Aku selalu menganggap seluruh
diriku adalah sebagian dari dirimu, meskipun diam-diam kau tidak.
---
---
Kuperhatikan gurat-gurat waktu seusia tujuh dekade
di kulit wajahmu yang hanya berusia 55 tahun. Warna putih yang menerjang rambut
hitammu secara tidak merata, seperti buih ombak membasahi sepetak pasir tapi
membiarkan sepetak di sebelahnya kering. Keringat membasahi sekujur tubuhmu
yang membujur tak berdaya di atas ranjang pasien, dengan berbagai kabel dan
pipa bergelayutan di dada dan lenganmu, sementara masker oksigen terpasang di
atas hidung dan mulutmu—rasa sentuhan semuanya kuingat secara samar-samar saja.
Tapi lalu tertangkap olehku matamu yang memandangku,
yang memerah oleh lelah dan menguning oleh kondisi kesehatanmu yang
compang-camping. Muncul sorot yang telah lama hilang, yang kusadari telah lama
pula kurindukan. Mungkin aku hanya membayangkannya, karena aku bahkan tak ingat
kapan terakhir kali pandangan kita bertemu secara sengaja. Tapi aku berusaha
memancarkan sorot yang sama dari mataku, sebagai usahaku agar apabila itu
adalah hal terakhir yang kau pancangkan dalam ingatanmu, maka kuharap itu akan
memberimu kedamaian.
Sementara itu, kedamaian di dalam diriku entah ada
di mana dan harus kucari.
Aku mencebur dan menyelam di kedalaman hati, menyeruak
di antara lapisan dingin dan sepi, mencari-cari sekelumit rasa hangat yang dulu
pernah memenuhi kedalaman ini, sebelum digusur oleh dinginnya dendam dan
sepinya amarah. Dendam yang kusimpan perlahan-lahan hingga ia mendingin dan
membeku, dan amarah yang kupendam diam-diam sehingga ia takkan
bersuara—semuanya berkumpul dan mengerak nyaris di kedalaman terbawah hati
ini—kecuali apabila di bawah kerak itu, di lapisan terbawah yang melindungi
sang Inti, masih tersisa rasa hangat yang damai itu, yang pernah ada dan
berhasil merayu kita untuk menjelajahi belantara perkawinan selama 30 tahun,
meskipun pada akhirnya ia hanya terucap lisan selama 10 tahun pertama kemudian
entah tersesat atau malah buyar diguyur hujan badai yang tak hentinya mendera
belantara itu.
Tapi, kerak dingin itu terlalu tebal dan kuat,
mengintip ke baliknya pun aku tak bisa. Aku tak tahu apakah rasa itu masih ada
di sana, atau segalanya hanya sugesti yang kudapatkan dari konsumsi berlebihan
romantisme yang dijual di televisi. Aku tahu bahwa dengan sedikit usaha,
seharusnya aku bisa menjebol kerak itu. Tapi, apakah usaha itu layak untuk
dilakukan? Di dalam kerak itu adalah ketidakpuasanku atas pengkhianatanmu
terhadap janji pernikahan kita—untuk selalu saling mencinta, menghargai, dan
menjaga kebahagiaan satu sama lain. Pada satu titik, kau mulai menyimpan banyak
rahasia. Rahasia menimbulkan kecurigaan, kecurigaan memancing ketidakpercayaan,
dan sungguh betapa mudah benih kebencian itu tumbuh, merambat cepat dan subur bagaikan
rumput liar. Waktu kebersamaan kita telah lama hilang, lalu rasa saling percaya
kita pun terkikis, hingga tanpa kau sadari, anak-anak kita pun kau renggut dari
hidupku. Lihatlah kamar ini, bahkan dengan kondisimu yang kritis seperti ini,
tak satu pun dari mereka datang menengok. Keduanya sedang menempuh pendidikan
di luar negeri, dan tidak saja mereka tak sampai hati merogoh kocek untuk
membeli tiket pesawat pulang, meneleponmu sejak kau dirawat di rumah sakit pun
tidak.
Mungkin kau dan aku telah bersalah. Kau bersalah
sebagai suami dan ayah, aku bersalah sebagai istri dan ibu. Ini adalah
kekhilafan kita sebagai pasangan suami-istri dan orang tua, yang akan kita bawa
sampai ke liang lahat, atau bahkan ke dunia setelahnya seandainya tempat itu
memang ada.
