Kira2 hampir dua minggu yang lalu, tepatnya hari selasa malam, kucingku tiba2 menghilang.
Dia luar biasa lucu--dengan bulu putih bertotol coklat di tempat2 yang sangat random. Matanya sebelah warna kuning, sebelah warna biru. Ekornya pendek dan membuntal di ujungnya. Ia berbeda dengan kucing2 lain yang pernah kupelihara sebelumnya, yang sebagian besar bulunya berwarna abu2 belang putih. Namun sama seperti kucing2 lain sebelumnya, ia kuberi nama layaknya pemain sepak bola dunia yang sedang kugemari. Ya, kucing spesial ini kuberi nama Ozil.
Bersama dengan keistimewaan dari matanya yang berbeda warna, dalam dirinya ada keistimewaan lain. Ia sangat hiperaktif--berlari kesana-kemari, menerkam dan menggigit semua benda yang bisa dilihatnya, memanjat gorden, mengacak jajaran sepatu dalam rak, menyakar2 kulit sofa, dan semua hal yang biasa dilakukan anak kucing, ia melakukannya dua kali lipat. Ia juga cepat belajar. Aku mengajarinya untuk buang air di toilet hanya dua kali, dan ia sudah bisa melakukan sendiri selanjutnya.
Ia tidak pernah merepotkan. Kecuali sekali kejadian ketika ia buang air di ranselku (dan membuat buku latihan soal N2 dan kamusku nggak bisa dipakai lagi - -), ia tidak pernah benar2 membuatku kesal atau repot dengan perilakunya.
Ia suka mengeong di depan pintu kamarku, minta diijinkan masuk. Kalau aku sedang belajar atau internetan (most of the time sih internetan =B), dia suka tidur berbantalkan adaptor laptopku, atau dengan sedikit berisik dan memaksakan diri, masuk di antara celah2 buku dalam rak dan tidur di balik buku2 itu. Di kamar adikku, ia suka tidur di atas stabilizer (ya, entah kenapa dia suka tidur di dekat alat2 listrik dikelilingi kabel - -). Kalau tidak sedang tidur, ia sangat senang bermain dengan boneka sapi kecil pemberian seorang kawan di hari ulang tahunku dua tahun lalu. Boneka sapi itu seperti lawan gulat saja dibuatnya, padahal tentu saja boneka itu tidak melawan. Seandainya ini adalah kisah Toys Story, sapi kecil itu pasti sudah balas dendam karena Ozil tidak hanya membanting2nya kesana-kemari, tapi juga menggigiti dan menyakarinya (untuk kawanku yang dulu ngasih boneka itu, maaf ya~ hehe =P).
Ia lucu sekali ketika sedang bermain, sama lucunya dengan ketika dia tidur, makan, atau apapun. Ia lucu, sangat lucu.
Terlalu lucu dan menyenangkan untuk hilang.
Selasa minggu lalu, saat aku berangkat ke kampus pagi hari, ia masih ada. Seperti yang selalu kulakukan, aku memastikan agar dia ada di dalam rumah sebelum aku menutup pintu rumah. Aku melakukan ini karena aku tahu ada kucing2 preman di luar sana yang selalu sewot dengan kedatangan kucing baru di wilayahnya. Aku tidak pernah berhasil punya kucing dalam jangka waktu yang lama, salah satu dan sebagian besar alasannya adalah karena hal ini. Persaingan kucing di daerahku terlalu ketat--benar2 sebuah hutan rimba dengan segala hukumnya di luar sana--sekali kucingmu hilang dari pengawasan, ia mungkin sudah entah di mana, berlari dan sembunyi dari kejaran kucing2 preman sok penguasa itu.
Jadi hari itu, belajar dari pengalaman, aku memastikan ia ada di dalam rumah, lalu menutup pintu.
Tapi ketika aku pulang malam harinya, ia sudah tidak ada.
Tentu saja aku tak bisa memastikan agar pintu rumahku selalu tertutup. Ada nenek dan tanteku juga di situ, dan kemungkinan besar Ozil ikut keluar ketika mereka membuka pintu, dan--tidak seperti aku dan ibuku--nenek dan tanteku ini mungkin tidak memanggilnya lagi untuk masuk ke rumah sebelum menutup pintu, dan jadilah dia di luar sana, entah apa yang terjadi.
Aku membuat status FB tentang ini, dan beberapa orang berkomentar bahwa kucing hilang itu biasa, paling2 tiga hari atau seminggu kemudian dia bakal pulang. No, that's never happen here. Once your cat lost, it won't come back to your house, no matter how much you're waiting. Welcome to the jungle.
