sini?"
Serangan kehangatan menyerbu seluruh partikel tubuhku, seakan mengisi semua tempat kosong dan memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Udara di sekitarku mendadak terasa ringan dan ruangan gerbong kereta makan yang membosankan itu pun tiba-tiba terlihat terang dan berwarna. Kumatikan rokokkku di asbak terdekat.
"Silakan duduk."
"Terima kasih."
Dan kereta pun terus bergoncang lembut, sesekali mendesis ribut sambil mengeluarkan asap dari cerobong.
-selesai-