Malam itu, sebelum aku pulang ke rumah, kau
memandangku sedemikian rupa seakan ini kencan pertama kita. Esoknya saat aku
datang lagi, kau telah pergi meninggalkan segala yang ada di dunia, dalam diam
dan sendirian, tanpa seorang pun menemani di samping ranjangmu, tanpa sepatah
pun penjelasan untuk sedetik kemesraan dalam tatapan terakhirmu.
Pada hari Kamis pagi, suamiku
meninggal dunia.
---
---
Pemandangan di luar jendela sungguh luar biasa.
Pesawat kecil yang kutumpangi telah melayang turun,
dan kendatipun guncangannya begitu besar, tak mengurangi minatku untuk
menikmati hamparan hijau sawah dan pepohonan, bentang biru laut yang melenggak-lenggok
menepi kepada pantai, dan garis-garis sungai yang malang-melintang memanjang di
daratan, serta segelintir warna bata genteng rumah-rumah yang mulai terlihat
tak terhalang awan.
Beberapa saat kemudian, pesawat telah mendarat di
Bandara Aek Godang, dan untuk pertama kalinya setelah 25 tahun, aku kembali
menghirup udara di tanah kelahiranmu, kabupaten Tapanuli Selatan, provinsi Sumatra
Utara.
Bandara Aek Godang merupakan bangunan sederhana,
bertembok putih dan berukuran tak lebih besar daripada kantor balai desa di
sebuah kampung kecil. Para penumpang yang baru turun berjalan sedikit
menyeberangi lintasan pesawat untuk masuk ke area kedatangan. Di antara area
lintasan pesawat dan jalan di luarnya hanya dibatasi bentangan kawat, sehingga
aku takkan heran kalau suatu waktu ada kucing atau anak iseng kalah taruhan
yang menerobos kawat itu dan dengan sengaja atau tidak berpotensi mengakibatkan
masalah besar di bandara ini.
Seperti sudah kuduga, area kedatangan sangat sempit
dan ban berjalan bagasi juga sangat pendek, sehingga kami harus berdesakan saat
menunggui koper. Setelah menyambar koper, aku segera melesat keluar sebelum ada
seseorang yang mengajakku berbasa-basi—kegiatan itu jadi terasa menyebalkan
sejak kepergianmu, karena apabila seseorang bertanya untuk apa aku ada di sini
dan kujawab karena suamiku berasal dari sini, orang itu akan bertanya lagi
sampai pada akhirnya aku harus menjelaskan kematianmu dan segala
tetek-bengeknya, dan sungguh semua itu masih terasa menyakitkan bagiku.
Sudah hampir enam bulan sejak kematianmu. Sorot mata
terakhirmu sebelum kau pergi dalam bisu masih menghantuiku sampai sekarang,
bagaikan sebuah misteri yang harus kupecahkan. Setelah berbagai usaha sia-sia
untuk mengalihkan pikiranku darinya, akhirnya aku memutuskan untuk melakukan
perjalanan ini—sebuah perjalanan nostalgia untuk menjemput kembali ingatan yang
telah terbang, kisah masa muda yang kita titipkan pada pohon, sungai, dan
bebatuan, karena mereka pintar menjaga rahasia.
Rencana perjalanan untuk tiga hari sudah disusun,
keluarga sudah diberi tahu, tempat menginap sudah dipastikan. Belum pernah aku
begitu terorganisir dalam membuat rencana—seandainya masih hidup, kau pasti
akan terkejut. Kau selalu memarahi ketidakbecusanku dalam membuat keputusan,
yang tentu saja aku sesali karena hal-hal kecil seperti itu kerap berakhir
dalam pertengkaran besar. Mungkin, sebagian diriku dulu sengaja bersikap plin-plan
sebagai usaha untuk menarik perhatianmu, meskipun perhatian itu datang dalam
bentuk permusuhan. Kenapa pula aku harus begitu kelabakan untuk mencari
perhatianmu, aku tak tahu. Apakah perhatian yang hilang pertanda cinta yang
hilang? Ah, sudah terlambat untuk memikirkan itu. Kali ini saja, aku ingin
melakukan sesuatu untuk diriku sendiri, dan bukan untukmu. Untuk mencari
ketenangan demi diriku sendiri, bukan untuk mencari pengakuanmu. Pada akhir
perjalanan ini, yaitu besok lusa, aku akan mengucapkan selamat tinggal padamu
beserta segala misterimu.