Malam itu, tanpa peduli besoknya ada tes monkasho--semacam tes perebutan beasiswa ke jepang dari departemen pendidikan jepang--aku mencarinya. Aku mencarinya sampai ke hutan jati, sawah, rumah tetangga, tempat sampah bersama, dan semua tempat yang mungkin didatanginya untuk bersembunyi. Seperti orang stress, aku memanggil2nya dalam kegelapan, sendirian.
Nihil. Aku pulang tanpa hasil. Lalu aku menangis.
Malam itu aku terjaga smapai dini hari, membuka semua pintu yang menempel di dinding rumahku, membuka jendela kamarku, memasang telinga tajam2, berharap dan berdoa sepenuh hati, agar suatu waktu di malam itu ada suara keongannya di kejauhan, meminta pertolongan.
Tetap saja tak ada. Setelah beberapa kali tertipu dengan suara kucing lain, aku pun tertidur. Tapi sejak saat itu aku terus berdoa agar ia bisa kembali.
Aku terus meminta kepada Tuhan dalam setiap doaku setelah sholat, hingga suatu malam beberapa hari yang lalu aku menemukan sesuatu yang sangat mengejutkan.
Malam itu aku sedang naik motor pulang dari membeli titipan ibu. Ketika sudah dekat rumah, sekelebat kulihat warna putih anak kucing tergeletak dekat ban motorku melintas. Tidak aku tidak menabraknya, tapi aku melewatinya begitu saja. Namun setelah aku berjalan lagi barang tiga atau lima meter, kenyataan itu menyambarku bagai petir--anak kucing berwarna putih.
Tiba2 pandanganku gelap. Aku menghentikan motorku. Sekelilingku sepi, hanya jejeran pohon bambu di sebelah kanan dan tanah kosong di sebelah kiri, tidak ada lampu.
Sepersekian detik pikiran2 berkecamuk, sebelum akhirnya kuberanikan diri memutar balik motorku untuk memastikan. Tidak, bukan suasana sepi nan angker tanpa cahaya itu yang kutakuti, sama sekali bukan. Aku takut akan kemungkinan yang menantiku bila aku memutuskan untuk sekali lagi melihat kelebatan tadi. Takut sekali. Tapi kubulatkan keberanian.
Dengan samar2 cahaya lampu hanya dari motorku, aku melihatnya. Seekor anak kucing berwarna putih, tubuhnya kurus kering, tergeletak--mati.
Angin serasa menampar keras wajahku seiring kutelusuri tubuh tak bergeming itu dengan mataku. Bulunya putih. Besarnya mungkin sama dengan Ozil. Bahkan totol coklat yang random itu terasa familiar. Dan ekornya? Tidak, aku tidak bisa melihat ekornya dengan jelas. Tubuhnya menutupi sebagian ekornya. Apakah itu artinya ekornya panjang, dan bukan membuntal seperti ekor Ozil?
Kemudian dengan sangat mengejutkan berbagai penolakan menyerbu seluruh indraku, menguasai penglihatanku.
Hei, Ozil sudah sedikit lebih besar daripada ini ketika dia hilang!
Hei, totol coklatnya bukan di situ!
Hei, dia tidak mungkin jalan sampai ke sini! Kalaupun iya, seharusnya dia sudah melihatmu mondar-mandir dari kemarin2!
And come on, that tail?? it's definitely not him! pffft
Napasku mulai memburu. Apakah itu dia? Atau bukan?
Sebenarnya ada satu cara untuk memastikan: melihat ekornya dengan jelas.
Saat itu malam dan satu2nya cahaya berasal dari lampu motorku, jadi aku tak bisa melihat ekornya dengan jelas, namun kelihatannya ekornya cukup panjang untuk tertutupi sebagian oleh tubuhnya. Entahlah. Aku tidak yakin, dan aku sangat takut untuk meyakinkan diri.
Akhirnya dengan napas tercekat aku berbalik dan pulang.
Kutinggalkan begitu saja mayat itu, bahkan tanpa menguburnya. Aku takut apabila aku menguburnya, maka aku harus mengangkatnya, dan mungkin akan menemukan kenyataan yang sangat tidak menyenangkan. Ketakutan itu merambati kulitku dengan sangat mengerikan.
Takut.
Takut sekali.
