Hello there,
Baru sadar, ternyata aku udah lama nggak posting blog dan ini adalah yang pertama kalinya di tahun 2012.
Dan ngomong2, kemaren aku ulang tahun. Sekarang umurku 22.
Bagaimana kalian melihat angka 22 itu? Apakah "sudah 22 tahun" atau "masih 22 tahun"?
Jujur saja, semakin kesini aku jadi mulai merasa--menurut istilah yang sedang nge-trend, saking nge-trend nya sampe bosen dengernya--galau.
Memasuki usia ini, aku merasa resah. Gundah gulana. Tidak pasti.
Aku adalah mahasiswa jurusan sastra jepang semester 7. Semua mata kuliah wajib sudah kuambil, dan hanya selangkah lagi (baca: skripsi) aku bisa menyelesaikan kuliahku. Setelah lulus, cari kerja. Setelah terkumpul uang, melanjutkan S2. Kuliah S2 sambil bekerja sambilan. Mandiri, lalu bertemu dengan pria idaman. Menikah, punya anak, membina rumah tangga sampai tua, dan mati bahagia.
Itu adalah skenario ideal paling aman yang kuinginkan.
Secara klise, aku ingin mengatakan bahwa segalanya tidak berjalan semudah itu. Banyak sekali hal2 diantara proses itu yang bisa membuat kita gundah. Mungkin pada awalnya hanya perkara kecil, tapi lalu meluas mempengaruhi hal2 lain juga.
Contohnya saja sekarang. Aku sedang memperjuangkan ujian demi mendapatkan beasiswa ke jepang, mungkin kesempatan terakhirku di UGM, karena beasiswa biasanya tidak menginginkan mahasiswa yang terlalu tua. Aku melihat sekeliling, kepada teman2 lain peserta ujian yang sama, kepada kakak2 kelas yang telah maupun yang belum berhasil, kepada adik2 kelas yang masih menempuh kuliah aktif, kepada semuanya.
Aku merasa berada di posisi yang sangat nanggung. Kesempatanku tidak banyak, kemampuanku tidak seberapa. Kekuatan hatiku untuk memotivasi diriku sendiri pun goyah. Aku benci diriku yang seperti ini. Aku pernah menjadi orang yang selalu berani dan berusaha, dengan tegar terus menguatkan tekad demi mencapai apa yang kuinginkan. Entah sejak kapan dan karena apa, aku membiarkan diriku terlena terlalu jauh hingga sulit untuk kembali. Aku memerlukan usaha yang berkali lipat untuk kembali ke pace ku saat itu, saat diriku begitu kuat.
Aku merindukannya, sangat.
Tidak ada yang berubah dengan menyalahkan diri sendiri. Waktu tidak bisa dikembalikan, tidak pula dihentikan. Aku dengan seenaknya terlalu banyak menghentikan waktuku sendiri untuk beristirahat dan menghela napas, tanpa menyadari bahwa yang kuhentikan itu cuma sesuatu yang semu. Waktu tidak akan berhenti untuk menungguku.
Ketika menyadari ini, kenyataan menamparku keras, meninggalkan bekas merah di pipi, mungkin berdarah.
Aku mengingat kembali impian2ku: pergi ke luar negeri, sekolah di jepang, mengunjungi Universal Studio, mendirikan sekolah swasta untuk anak tidak mampu, membuat tempat penampungan untuk kucing liar (ya, aku belum lama ini menambahkannya dalam daftar impianku), membina rumah tangga yang sehat dan bahagia, tinggal di rumah impian, menjadi penerjemah sekaligus penulis, dan lain2 yang bahkan tak bisa kuingat lagi.
Begitu banyak hal yang ingin kuraih. Saking banyaknya, aku takut ketika berusaha keras memeluk semuanya, mungkin akan ada yang lepas dari pelukan. Tapi aku bahkan tidak perlu berpikir sampai ke situ, karena aku baru sedikit mengangkat tanganku lemah, ingin memeluk tapi hasrat itu masih dikalahkan oleh hal2 duniawi yang aku ciptakan sendiri.
Tekadku lemah. Keberanianku nol. Usahaku sekelas ikan teri kecil yang belum bisa renang .
Dan percuma saja banyak mengata2i diriku sendiri tanpa membuat perubahan. Hanya sekadar menenangkan diri? pffft, bullshit.
Aku sudah berusia 22 tahun, dan belum melakukan langkah pertamaku untuk keluar dari zona nyaman ini.
Presentase lolos ujian penerimaan beasiswa ke jepang mengkhawatirkan, tema skripsi belum dipersiapkan, hal yang akan dilakukan setelah lulus belum diputuskan, talenta pas2an, uang masih diberi orang tua...banyak hal.
banyak hal.
Aku ingin menenangkan diriku sendiri dengan berkata, "masih 22 tahun".
Apabila--dengan segala kuasa Tuhan--ada 20, 30, bahkan 50 atau 60 tahun waktu yang terbentang di depanku, aku--sekali lagi, dengan segala kuasa Tuhan--pasti berhasil memeluk semuanya.
Aku adalah orang yang cuek dan bisa bangkit dari kekalahanku. Nggak bisa ke Jepang? Cari yang lain. Negara yang pantas dikunjungi untuk belajar bukan cuma Jepang. Meskipun aku mahasiswa sastra jepang dengan kemampuan bahasa Inggris yang juga pas2an, bukan tak mungkin aku bisa ke Amerika, atau sekadar Australia. Bahkan kalau aku punya uang, dengan uangku sendiri aku akan ke Singapura--untuk mengunjungi Universal Studio, tentunya.
Skripsi? Hajar.
Screw idealisme konten, yang penting lulus. Buat dosen senang, wisuda cepat. Toh aku bukannya mau melanjutkan penelitian skripsiku untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi.
Pekerjaan? Melanjutkan S2? Mandiri? Jodoh?
Oh, tak akan ada habisnya kita ditantang oleh hidup. Mau lari juga percuma, dia akan selalu berhasil menangkap kita lagi. Hidup itu kuat. Tapi kita ini hidup. Seharusnya kontrol ada di tangan kita.
Idealnya, sih.
.......................................................
Pada akhirnya, semua yang kutulis di atas hanya sebuah pemikiran optimis yang tidak berdasar. Beberapa realistis, beberapa tidak, sebagian ngawur.
Kegalauan yang pertamanya tentang beasiswa ini menjalar ke mana2, tak terhindarkan. Sebelah diriku berkata, "Easy, dear, take your time." tapi sebelah lagi menyahut ketus, "Bitch, please. You took too many times you just wasted it.". Lalu mereka bertengkar dan capek sendiri, sama sekali tidak menghasilkan apa2.
Pada tahap ini, aku menyimpulkan bahwa yang terpenting adalah pertimbangan dan prioritas.
Menelusuri kemungkinan2 dan mencari pilihan. Melihat keadaan dan mempertimbangkan. Lalu memprioritaskan. Ketika terhenti atau terpaksa berhenti, mungkin memang perlu mundur sesekali. Apabila dengan mendorong tidak berhasil, mungkin perlu mencoba untuk menariknya mundur.
Bingung?
Aku antara iya dan tidak. Semoga kalian tidak bingung.
Bingung juga terserah. Mungkin aku cuma sedang mengigau.
Satu hal yang pasti, sekarang sudah malam.
Aku perlu tidur karena besok ada ujian.
Good night and sweet dream.
=)