Setelah sepuluh menit saling tawar harga dengan
sopir mobil carteran—ha! Aku bahkan berdebat dengan sopir preman bandara!
Seandainya kau lihat semua keberanian yang mendadak muncul ini—aku akhirnya
berangkat meninggalkan bandara sederhana itu dan akan menempuh perjalanan
sejauh kurang lebih satu jam menuju desa Pintu Padang Raya, kecamatan Batang
Angkola, tempat aku akan menginap selama berada di sini.
Mataku tak lepas dari jendela sepanjang perjalanan.
Pepohonan dan sawah mendominasi, membentuk garis seperti ombak—pepohonan,
sawah, pepohonan, sawah, sesekali rumah, begitu seterusnya. Tak lama kemudian,
kami melewati kota yang agak gersang. Pertokoan dan pasar di kanan kiri jalan
sama sekali tak menarik perhatian. Aku tak tahu di mana itu dan tak berusaha
bertanya pada Pak Sopir, karena aku ingin meyakinkan dia bahwa aku betul-betul
tak mau diajak bicara.
Tak lama kemudian, pemandangan hijau kembali
menyerbu mataku. Ah, memang inilah yang kusukai dari tempat ini—rasa tenang
pemberian makhluk Tuhan yang paling penurut dan tak pernah menuntut: alam
semesta. Pohon, sawah, sungai, gunung, laut, semuanya ada di tempat ini. Di
sepanjang jalan, rumah-rumah penduduk mulai terlihat, anak-anak sekolah
berlarian—beberapa naik sepeda atau becak. Ibu-ibu berjalan membawa sisa
dagangan dari pasar, dan bapak-bapak duduk-duduk di depan rumah sambil merokok.
Lalu rumah-rumah kampung berganti menjadi apa yang
kulihat sebagai hutan. Di saat yang bersamaan, permukaan tanah yang kami lewati
menjadi semakin tidak rata sehingga mobil berguncang keras. Kata Pak Sopir, ini
pertanda kami sudah dekat.
Dan benar saja, setelah sekitar 15 menit tersungkur
sana-sini digoyang permukaan tanah yang dilupakan pemerintah dan melewati
jembatan kecil yang kelihatannya kelewat rapuh, mobil akhirnya berhenti. Aku
membayar sopir sesuai harga negosiasi lalu berdiri di pinggir jalan, memandangi
rumah yang kau tempati bersama keluargamu sebelum merantau ke pulau Jawa.
Rumah itu adalah sebuah rumah panggung yang cukup
besar dan artistik, yang keseluruhannya terbuat dari kayu. Di bawah panggung
tidak ada apa-apa, hanya selasar untuk duduk-duduk dan sebuah gudang
penyimpanan. Untuk masuk ke rumah, kita harus menaiki tangga ke atas panggung.
Di atas, di bagian rumah yang sebenarnya, terpasang dua jendela kayu besar yang
terbuka keluar. Seseorang menjulurkan kepala dari salah satu jendela itu,
melihatku, lalu berlari turun untuk menyambutku.
“Lama nya naik mobil dari bandara, Mbak?”
tanya Pak Abet riang dengan logat Batak yang kental sambil membawakan koperku.
Pak Abet adalah seorang pria paruh baya yang menjaga tempat ini setelah semua
penghuninya merantau ke berbagai tempat.
“Lumayan, Pak. Satu jam.” jawabku dengan logat Jawa
Timur yang super medok. Aku mengikutinya menaiki tangga dan memasuki
serambi rumah. Kulihat dua ekor anjing kampung besar sedang makan sesuatu yang
sepertinya hanya nasi putih.
“Ini Black, yang itu Brown,” jelas Pak Abet menunjuk
kepada anjing hitam lalu anjing coklat. Entah mana yang membuatku lebih
kaget—melihat ada anjing di sini, di rumah almarhum ibumu yang tidak suka
hewan, atau fakta bahwa Pak Abet menamai mereka dengan bahasa Inggris.
Penjelasan Pak Abet berikutnya menjawab kekagetanku yang pertama, “mereka di
sini buat jaga kebun durian.”