Aku sampai di rumah dalam keadaan gamang dan masih tercekat. Tanpa ba-bi-bu aku langsung masuk kamar, lalu membenamkan mukaku ke bantal.
Dan pemandangan yang baru saja kulihat tadi terus terulang dalam benakku, berulang-ulang, antara jelas dan kabur, kadang hitam-putih--mempermainkan memori dan emosi.
Tanpa bisa dicegah, ketakutan pun menjelma menjadi kesedihan.
Besar, menerjang dengan cepat--seperti tsunami. Menangis pun tak dapat kuhindari. Kukeluarkan saja, toh itu memang membuatku merasa jauh lebih baik.
Mungkin tidak masuk di akal kalian betapa aku sampai seperti ini hanya karena seekor anak kucing. Aku sendiri terkejut, aku sudah pernah memelihara kucing beberapa kali--semuanya tidak berhasil dengan baik. Kecuali mungkin satu, yang berhasil kuurus sampai besar sebelum akhirnya minggat karena kemauannya sendiri (bagaimana aku tahu itu, katamu? percayalah, aku tahu). Tapi selain itu semuanya gagal. Hilang sebelum dewasa. I'm suck.
Ozil adalah kucing pertama yang kupelihara setelah beberapa tahun aku tidak memelihara kucing. Ketika temanku menawarkan kucing ini, aku membutuhkan banyak pertimbangan dan keberanian untuk memutuskan.
Aku ingin memelihara kucing. Kali ini saja, aku ingin berhasil membesarkannya dengan baik. Aku akan membawanya ke dokter kalau ia sakit. Aku akan memberinya makan banyak minimal tiga kali sehari. Aku akan membiarkannya tidur di dalam rumah, setelah aku mengajarinya agar buang air di toilet. Aku tidak akan melepaskan pengawasan ketika ia bermain di luar.
Dan aku benar2 sudah melakukan semua itu. This one is so special.
Karena itulah ketika ia hilang, apalagi ketika aku melihat mayat kucing itu--yang, sekali lagi, mungkin juga bukan dia--rasanya seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Beberapa jam sebelumnya aku masih mendengar suara eongannya, lalu tiba2 hilang. Ini bukan hanya soal kucing. Mungkin ada ribuan kucing di seluruh dunia yang mati setiap harinya. Jangankan kucing, manusia pun begitu.
Ini soal betapa sesuatu yang sangat kusayangi hilang. Dan lagi--dengan faktor utama bahwa aku luar biasa menyukai kucing, lebih daripada tas mahal bermerk yang bisa kudapatkan gratisan atau sepatu super kece yang kutemukan di jalan, atau voucher gratis slushie dan kalimilk selama setahun penuh--rasa kehilangan itu jadi berkali lipat.
Jadi aku tak peduli kalau mungkin kau beranggapan aku lebay sekali dalam hal ini, tapi begitulah. Cerita di atas itu benar adanya, bukan dramatisasi.
Lagi-lagi aku gagal. Sangat gagal.
Mungkin sementara ini aku tidak akan memelihara kucing.
Seandainya bisa, aku ingin memberi makan semua kucing liar di seluruh dunia dan memberi mereka tempat hidup yang layak, lalu mengajari mereka untuk hidup damai. But, hey, look at us, human. We can't even afford it to our own kind.
So i can't help but wonder if there any cat in heaven.
Wahai Tuhan, apakah di surga ada kucing?
-good night and sweet dream-
November 28, 2011
November 22, 2011
Rupanya Ia Telah Bertemu dengan Peri Pohon
Ia menemukan dirinya adalah setetes air
awan memuntahkannya ke udara, lalu disambut angin
berderu kencang mengoyak kulitnya
mendarat di dahan sebuah pohon
besar dan kokoh, tua
Ia melihat perapian
dan sebongkah makan malam
hei, ajak aku
katanya
lalu sesosok menyambutnya
silakan masuk
katanya
mereka lalu makan bersama.
=========================================================================
also read Rupanya Aku Sedang Mengejar Peri Pohon
awan memuntahkannya ke udara, lalu disambut angin
berderu kencang mengoyak kulitnya
mendarat di dahan sebuah pohon
besar dan kokoh, tua
Ia melihat perapian
dan sebongkah makan malam
hei, ajak aku
katanya
lalu sesosok menyambutnya
silakan masuk
katanya
mereka lalu makan bersama.
=========================================================================
also read Rupanya Aku Sedang Mengejar Peri Pohon
Langganan:
Postingan (Atom)