Selambang huruf h membuka matanya, dengan antusias memandang
sekeliling, penasaran di medan seperti apa ia berada sekarang. Tak lama
berselang, selambang huruf a muncul di sampingnya.
“Ya ampun!” seru h kaget, “jelek sekali bentukmu!”
a, merasa tersinggung, membalas, “Kau sudah melihat bentukmu
sendiri belum?”
spontan h memandang ke bawah, ke badannya yang tak karuan garisnya.
Meskipun ia selambang h, tapi ia terlihat seperti b.
Sekejap kemudian teman-teman huruf yang lain bermunculan,
berjejer di samping mereka. Ketika semua berpandangan, komentar mereka sama, “Jelek!”
“Siapa Penggubah kita kali ini?” tanya selambang huruf y
yang tampak seperti t. Mereka semua mendongak ke atas, dan menemukan manusia
laki-laki yang sepertinya baru beranjak dari masa kanak-kanak, sedang
membubuhkan tinta dengan ekspresi tegang luar biasa. Beberapa huruf bahkan
garis tubuhnya sedikit pudar karena terkena tetes air yang berasal dari wajah
Penggubah itu.
Serempak terjadi protes di sana-sini.
“Padahal sudah besar, tapi kenapa Ia membuat kita sejelek
ini!?”
“Lakukan yang benar, dong!”
“Belajar lagi, sana!”
“Betul, betul!”
“Berisik sekali, sih!”
Semua pemrotes memandang ke arah sumber suara barusan. Ternyata
selambang huruf k yang sudah sangat tua. Begitu tua sampai ia harus memakai
tongkat untuk membantunya berdiri. Ah, tapi k memang memakai tongkat sejak
kecil.
“Dasar amatiran,” lanjut kakek k lagi, “menurut kalian apa
yang membuat Sang Penggubah membuat kita sejelek ini?”
Para huruf yang tak karuan bentuknya itu berpikir sebentar,
mengingat pelajaran mereka bertahun-tahun silam, ketika nenek moyang mereka yang
mengendap indah menghiasi dinding-dinding batu menyerahkan tugas mulia membantu
manusia itu pada mereka, generasi huruf.
“Kalau tidak salah ada tiga penyebab Sang Penggubah tidak
becus dalam pembuatan kita.” ujar selambang huruf g yang kakinya kelewat
panjang hingga ia jadi kembar dempet dengan huruf n di sebelahnya.
“Hm...apa ya, aku tidak ingat.” timpal selambang huruf z malas,
beberapa baris di bawah g tadi. z memang terkenal acuh. Ia tak pernah
mendengarkan ketika para nenek moyang mengajari mereka dulu, akibatnya para Penggubah pun jarang memanggilnya dalam misi. Tapi kelihatannya ia sama sekali
tak peduli.
“Beliau masih anak-anak!” tebak selambang u.
“Beliau sedang merasa sedih!” tebak selambang m, “satu
lagi...”
“Beliau sedang jatuh cinta!” seru j, o, dan d bebarengan.
Kakek k menghela napas tidak sabar, “Terlambat sekali baru
menyadarinya sekarang,” ia menggeleng-gelengkan kepala, “amatir...amatir...aku
sudah berkelana jutaan tahun dari satu kertas ke kertas lain, untuk menjalankan
misi yang sangat populer di kalangan manusia muda ini.”
Menyebalkan sekali lagaknya kakek ini. Seandainya bukan karena
mengasihani bentuknya yang menyedihkan karena garis tubuhnya yang seperti
nyaris mau jatuh itu, huruf-huruf di sekelilingnya pasti sudah memukulinya.
“Tapi, lihat!” seru
selambang p di baris kedua, menunjuk ke beberapa baris di bawahnya. “Yang di
sana sepertinya sudah jadi lebih bagus.”
Benar saja. Beberapa baris di bawahnya, bentuk para huruf
mulai membaik. Mereka mendongak ke atas, dan menyadari bahwa ekspresi Sang
Penggubah telah berubah. Kecepatannya menggubah pun bertambah, ia nyaris
mencapai baris paling bawah.
“Ayoo!” seru selambang huruf c menyemangati.
“Untuk apa? Dia tidak bisa mendengar kita.” kata b heran.
“Tidak apa-apa,” jawab c, “sudah turun temurun kami keluarga
c selalu menyemangati Penggubah sepanjang penggubahannya.”
Tapi sorak sorai mulai bermunculan dari seluruh penjuru.
“Ayo, ayo!”
“Selesaikan!”
“Berusahalah!”
Akhirnya sampailah Sang Penggubah di baris terakhirnya,
dimana ia menggubah selarik untaian huruf yang sempurna, bagaikan si cantik dan
si buruk rupa apabila bersanding dengan larik huruf di baris pertama tadi.
Semuanya bertepuk tangan ketika Komandan suruhan Sang
Penggubah akhirnya muncul di baris paling akhir. Komandan berbeda dengan para
huruf. Ia hanya ada satu untuk setiap Penggubah, tidak ada yang sama. Tugasnyalah
untuk menyampaikan misi kepada para huruf dalam sebuah gubahan. Entah apakah
mereka bertugas menyampaikan sebuah curahan perasaan, tantangan, tagihan,
maupun pernyataan cinta.
“Apa misi kita kali ini, Komandan?” tanya selambang huruf t
yang sempurna di baris akhir.
“Menyatakan cinta! Ya, kan? Ya, kan?” sambar i usil.
“Ehem,” deham Komandan, berusaha menarik perhatian semua
hadirin. Ketika semuanya mulai tenang, ia melanjutkan, “Mungkin kalian tidak
ingat, tapi Tuanku ini telah berkali-kali memanggil kalian dalam misi yang sama
sebelumnya. Hanya saja, ia tak pernah berhasil menyelesaikannya, sehingga
misinya selalu dibatalkan.”
“Tapi hari ini, akhirnya ia berhasil menurunkanku. Hari ini,
akhirnya, bersama kalian aku akan menjalankan misi pertamaku untuk menyampaikan
perasaannya kepada lawan jenis.”
Terdengar siulan dan sorakan riuh rendah dari para hadirin. “Bagus,
anak muda!” teriak kakek k.
“Maaf, komandan!” teriak selambang huruf di baris paling
atas. Huruf-huruf lain menoleh. “Kalau Beliau memang telah berhasil menggubah
hingga akhir, kenapa Beliau tidak memperbaiki bentuk kami? Lihat, kami masih
jelek begini!”
Komandan tersenyum, “Tidak apa-apa. Bagaimanapun kalian
muncul karena Tuanku sedang mengumpulkan keberaniannya pada awal gubahan. Sekarang,
lihatlah keseluruhan barisan ini. Tuanku tidak ingin menghapus prosesnya. Keberadaan
kalianlah yang menunjukkan usahanya yang sesungguhnya.”
Huruf-huruf gemetaran berpandangan, kemudian berdiri dengan
dada lebih membusung. Misi ini pasti akan mereka selesaikan.
Seiring dengan hormat singkat dari Komandan, seluruh penghuni
kertas memandang sekilas ke atas, ke arah wajah puas yang bahagia, hingga wajah
itu hilang dari pandangan karena mereka telah dimasukkan dalam pesawat tempur,
siap menjalankan misi.
-selesai-