Saat itulah aku melayangkan pandangan ke sekitaran
rumah itu. Di sisi jalan ini, nyaris tak ada rumah lain, tapi sejauh mata
memandang, aku bisa melihat pohon-pohon durian—buahnya yang besar dan ranum
terlihat sangat menggemaskan. Ya, aku teringat saat kau membuatku berpindah
aliran menjadi kaum pemakan durian. Di keluargaku tak ada yang suka durian,
jadi aku pun secara otomatis antipati terhadap buah berduri itu bahkan sebelum
mencobanya. Tapi, kau dengan mudah meruntuhkan pendirianku saat kau membawakan
durian di hari ulang tahunku. Waktu itu aku sebal sekali, karena durian itu
sama sekali tidak romantis. Tapi, melihatmu makan dengan nikmatnya, aku pun
ikut makan—dan kontan saja segala yang ada di dunia ini menjadi tak berarti
lagi—durian ternyata luar biasa enak!
Aku mendengus tertawa mengingat itu, dan membatin
seberapa banyak aku bisa mempercepat kematianku sendiri apabila aku hidup di
sini dan memakan semua durian di kebun ini setiap hari.
Pak Abet menunjukkan ruang tamu, kamar tidur, kamar
mandi, ruang tengah, tempat mesin cuci dan jemuran, serta balkon rumah seakan
aku belum pernah berada di sana. Kubiarkan saja ia menjelaskan karena memang
ada beberapa posisi tempat yang berubah. Setiap ruang membangkitkan lamunan
yang berasal dari tempat yang jauh sekali di dasar kepalaku, seakan itu bukan
berasal dari ingatanku sendiri. Ruang tamu tempatmu memperkenalkan aku pada
orang tuamu, ruang tengah tempat kita bersama-sama menonton televisi setelah
menikah, dapur tempat ibumu mengajariku berbagai masakan Sumatra Utara.
Awalnya, aku yang pemalas ini paling maksimal hanya bisa memasak oseng tempe,
tapi ibumu prihatin dengan situasi itu dan akhirnya bersikeras menyuruhku agar
belajar memasak untukmu, putra pertama kebanggaannya. Pada akhirnya, bukankah
hanya itu yang tersisa dalam hubungan timbal-balik kita? Kau memberiku nafkah.
Sebagai gantinya, aku memasakkan makan pagi dan malam.
Setelah mengobrol sebentar, Pak Abet pamit untuk
mengunjungi teman-temannya di warung kopi kecil di seberang rumah. Lalu aku
menghabiskan sisa hari itu dengan menelusuri halaman demi halaman album foto
yang kutemukan di kamar itu. Meskipun albumnya sudah sangat berdebu dan
beberapa halamannya berlubang dilahap rayap, foto-fotonya yang sudah bebercak
dan menguning masih bisa dilihat. Sebagian besar adalah fotomu sejak kecil
sampai awal masa kuliah—foto-foto setelahnya tentu saja lebih banyak tersimpan
di lemari kita di rumah.
Wajah senyummu menyapa dari tiap
halaman. Dulu kau begitu kurus tapi senyummu terlihat begitu tulus. Melihatnya
memicu kemunculan berbagai ekspresi wajahmu dalam ingatanku, bergerak-gerak
seperti video animasi. Tapi, sudah lama aku tak melihat senyum yang kau tujukan
hanya padaku, dan aku merindukannya. Maka aku menggali kuburan kenangan dan
mencari saat-saat kau memberi senyum itu, lalu memutarnya berulang-ulang di
dalam kepalaku agar aku dapat memimpikannya saat jatuh tertidur.
---
---
Pada saat matahari terbit keesokan harinya, aku
sudah dalam perjalanan menuju pasar di dekat rumah. Betapa misterius cara kerja
ingatan manusia—sementara kejadian seminggu lalu sudah kulupakan, jalan menuju
pasar di kampungmu yang terakhir kukunjungi seperempat abad lalu masih kuingat.
Mungkin karena hangat tanganmu saat menggandengku melewati tanah becek, tanah
berbatu, hutan, dan jalan raya itu masih samar terasa. Atau suara berceritamu
yang terbawa angin masih sayup terdengar.
Ternyata, pasar itu tak banyak berubah. Sementara
banyak pasar tradisional di Jawa yang mulai meninggikan levelnya—berlantai
semen bahkan ubin dan beratap genteng—pasar itu berlantai tanah dan beratap
tenda. Tapi, tentu saja para pedagang pasar itu tidak mengeluh—mengeluh adalah
kegiatan orang yang tahu pilihan dan bisa memilih, dan para pedagang pasar di
pedesaan yang sepi ini tak punya banyak pilihan.
Aku mengitari pasar untuk mengagumi berbagai jenis
ikan asin. Konon ikan asin paling enak dan bergengsi di Sumatra Utara ini
berasal dari daerah pantai Sibolga, dan sebagian besar dagangan orang di pasar
ini bisa jadi bukan berasal dari sana, tapi tetap saja variasi jenis dan
rasanya lebih enak daripada yang bisa kita temukan di pulau Jawa. Sebagai orang
yang dibesarkan di daerah tambak, sejak kecil aku menyukai ikan dan udang. Maka
sama seperti saat aku berpindah ke agama durian, aku langsung jatuh cinta
ketika kau pertama kali mengenalkanku pada ikan asin Sibolga yang kita makan
ramai-ramai di rumah ibumu dulu. Ada teri tawar, teri beras, ikan
aso-aso—sejenis ikan kembung yang dikeringkan, ikan limbat—sejenis lele yang
diasap, ebi—udang kecil yang dikeringkan, dan mungkin berbagai jenis lain yang
jarang kita beli, semuanya begitu sedap dipadu dengan sambal balado, nasi
hangat, dan kacang panjang rebus. Meskipun menyukai semuanya, favoritku adalah
ikan limbat, sedangkan favoritmu adalah ikan aso-aso. Waktu itu, dengan
pengalaman memasakku yang cetek, menggoreng ikan aso-aso adalah sebuah
tantangan besar karena betul-betul membutuhkan kalkulasi waktu dan panas api yang
tepat—jika salah perhitungan, hasil gorengan akan menjadi keras dan tidak
nikmat. Aku berguru pada ibumu lalu berulang kali mencoba menggoreng ikan
aso-aso sendiri dan berulang kali gagal. Lalu, pada percobaan entah ke-berapa
di tahun pernikahan kita yang mulai menua, aku akhirnya bisa menaklukkan ikan
asin banyak gaya itu di penggorengan. Rasa asinnya pas, renyahnya sempurna. Dan
saat itu, di tengah dinginnya hubungan kita, kau memujiku. Aku senang sekali.
Selepas menikmati sarapan lontong sayur di pasar,
aku langsung mencarter mobil yang kudapatkan dari koneksi Pak Abet dan meluncur
menuju tempat wisata air terjun Silima-lima yang terletak di kecamatan yang
berbeda, sehingga harus menempuh perjalanan cukup jauh melewati Jalan Lintas
Tengah Sumatra dan memakan waktu sekitar 1,5 jam. Di kabupaten tempat
sungai-sungai bersimpangan ini sebenarnya aku bisa mencari lokasi air terjun
yang jauh lebih dekat. Air Terjun Aek Sijorni, misalnya, hanya berjarak 20
menit dari rumah dan merupakan tempat wisata yang relatif baru. Tapi, bukan di
sana tempat kita pernah berfoto sebagai pengantin baru.
Berlokasi di daerah perbukitan, berjalan kaki dari
tempat peristirahatan sampai ke area air terjun itu sendiri membutuhkan waktu
sekitar 30 menit dengan cara menuruni tangga semen berpegangan pagar besi.
Pernah ada masanya orang harus melewati hutan sambil menebas sulur-sulur pohon
seperti dalam film petualangan untuk sampai ke air terjun itu, sehingga adanya
tangga dan cuaca cerah merupakan anugerah terbesar yang bisa kudapatkan hari
ini untuk perjalanan ini.
Pemandangan di kanan-kiri sepanjang menuruni tangga
sungguh luar biasa, dipenuhi pepohonan hijau, kelebatan langit biru, dan udara
yang begitu segar. Dulu, aku agak setengah hati mengikutimu ke tempat ini
karena aku kurang menikmati perjalanan jauh dan segala macam wisata yang
membuatku harus membawa baju ganti. Tapi, begitu deru air mulai terdengar jelas
dan percik buih airnya yang menabrak bebatuan mulai terlihat, kekagumanku
terhadap persembahan alam yang satu ini ternyata tidak berkurang sedikitpun
dari waktu itu.
Air terjun itu begitu tinggi dan megah. Air jernih
bertanding menuruni tebing, dipaksa berkelok oleh lekukan-lekukan alam, dan
jatuh bertubi-tubi memukul bebatuan sungai beberapa puluh meter di bawahnya.
Air yang telah terhempas-hempas itu lalu melanjutkan perjalanan entah kemana,
mungkin mencari kebebasan. Air terjun berwarna putih bersih itu terlihat sangat
kontras dengan biru langit di atasnya, hijau pepohonan di sekitarnya, dan
kelabu bebatuan yang muncul dan tenggelam di bawahnya. Semua tokoh alam, semua
suara, semua warna memainkan perannya dengan baik, seperti yang dijanjikan
Tuhan akan keindahan sebuah surga.
Tanpa sadar, aku menitikkan air mata. Di atas salah
satu batu besar itulah dulu kita berfoto, tangan kita bertaut dan kepala kita
beradu—tak menghiraukan apapun kecuali hangat tubuh satu sama lain. Aku masih
menyimpan foto itu sampai sekarang, karena itu adalah satu dari sedikit bukti
bahwa kita memulai perjalanan ini dengan tulus dan bukan karena harus, seperti
yang kurasakan belakangan.
Tiba-tiba saja rasa rindu menggelegak dari dasar
perutku, mendadak aku tak ingin berada di sini dan ingin bertemu anak-anakku.
Kupaksakan kakiku menaiki tangga untuk kembali ke atas meskipun aku belum lama
menikmati air terjun itu. Cukup sekian nostalgia hari ini. Air terjun itu
rupanya menjadi stimulus yang terlalu kuat. Tapi, mungkin justru itu yang
kubutuhkan untuk menyadari bahwa mulai sekarang dan seterusnya, kau bukan lagi
prioritasku. Kau sudah menuruni tebing dan terhempas di kelok-kelok bebatuan,
dan saat ini sedang mengalir menuju kebebasan. Sedangkan aku masih tertinggal
di suatu tempat di atas tebing, mengalir pelan menunggu giliran.
Kewajibanmu sudah selesai,
demikian pula kewajibanku terhadapmu. Saatnya aku menjemput kebahagiaan yang
ada pada anak-anakku.
---
---
Tibalah hari terakhir aku berada di Pintu Padang.
Hari terakhir kuhabiskan dengan mendatangi anggota keluargamu yang masih
tersisa di sini: paman, bibi, dan sepupu jauh—sebagian besar dari mereka belum
bertemu lagi denganku sejak kita menikah, beberapa bahkan belum mengenalku sama
sekali. Jujur saja, bertemu keluarga yang jauh saat ini terasa lebih
menyegarkan karena mereka tidak memiliki harapan tertentu terhadapku dan
pernikahan kita. Mereka menyambutku dengan hangat dan menyuguhkan berbagai
masakan favoritmu yang juga kusuka—gulai daging, berbagai macam balado, taoco
pete dan bunga pepaya, gulai jengkol dan daun ubi muda. Sambil menyantap
semuanya dengan lahap, dalam hati aku bertanya-tanya akankah aku bisa menikmati
semua masakan yang luar biasa ini seandainya aku tak menikahimu.
Bagiku, menikahimu adalah takdir. Berbahagia
denganmu dan anak-anak kita adalah takdir. Menjauhnya kau dan anak-anak dariku
adalah takdir. Kehilanganmu adalah takdir. Perjalanan nostalgia ini pun adalah
takdir. Aku menerima semuanya, menyusun kesadaran-kesadaran itu ke dalam
lapisan-lapisan hati. Yang lembut, yang mengerak. Yang lembut itu cinta dan
yang mengerak itu benci—keduanya melapisi Inti hati. Keduanya adalah perasaanku
padamu.
Inilah apologiaku—pengakuan kesalahanku.
Aku tak bisa memaafkanmu, dan aku mencintaimu. Dan,
sungguh, Tuhan, aku berharap kehidupan setelah kematian itu ada, agar aku bisa
mencarimu dan menuntut apologiamu, kemudian kita akan memabukkan diri dengan
nostalgia, karena sorot mata yang terakhir kau tujukan padaku adalah cinta, dan
seandainya aku salah, maka biarkanlah aku.
Biarkanlah aku hidup berpegang
keyakinan bahwa kau pergi dalam keadaan mencintaiku.
---
---
Aku selalu menganggap seluruh diriku adalah sebagian
dari dirimu, dan kuharap kau pun diam-diam begitu.
(selesai)